Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Membutuhkan Ketidakpastian dalam Kadar Tertentu

20 Desember 2021   17:16 Diperbarui: 20 Desember 2021   17:46 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jika mengolahnya dengan tepat, ketidakpastian adalah momen terbaik untuk lebih banyak perkembangan | Ilustrasi oleh Med Ahabchane via Pixabay

Sungguh ironis bahwa kita berada dalam putaran informasi yang lebih luas daripada masa sebelumnya, tetapi seiring itu pula kita semakin terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian yang lebih banyak.

Kita memang hidup di zaman yang aneh. Kita cenderung berpikir bahwa kita lebih mudah untuk merasa yakin dengan akses yang terbuka ke hal apa pun, tetapi masalahnya adalah, selalu ada beberapa orang yang mengatakan keyakinan kita tidaklah benar.

Lantas kita pun kembali ke titik keraguan.

Pada dasarnya, kita berhadapan dengan Paradoks Kemajuan: semakin lengkap akses yang disediakan peradaban kita, semakin kompleks pula ketidakpastian kita dalam memutuskan sesuatu yang samar-samar.

Alasannya sederhana: kita menjadi terlalu peduli terhadap banyak hal yang sesungguhnya tidak penting bagi diri kita sendiri. "Berapa skor Barcelona semalam? Bagaimana dengan selebriti yang dikabarkan sedang menunggu sidang perceraiannya? Mengapa dia memilih perempuan itu?"

Semua itu membuat banyak orang kehilangan nilai-nilai pribadinya dan memburamkan tujuan mereka sendiri dalam kehidupan ini. Mereka terlalu memedulikan hal-hal di luar dirinya sehingga tidak sadar bahwa mereka pun sedang dicekik ketidakpastian.

Mereka terasing dari kesejatiannya. Mereka mengalami alienasi tanpa disadari.

Ketakutan kita akan ketidakpastian seolah sudah mengalir dalam DNA kita yang diturunkan oleh nenek moyang kita. Dahulu, mereka hidup di alam terbuka dan senantiasa dibayang-bayangi oleh serangan hewan buas.

Pergerakan musim masih belum bisa diramalkan sehingga mereka berayun-ayun ke sana-sini mencari tempat bersuhu stabil yang sesuai dengan ketahanan mereka. Beruntungnya, kemampuan intelektual mereka terus berkembang seiring waktu.

Salah satu keunggulan yang dimiliki manusia daripada hewan adalah kemampuannya untuk membaca pola, di antaranya menghubungkan titik-titik bintang di langit malam dan mengaitkannya dengan apa yang terjadi di bawah langit.

Meskipun kita sudah jauh berbeda dengan nenek moyang kita, tetapi kehidupan yang manusia jalani tampaknya tidak pernah berubah bahwa hingga kapan pun, ketidakpastian akan selalu ada.

Kepastian dari hidup adalah ketidakpastian itu sendiri.

Hidup dipenuhi ketidakpastian, dan kita menghadapinya setiap hari dalam tingkatan yang berbeda-beda. Bagi beberapa orang, ketidakpastian tetaplah mengerikan yang ujung-ujungnya mengganggu kesehatan mental mereka.

Inilah mengapa cekikan FOMO (Fear of Missing Out) semakin meluas ke semua kalangan. Dengan ketersediaan informasi yang praktis dan nyaris tidak terbatas, orang menjadi lebih cemas terhadap sesuatu yang dilewatkannya, terlepas dari kenyataan betapa remehnya semua itu.

Dan karenanya mereka seperti takut akan kegelapan yang ironisnya, mereka bernaung di bawah langit malam setiap harinya. Mereka lebih memerhatikan ruang gelap dari angkasa ketimbang mengagumi titik-titik kecil cahaya yang menghiasi seluruh kegelapan.

Kiranya memang itulah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan ketidakpastian: meskipun kita menganggapnya begitu mengerikan, tetapi ada keindahan yang sering kita lewatkan darinya.

Jadi pertanyaannya bukan lagi "mengapa ketidakpastian itu datang", melainkan "bagaimana kita mesti menghadapinya dan menjadikannya sebagai kekuatan yang mengagumkan".

Ketidakpastian adalah tanda yang baik guna memberitahu kita bahwa di sana ada lebih banyak ruang kosong untuk perkembangan. Hanya saja sebagian dari kita menganggap kekosongan itu sebagai ruang yang mengerikan, dan kemudian cepat-cepat mengisinya demi mencari rasa aman.

Tetapi kebanyakan rasa aman tersebut hanyalah ilusi yang menipu diri mereka sendiri.

Dulu saya percaya bahwa nilai altruisme jauh lebih mulia daripada egoisme. Butuh waktu beberapa tahun untuk sampai pada kesimpulan bahwa ternyata, saya memegang nilai yang keliru. Selama ini saya hanya mencari rasa aman tanpa memikirkan efek dominonya.

Meskipun altruisme sekilas tampak bernilai baik, saya sadar bahwa dalam konteks tertentu, jauh lebih mulia mementingkan diri sendiri daripada kepentingan orang lain. Jika selamanya kita menggendong seekor burung, dia tidak akan pernah tahu bagaimana caranya terbang.

Bertahan dalam ketidakpastian berarti menahan kesimpulan dan menyangsikan penilaian atau kepercayaan kita sendiri terhadap sesuatu. Sama seperti menyusun sebuah puzzle: dibutuhkan kesabaran dan ketelitian dalam menyusun setiap kepingnya.

Jika kita menyimpulkan wujud puzzle di kala kepingannya belum lengkap, maka saat itulah kita sedang membentuk kepercayaan yang begitu lemah dan rapuh.

Ketidakpastian dalam kadar tertentu membuat kita bertahan lebih lama dengan pertanyaan, dan meskipun rasanya tidaklah nyaman, tetapi itu adalah perjalanan kita menuju tempat tinggal yang paling baik.

Tanpa ketidakpastian, maka tidak ada upaya pencarian. Tanpa pencarian, maka tidak ada pertanyaan. Tanpa pertanyaan, maka tidak ada proses berpikir. Tanpa berpikir, kita terjebak dalam dogma, dan demikianlah kita selamanya tetap stagnan dalam posisi kita yang rapuh.

Akan tetapi, seperti yang telah saya singgung sebelumnya, ketidakpastian yang kita butuhkan hanyalah dalam kadar tertentu dan tidak berlebihan. Jika melampaui batas wajar, maka akibatnya tidaklah menguntungkan.

Jika ada ketidakpastian yang melebihi kemampuan kita untuk menanggungnya, kita mungkin kehilangan kendali terhadap diri sendiri dan melihat seluruh lingkungan terdekat kita sebagai ancaman.

Ketika kita tidak yakin tentang apa yang akan terjadi di masa depan, kita melihat masa depan itu sebagai bayang-bayang yang mengerikan, dan ketika kita tidak yakin tentang apa yang terjadi dengan tubuh kita, mungkin kita menganggap itu sebagai kanker.

Ketakutan yang berlebihan akan ketidakpastian mendorong seseorang untuk tunduk pada sesuatu yang sesungguhnya juga tidak pasti.

Mereka memilih berbaring di sarang laba-laba ketika sebenarnya, bila mereka memeluk ketidakpastian beberapa waktu lagi seraya memecahkannya, mereka bisa mendapatkan tempat tinggal yang nyaman.

Barangkali karena keadaan semacam itulah kita berhadapan dengan banyak orang yang begitu yakin dengan kekeliruannya sendiri. Mereka mencari kepastian lewat kepercayaannya sendiri dan itu berarti, menipu diri sendiri.

Apalagi pandemi adalah kesempatan langka di mana kehidupan setiap orang tiba-tiba dimiringkan dan dipaksa untuk duduk dalam ketidakpastian yang luas selama beberapa waktu yang juga tidak pasti.

Namun, karena selalu ada ketidakpastian dalam hidup, maka selalu ada risiko dalam hidup. Apa yang membuat kita tetap waras ketika membuat keputusan yang sulit adalah mampu menimbang dengan tepat potensi biaya dan manfaat dari setiap risiko.

Jika ketidakpastian terasa dapat dikelola, maka kita merasa baik dan bahkan menjadikannya sebagai sarana untuk berkembang. Hematnya lagi, kita membutuhkan ketidakpastian dalam kadar tertentu.

Banyak orang yang mampu bertanya pada dirinya sendiri apakah mereka keliru, tetapi hanya sedikit yang mampu untuk melangkah lebih jauh dan mengetahui dengan benar apa artinya jika mereka keliru.

Penyebabnya adalah rasa sakit yang bersemayam di balik kekeliruan tersebut. Aristoteles pernah menulis, "Tanda dari seseorang yang terpelajar terletak pada kemampuannya untuk menertawakan suatu pemikiran tanpa harus menerimanya."

Mampu melihat dan mengevaluasi nilai-nilai yang berbeda tanpa perlu menerapkannya mungkin adalah keahlian utama yang dituntut untuk mengubah hidup seseorang dengan cara yang sangat bermakna.

Itulah mengapa lebih penting daripada masa sebelumnya untuk menjadi baik dalam mempertahankan dan menoleransi rasa takut akan hal yang tidak diketahui. Semakin besar tingkat perubahan sosial, semakin besar pula kebingungan dan ketidakpastian yang muncul.

Kita seolah ditantang untuk bertahan di titik keseimbangan yang terbentang di antara dua keputusan. Kita dapat menjadikan ketidakpastian sebagai pemicu yang mengagumkan untuk perkembangan dan keluasan kreativitas.

Tetapi sebaliknya pun juga mungkin: kita tertelan oleh ketidakpastian itu dan selamanya berbaring di sarang laba-laba yang secepat mungkin akan runtuh ditiup angin atau dihancurkan oleh seorang anak yang sedang berlari mengejar impiannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun