Dalam sirkus kucing online, mereka jelas memutuskan sendiri apakah mereka akan melakukan trik yang sudah diajarkan, atau tidak melakukan apa-apa dengan begitu dinginnya berjalan ke kerumunan penonton.
Mereka sadar akan kebebasannya sebagai makhluk hidup dan tidak mau diperlakukan sewenang-wenang oleh majikannya. Bahkan kerap kali mereka bersikap seakan-akan merekalah majikannya, dan majikannya adalah pembantunya.
Etika "kucing" dalam media sosial dimulai dari semua konsepsi itu. Dengan kata lain, etika ini merupakan harapan dan impian kita semua untuk masa depan yang lebih baik di internet.
Sementara kita mencintai anjing, kita tidak ingin menjadi "anjing" dalam hal hubungan kita sendiri dengan media sosial. Selama ini, disadari ataupun tidak, media sosial telah menjinakkan kita seolah-olah kita adalah anjing mereka.
Kebanyakan dari kita begitu tergoda dengan kemewahan berbagai barang dalam sekumpulan iklan di layar beranda. Kita cepat-cepat menyebarkan berita menghebohkan tanpa pernah memvalidasi kebenarannya.
Kita begitu suka untuk mengomentari sesuatu yang sesungguhnya tidak kita pahami. Sekali lagi, itulah absurditas media sosial dan etika "kucing" benar-benar diperlukan.
Bersikap seolah menjadi "kucing" di media sosial berarti melepaskan segala perangkap yang selama ini banyak menjerat kita.
Etika semacam ini merupakan revolusi mental dalam kaitannya dengan media sosial, merekonstruksi segala paradigma kita terhadapnya dan bertindak proaktif ketika berhadapan dengan kebatilan.
Apa yang begitu kontras di sini adalah bahwa media sosial sama sekali bukan milik kita, dan karenanya berada di luar kendali kita. Kendati demikian, kita tetap dapat memperlakukannya seolah kita adalah "majikannya".
Kucing tidak memiliki manusia, tetapi manusialah yang memiliki kucing. Tetapi dalam prosesnya, kucing itu sendiri sering menjadi "majikan" bagi majikannya. Itulah alegori yang kiranya tepat untuk menggambarkan maksud etika "kucing".
Masalah terbesar dari generasi milenial sekarang ini adalah mereka menerima sistem yang sudah ada dengan beranggapan bahwa media sosial itu tidak terhindarkan, dan karenanya kita mesti menerima semua "kutukannya" tanpa intervensi.