Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Membutuhkan Cukup Apresiasi untuk Berkembang

15 Januari 2022   19:12 Diperbarui: 15 Januari 2022   19:23 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menarik bahwa untuk diapresiasi, kita juga mesti mengapresiasi | Ilustrasi oleh Carlos Pereyra via Pixabay

Budaya mengapresiasi agaknya menjadi semakin langka belakangan ini. Di tengah kebisingan yang tiada henti, orang lebih banyak mengucapkan argumen dan cacian daripada apresiasi dan penghargaan.

Kebanyakan dari kita tampak lebih sering menggunakan "kacamata-aib", di mana segala sesuatu yang mereka lihat hanya seputar kekurangan dan kelemahan orang lain, meskipun sesungguhnya sama sekali tidak demikian.

Ketika orang lain berhasil mencapai sesuatu yang berharga, kita lebih sering sinis alih-alih mengaguminya dan lalu terinspirasi untuk menjadi lebih baik.

Barangkali secara naluriah, manusia adalah makhluk yang tidak adil, karena dirinya sendiri begitu ingin dilihat dan dikagumi oleh sekitarnya, tetapi enggan untuk memberikan perhatian dan apresiasi kepada sekitarnya.

Atau jika istilah "tidak adil" terkesan tidak adil untuk dilabelkan kepada manusia, maka istilah yang mungkin lebih bisa diterima secara umum adalah "egois". Manusia adalah makhluk yang egois.

Apa pun yang masing-masing kita dapatkan dari lingkungan kita, mungkin tidak ada yang lebih berharga daripada perasaan bahwa kita benar-benar dianggap penting dan bahwa kita memiliki nilai uniknya tersendiri untuk keseluruhan.

Seperti yang ditulis Daniel Goleman, "Ancaman terhadap kedudukan kita di mata orang lain hampir sama kuatnya dengan ancaman terhadap kelangsungan hidup kita sendiri."

Jadi terus terang saja, kita semua ingin diapresiasi dan dihargai atas siapa diri kita. Bagi beberapa orang, ketiadaan apresiasi adalah awal dari keputusasaan dan kehampaan; bukti bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan tidak pernah bernilai apa pun bagi dunia.

Faktor itulah yang juga membuat mereka begitu takut dengan kegagalan: sesungguhnya mereka tidak takut dengan kegagalan itu sendiri, tetapi takut pada apa yang akan terjadi setelah kegagalan.

Mereka mendramatisasi skenario dalam kepalanya bahwa semua orang akan memakinya, dan ketakutan itu hanya akan semakin membesar hingga perkembangan diri yang mereka harapkan sama sekali tidak ada, bahkan mengalami kemunduran.

Keinginan kita untuk mendapatkan apresiasi, saya pikir merupakan kebutuhan alamiah kita sebagai makhluk yang meng-ada. Dan jika itu kebutuhan alami, maka menyikapinya bukan dengan penolakan, melainkan kendali secara wajar.

Mustahil untuk menolak sesuatu yang selalu ada. Jelas sekali.

Tetapi perlu saya tekankan di sini bahwa saya cenderung menggunakan diksi "apresiasi" daripada "pengakuan". Sebab untuk benar-benar berkembang, kita membutuhkan apresiasi dan bukannya sekadar pengakuan.

Pengakuan adalah umpan balik positif berdasarkan kinerja yang kita lakukan, sedangkan apresiasi lebih tentang menghargai nilai seseorang dengan sebagaimana adanya. Pengakuan dipicu oleh keberhasilan, tetapi apresiasi datang dalam kondisi apa pun.

Karenanya, kita lebih membutuhkan apresiasi daripada sekadar pengakuan. Kita bukan hanya perlu dihargai atas apa yang kita capai, tetapi juga tentang siapa diri kita yang apa adanya dalam suatu lingkungan.

Dalam banyak kesempatan, mandek atau tidaknya perkembangan diri seseorang bergantung pada seberapa diapresiasinya dia oleh lingkungan. Meskipun kedengarannya cukup buruk bahwa berarti kita harus berjuang untuk diapresiasi, tetapi bukan itu yang saya maksudkan.

Ada alasan bagus mengapa kita butuh diapresiasi dan bahwa kita tidak perlu bersikeras pada orang lain untuk meminta penghargaan.

Energi Positif dari Mengapresiasi Cenderung Menular

Ada sesuatu yang menarik bila kita memerhatikan sejarah perkembangan intelektual. Ternyata tempat-tempat tertentu, pada waktu tertentu, menghasilkan panen melimpah otak cemerlang dan ide gemilang.

Sepanjang sejarah yang tercatat, kemunculan para genius kerap lahir dari tempat yang sama pada waktu berdekatan, kemudian berpindah ke tempat lainnya yang juga menciptakan pola serupa.

Pertanyaannya adalah "mengapa". Kita tahu ini bukan faktor genetis. Zaman keemasan datang dan pergi lebih cepat melampaui perubahan kumpulan gen. Lantas mengapa kelahiran ide kreatif cenderung berpusat di satu tempat, kemudian berpindah ke tempat lainnya?

Ada apa dengan Hangzhou pada era Dinasti Song? Ada apa dengan Athena di abad ke-5 Sebelum Masehi? Ada apa dengan Florence ketika masa Renaisans? Ada apa dengan Edinburgh, Kolkata, Wina, dan Silicon Valley yang menjadi pusat lahirnya ide-ide kreatif pada waktu tertentu?

Tentu setiap pertanyaan tersebut mempunyai jawaban yang berbeda bila kita melihat sisi historisnya masing-masing. Akan tetapi, sekurang-kurangnya, saya pikir ada satu kesamaan yang membuat setiap zaman keemasan tersebut terjadi.

Adalah budaya apresiasi yang tumbuh subur di kalangan seniman dan intelektual.

Biasanya, kita tidak memperhitungkan penonton, pembaca, atau penikmat sebagai faktor lahirnya kegeniusan. Kita berasumsi bahwa mereka hanyalah penerima pasif dari bakat yang dianugerahkan kepada orang genius.

Tetapi, mereka bermakna lebih daripada itu. Mereka adalah kelompok yang mengapresiasi kegeniusan. Tanpa mereka, kegeniusan seseorang tidak akan pernah diakui dan dihargai, kemudian sang genius pun merasa hampa serta sia-sia.

Seperti kata kritikus seni, Clive Bell, "Karakteristik penting dari masyarakat berperadaban tinggi bukan bahwa mereka begitu kreatif, melainkan bahwa mereka mengapresiasi." Dengan budaya semacam itu, kegeniusan akan dihargai dan lalu tumbuh dengan sendirinya.

Saya contohkan kota Wina yang seolah-olah mengalami "kemujuran" dua periode: periode pertama terjadi ketika musik berkembang yang melahirkan Mozart, dan periode kedua terjadi ketika intelektual berkembang, khususnya psikologi, yang melahirkan Sigmund Freud.

Eric Weiner menulis dalam bukunya The Geography of Genius, "Wina musikal bukanlah pertunjukan tunggal, melainkan sebuah simfoni. Sering harmonis, kadang-kadang sumbang; tapi tidak pernah membosankan.

"Mozart bukanlah orang aneh. Dia adalah bagian dari lingkungan ekosistem musikal yang begitu kaya dan beragam sehingga bisa dikatakan, lingkungan menjamin bahwa pada akhirnya, orang genius seperti dia akan muncul."

Kota Wina di kala itu adalah pusaran laut yang memikat komponis genius, termasuk Beethoven, karena budaya apresiasinya yang luar biasa. Orang-orang bertepuk tangan atas kecemerlangan para genius yang mereka miliki, dan penghargaan itulah yang membuat ide kreatif terus bermunculan seperti rintikan hujan.

Tidak pelik lagi bahwa manusia senantiasa senang merasa dilihat dan diperhatikan. Ketika dua naluri tersebut dipadukan dengan kreativitas, orang menjadi semakin produktif yang kemudian berlabel "genius".

Sangat jelas bahwa apresiasi dapat berdampak pada perasaan seseorang yang menerimanya (dan yang melontarkannya), dan ketika orang merasa dirinya begitu berharga, niscaya hasrat akan nyala membara ke dalam produktivitas yang efektif.

Bukan hanya itu, budaya apresiasi juga dapat memperdalam hubungan kita yang secara otomatis akan turut memengaruhi kebahagiaan kita.

Inilah mengapa pertemanan di media sosial tetap sulit membuat kita bahagia dan ribuan teman Facebook tidak lantas menghindarkan kita dari rasa kesepian; kita memerlukan hubungan yang mendalam serta bermakna.

Saat ini, kita jarang mengapresiasi apa pun dengan penuh pengertian. Kadang-kadang kita menghargai seseorang karena sesuatu yang memaksa, atau bersikap ramah kepada orang lain dengan penuh pamrih.

Bukan apresiasi semacam itu yang ditunjukkan warga Wina kepada orang seperti Mozart; bukan pula kekayaan mereka untuk menonton konser, melainkan penerimaan mereka dan keterbukaan yang penuh tepuk tangan.

Berbeda dengan kita yang enggan meluangkan sedikit menit untuk meresapi karya seseorang dan mengapresiasinya; kita lebih sering menganggap dunia sebagai arena persaingan yang harus dimenangkan oleh kita sendiri.

Alhasil banyak orang yang memiliki potensi hebat pada bidang tertentu, tetapi harus mengubur dalam-dalam anugerahnya karena merasa tidak dihargai atau bahkan diperhatikan. Agaknya perlakuan semacam itulah yang saya pikir serupa dengan kekejaman.

Bagaimanapun juga, faktanya kita semua lebih rentan dan membutuhkan apresiasi daripada yang kita bayangkan. Dihargai sebagai seseorang yang autentik adalah sesuatu yang dapat membuat kita merasa lebih baik tentang diri sendiri. Jelas sekali.

Tetapi seperti yang saya katakan sebelumnya, kita tidak perlu bersikeras dengan konyol untuk meminta apresiasi dari orang lain. Saya selalu berpikir bahwa penerimaan apresiasi adalah efek samping dari sesuatu yang saya berikan kepada dunia, yaitu berupa apresiasi juga.

Saya percaya bahwa timbal-balik seperti itu merupakan bagian dari naluri manusia. Dengan demikian, lebih baik untuk menunjukkan penghargaan daripada menunggu untuk dihargai. Kita mesti mengawali pendekatan, dan itu sama sekali tidak memalukan.

Menaruh rasa hormat kepada orang lain adalah "baik" pada dirinya sendiri, dan karenanya saya selalu membiarkan orang lain tahu bahwa saya menghargai mereka. Apabila ini terasa sulit, Anda dapat melatihnya dengan pertama-tama mengapresiasi diri sendiri.

Kesulitan untuk menghargai orang lain secara terbuka biasanya disebabkan oleh kesulitan lainnya, yaitu menghargai diri sendiri.

Jadi, mari kita sepakati saja hukumnya bahwa, "Untuk mendapatkan cukup apresiasi, maka kita pun harus cukup mengapresiasi orang lain." Meskipun tidak ada jaminan timbal-balik yang terjadi sepenuhnya, namun setidaknya kita melihat keindahan yang adil di situ.

Ini sama seperti usaha untuk saling menopang kehidupan, karena untuk kebutuhan ini nyaris mustahil untuk dipenuhi sendirian. Mengapresiasi diri sendiri adalah konsep yang baik, tetapi dalam jangka panjang, itu tidaklah cukup.

Sebagai makhluk sosial, bagaimanapun juga, kita tetap membutuhkan penghargaan dari luar tentang siapa kita dan bukan hanya sebatas dari apa yang kita lakukan. Ini bermanfaat seperti menginvestasikan energi positif ke dalam produktivitas dan gairah diri sendiri.

Karena tentunya, energi positif dari mengapresiasi akan (selalu) menular. Seperti yang dikatakan Voltaire, "Apresiasi adalah hal yang indah. Ini membuat apa yang sempurna pada orang lain (seolah-olah) menjadi milik kita juga."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun