Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cara Menjadi Dewasa dalam Perspektif Immanuel Kant

24 Desember 2021   16:52 Diperbarui: 24 Desember 2021   17:13 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang raja mengumumkan kepada rakyatnya bahwa nanti malam akan diadakan pesta besar dan setiap orang yang datang diwajibkan membawa satu sendok madu. Di pintu masuk alun-alun, disediakan sebuah guci besar yang akan menampung semua madu tersebut.

Seseorang berpikir untuk mengisi sendoknya dengan air putih saja, toh takaran sekecil itu tidak akan menampakkan pengaruh apa pun terhadap keseluruhan isi guci. Bagi Immanuel Kant, tindakan satu orang ini tidak dapat dibenarkan.

Bagaimana kalau semua orang juga berpikir seperti itu? Ujung-ujungnya, guci besar tersebut malah terisi penuh dengan air putih.

Tindakan semacam itu adalah tindakan yang kekanak-kanakan. Sama seperti seorang anak yang tidak mau berbagi mainan miliknya, itu adalah tindakan yang egois. Meskipun sifat tersebut melekat secara wajar pada anak-anak, tetapi pada banyak kasus, mereka yang berusia dewasa pun tetap melakukannya.

Sekarang bagaimana jadinya bila orang tersebut mengalahkan kehendaknya sendiri dan secara jujur membawa sesendok madu ke pesta kerajaan; apakah dia termasuk orang dewasa? Belum tentu juga.

Dalam Grundlegung, Kant merumuskan bahwa tidak ada hal lain yang baik secara mutlak selain "kehendak baik". Menurutnya, "kehendak baik" adalah sesuatu yang baik pada dirinya (an sich) atau tidak tergantung pada yang lain.

Dengan demikian, terdapat juga kehendak yang tidak baik pada dirinya meskipun secara implementasi menunjukkan kebaikan tertentu. Misalnya, saya membantu orang supaya di lain waktu dia juga membantu saya ketika kesusahan.

Kehendak baik adalah sesuatu yang baik pada dirinya; tanpa pamrih dan tanpa syarat.

Jadi bila kita ingin menilai kedewasaan di antara semua orang yang membawa madu ke pesta kerajaan, orang yang membawa madu tanpa harapanlah yang menunjukkan kedewasaannya. Dia melakukan itu karena dia tahu bahwa tindakannya adalah benar; hanya itu.

Seseorang bisa saja membawa madu, tetapi jauh dalam lubuk hatinya, dia berharap bisa mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari apa yang dikorbankannya (yaitu sesendok madu) di pesta kerajaan tersebut. Dalam etika Kant, dia belum mencapai kedewasaan.

Etika Niat Baik

Setiap orang dapat berbuat baik dalam banyak kesempatan, tetapi apa yang membedakan perbuatan baik dari anak-anak, remaja, dan orang dewasa?

Anak-anak berada pada tahap pembentukan nilai-nilai. Bagi mereka, baik atau buruknya sesuatu masih samar-samar sehingga diperlukan upaya eksplorasi untuk mengetahuinya secara jelas.

Mungkin Anda merasakan pengalaman yang sama seperti saya bahwa suatu ketika di masa kanak-kanak, saya pernah terpikat oleh sebuah cahaya yang menari-nari di tengah kegelapan. Saya menyentuhnya dan lalu menangis karena kepanasan.

Saya menyentuh api yang menyala dari sebuah lilin. Semenjak itu, saya belajar bahwa menyentuh api adalah sesuatu yang buruk dan tidak akan mengulanginya lagi di masa mendatang.

Nilai baik dan buruk pada anak-anak, pada akhirnya, hanya ditentukan oleh kenikmatannya sendiri. 

Mereka mencuri es krim dari kulkas tanpa mempertimbangkan risiko sakit atau dimarahi ibunya. Mereka makan permen sangat banyak semata-mata karena rasanya enak.

Anak kecil menyerupai para tiran. Setiap saat, mereka hanya memedulikan kenikmatannya sendiri dengan mengabaikan pertimbangan apa pun.

Kita biasa melihat mereka menangis di keramaian karena ingin membeli mainan. Mereka tidak peduli pada fakta bahwa ibunya tidak mampu membeli mainan tersebut. Apa yang mereka tahu adalah mereka menginginkan sesuatu dan harus mendapatkannya, titik.

Maka, identitas seorang anak amatlah kecil dan rapuh. Identitasnya hanya dibentuk oleh apa yang memberinya kenikmatan dan apa yang menjauhkannya dari penderitaan.

Pada fase remaja, pengetahuan akan kenikmatan dan penderitaan masih menetap dalam diri mereka. Hanya saja bedanya, kini kenikmatan dan penderitaan tidak lagi mendikte sebagian besar keputusan yang mereka ambil.

Mereka mulai menggenggam prinsip tertentu. Ini adalah sebuah penyempurnaan, tetapi masih ada sebuah kelemahan: semuanya dilihat sebagai sebuah kegiatan tukar-menukar. Mereka menjadi seperti seorang pedagang yang begitu gemar "bertransaksi".

Remaja memahami kehidupan ini sebagai sebuah arena tawar-menawar. Saya mau melakukan sesuatu yang hebat supaya orang-orang memuji saya. Saya mau mengerjakan tugas sekolah supaya saya tidak mengacaukan masa depan saya.

Sedikit sekali (atau bahkan tidak ada) yang dilakukan demi tindakan itu sendiri. Semuanya adalah transaksi yang sudah dihitung dengan jeli, dan biasanya muncul dari ketakutan terhadap dampak negatif yang mungkin menimpa.

Semuanya adalah sarana untuk suatu tujuan yang bisa dinikmati. Sederhananya, mereka sungguh pragmatis.

Fase dewasa dicirikan dengan pelepasan kegiatan tawar-menawar tersebut.

Kedewasaan adalah kesadaran bahwa terkadang sebuah prinsip yang paling inti adalah tentang baik dan buruk yang tidak bisa ditawar-tawar, yang bahkan jika itu terasa tidak nyaman untuk kita, bersikap baik tetaplah hal yang paling benar.

Menjadi dewasa berarti berkembangnya kemampuan untuk melakukan apa yang benar untuk alasan sederhana, bahwa memang itulah yang sungguh benar. Kedewasaan menerangkan bagaimana kita bertindak dalam keseharian tanpa menyandarkan diri pada angan-angan tertentu.

Itulah prinsip yang menarik orang-orang untuk keluar dari kebiasaan tawar-menawar remaja dan mengantarkannya pada keluhuran orang-orang dewasa. Dalam pemikiran Kant, hanya dengan begitulah semua manusia dapat memenuhi esensi moralitasnya.

Orang dewasa adalah mereka yang bermoral.

Kant menulis, "Bertindaklah dengan cara sedemikian rupa sehingga Anda selalu menghormati perikemanusiaan, entah kepada diri Anda sendiri maupun kepada orang lain, bukan hanya sesekali, melainkan selalu dan selamanya."

Kadang-kadang, Anda mungkin bersikap baik dan mau membantu orang lain hanya karena Anda tahu tindakan tersebut akan ada balasannya. Itu adalah cara sederhana untuk menjadi populer.

Tetapi jika Anda memaksudkannya seperti itu, berarti Anda bertindak bukan karena menghormati hukum moral.

Anda mungkin bertindak sesuai dengan hukum moral, dan itu sudah cukup baik, tetapi jika Anda memaksudkannya sebagai ajang pencitraan, maka Anda harus mengalahkan ego diri Anda sendiri.

Dalam tindakan menunaikan kewajiban, menurut Kant, manusia meninggalkan pamrih-pamrihnya; maka kehendak baik di dunia ini terwujud dalam pelaksanaan kewajiban.

Hanya jika Anda melakukan sesuatu murni karena kewajibanlah, tindakan Anda dapat dikatakan sebagai tindakan moral. Oleh karenanya, etika Kant kadang-kadang disebut sebagai etika kewajiban.

Kant lebih lanjut membedakan antara etika dan legalitas. Legalitas adalah aktualisasi suatu perbuatan yang belum tentu berasal dari etika, namun mungkin juga berasal dari etika.

Ingat kembali bahwa indikator bermoral atau tidaknya seseorang dalam etika Kant ditentukan oleh kehendak baik atau bisa dibilang "suara hati". Karenanya, kita tidak bisa menilai perbuatan orang lain sebagai etika, sebab kita tidak tahu apa yang diniatkannya.

Maka hal semacam itulah yang disebut legalitas. Setiap perbuatan orang lain tidak dapat dinilai secara etika, tetapi dapat dinilai secara legalitas.

Etika adalah "tindakan yang dilakukan demi kewajiban", sedangkan legalitas adalah "tindakan yang dilakukan sesuai kewajiban". Kant berpendapat bahwa semakin sedikit pamrih kita untuk menjalankan kewajiban, maka semakin tinggilah nilai moral tindakan kita.

Untuk menjadi orang dewasa, kita perlu "bertindak demi kewajiban itu sendiri". Tindakan orang dewasa didorong oleh niat baik, dan menurut Kant, niat baik inilah yang akan menentukan apakah tindakan itu benar secara moral, bukan dilihat dari akibat tindakan itu.

Di sinilah etika Kant terkadang disebut juga etika niat baik.

Pandangan Kant ini tampaknya sangat beraroma teori kuantum. Dia ingin mengatakan bahwa setiap tindakan manusia harus mengikuti irama alam yang syahdu, sebab manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri.

Maka kedewasaan dapat dicapai ketika kita mengikuti keseimbangan dan keselarasan dengan energi alam. Orang-orang dewasa mampu mengekang kenikmatan pribadinya demi mempertahankan prinsip-prinsipnya.

Nilai-nilai itu merupakan tujuan yang berdiri sendiri.

Seorang remaja bisa berkata: aku cinta kamu; tetapi konsepnya tentang cinta adalah tawar-menawar bahwa dia berharap akan mendapatkan sesuatu sebagai balasannya, dan bahwa cinta hanyalah wadah terjadinya pertukaran perasaan di antara dua insan yang saling peduli.

Seseorang yang dewasa akan mencintai secara merdeka tanpa mengharapkan sesuatu pun sebagai balasannya, karena dia mengerti bahwa hanya dengan cara itulah, cinta menjadi nyata.

Kedewasaan mendorong seseorang untuk memberi begitu saja tanpa mencari-cari imbalannya, sebab andaikan dia berharap akan pamrih, dia justru menghancurkan tujuan pemberian tersebut.

Kant menulis, "Bertindaklah dengan mendudukkan kemanusiaan, baik berlaku untuk diri sendiri maupun orang lain, senantiasa sebagai tujuan, bukan hanya sebagai sarana."

Itulah yang kita harapkan dari dunia yang serba kacau dan mengerikan seperti sekarang (setidaknya dalam perspektif saya).

Orang dewasa yang memiliki kecukupan harta akan membantu korban bencana dengan alasan sederhana bahwa tindakan itu memang baik dan benar pada dirinya. Tetapi cukup kekanak-kanakan jika ada orang yang berbagi sembako dengan memasang wajahnya sendiri di totebag-nya.

Dunia tampaknya dipenuhi anak dan remaja yang usianya sudah tua. Di satu titik tertentu, kedewasaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan usia. Orang dewasa tidak mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Mereka hanya hidup dengan baik.

Dalam kata-kata Kant, "Dua hal memenuhi pikiranku dengan keheranan dan ketakjuban yang semakin besar, semakin sering dan semakin kuat ketika aku merenungkannya: langit berbintang di atasku dan hukum moral dalam diriku."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun