Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seni Mendengarkan: Mengerti Sebelum Dimengerti

1 Maret 2022   08:28 Diperbarui: 1 Maret 2022   08:29 1540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dalam masa yang serba-bising seperti sekarang, kita perlu mendengarkan lebih banyak daripada berbicara | Ilustrasi oleh Stock Snap via Pixabay

Terlepas dari semua itu, saya merasa seperti sedang mengalami banyak jiwa dan lalu mencintainya. Kesimpulan saya sederhana saja, bahwa menyentuh jiwa manusia lain sama luar biasanya seperti berjalan di atas tanah suci.

Memang dalam masa yang serba-membingungkan seperti sekarang, kita cenderung tergoda untuk banyak berbicara dan mengajukan berbagai pertanyaan. Namun kiranya tidaklah bijaksana bila kita meluapkan semua itu dalam satu kesempatan, dan lalu menambah bising dunia yang selama ini menyesakkan kita.

Perlu ada semacam filter supaya apa yang kita katakan pada dunia bukan sekadar omong kosong belaka, menyeleksi serangkaian pertanyaan dan hanya menyisakan yang berpotensi membantu dunia di tengah kekacauan yang terus meneror keseharian kita.

Tentu tugas ini bukanlah sesuatu yang mudah, mengingat rayuan untuk berbicara sekeras-kerasnya terus membayangi kita sedekat bayangan kita sendiri.

Namun justru kegetiran itulah yang menjadi taruhan kita bersama: dapatkah kita menyuarakan makna yang mendalam dan bukannya sekadar bising belaka?  Sebab jika tidak, saya khawatir akan semakin banyak "kecelakaan dan pertempuran lidah" yang meluluhlantakkan kohesi sosial.

Terkadang saya pun merasakan dorongan yang begitu kuat untuk berbicara tentang banyak hal, berasumsi seolah semua kata yang lepas dari pikiran saya akan bermanfaat dan dinikmati orang-orang.

Kenyataannya tidak begitu. Saya memutuskan untuk lebih banyak mendengarkan mereka yang berada di sekitar saya, sebab dalam kesederhanaan seperti itu saja, ada nilai yang tidak saya mengerti tetapi sangat saya nikmati dan membuat saya merasa lega.

Sebagai pribadi yang secara lantang dan terbuka mencintai manusia, saya menghargai semua cerita unik dari setiap orang dan menjadikannya sebagai sesuatu yang berharga, atau bahkan inspirasi bagi karya kecil yang saya cetuskan.

Saya tidak pernah ingin melewatkan kesempatan untuk diam, dan saya memohon kepada Tuhan, bila ungkapan semacam ini bisa diterima, supaya kita semua diberkahi kemampuan untuk mendengarkan dengan baik.

Seperti yang ditulis Shakespeare, "Give every man your ear, but few your voice."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun