Seorang ahli fisika asal Jerman, Werner Heisenberg, tiba pada suatu kesimpulan yang aneh bahwa hubungan manusia dengan teknologi dapat diibaratkan seperti hubungan laba-laba dan jaringnya: keduanya tidak dapat lagi dipisahkan.
Kini manusia benar-benar terjebak dalam putaran tersebut di mana teknologi sudah menjadi kesehariannya. Diperparah dengan datangnya pandemi Covid-19, dunia maya seolah menjadi "lebih nyata" daripada dunia nyata itu sendiri.
Segala sesuatunya seolah sudah tersedia di ujung jari kita. Tetapi anehnya, keterhubungan kita satu sama lain menjadi lebih semu daripada yang pernah terjadi sepanjang peradaban manusia.
Sebuah studi yang melibatkan lebih dari 20.000 orang Amerika mengungkapkan bahwa "epidemi kesepian" telah terjadi semenjak media sosial mencapai kejayaannya.
Ini adalah sesuatu yang sangat absurd mengingat media sosial semestinya menjadi sarana praktis bagi manusia untuk saling terhubung dengan sesamanya.
Itulah mengapa saya menyebutnya Paradoks Kesepian: semakin meningkat keterhubungan kita lewat media sosial, semakin meningkat pula rasa kesepian mendera kita.Â
Ada korelasi positif antara frekuensi penggunaan media sosial yang berlebihan dengan peningkatan rasa kesepian.
Meskipun melek teknologi sudah menjadi ciri khas dari generasi milenial, akan tetapi apa yang sesungguhnya terjadi tidak menguntungkan. Media sosial bukan sekadar menjadi penanda dari puncak globalisasi, tetapi juga sebagai sinyal dari datangnya era post-truth.
Inilah era di mana pendapat publik tidak lagi dibentuk oleh fakta dan logika, melainkan oleh sentimen dan kepercayaan. Pergerakan emosi yang tidak mudah ditebak dari generasi milenial menjadi titik utama dari berkembangnya era post-truth.
Jadi apabila kita membutuhkan pahlawan (lagi) untuk menyelamatkan bangsa ini, kepahlawanan di media sosial adalah sesuatu yang sangat kita rindukan.