Partai politik sebagai penjaga gerbang demokrasi juga nyaris tiada bedanya di mana masing-masing dari mereka tetap mengutamakan kepentingannya sendiri. "Wasit" demokrasi banyak ditangkap, dilemahkan, bahkan dibeli untuk mengubah aturan permainan.
Kini waktunya kita menelusuri kedalaman manusia dan membenahinya dari sana. Satu keniscayaan umum yang berlaku di negara-negara demokrasi adalah membuka pintu terhadap orang-orang korup untuk memperoleh kursi kehormatan.
Karena demokrasi menjunjung elektabilitas dan bukannya intelektualitas, maka kita sering terpedaya untuk membiarkan mereka yang sedari awal sudah berniat korupsi.
Memang tidak demokratis jika kita mencabut hak politik seseorang, maka konsekuensinya kita mesti bisa menilai calon-calon penguasa dari kedalamannya dan bukannya dari kekayaan atau gelar akademik semata.
Kita mesti melampaui fenomena fisik dan mulai melihat sisi terdalam manusia; sesuatu yang tidak tampak oleh mata visual. Sekurang-kurangnya, kita mesti mampu mendeteksi orang-orang semacam Eichmann dalam panggung kekuasaan.
Banalitas kejahatan tampaknya bukan hanya terjadi pada diri koruptor. Ironisnya, kebanyakan dari kita juga mulai terbiasa dengan berita-berita korupsi sehingga tidak memedulikannya lebih jauh.
Situasi semacam itulah yang berbahaya, sebab jika kedua pihak saling membuang muka, maka kebatilan seperti korupsi tidak akan pernah terselesaikan. Idealnya adalah, pihak penguasa menyadari tanggung jawabnya dan selain dari mereka bertugas mengawasi kekuasaan.
Jika kita mendefinisikan ulang pejabat sebagai orang yang cakap berpikir, berbicara, dan bertindak tanpa mengabaikan etika perihal tata hidup bersama, pantaskah koruptor disebut sebagai (mantan) pejabat? Standarisasi itulah yang tidak kita miliki.
Mengingat semakin mudahnya melumpuhkan pihak oposisi, pendekatan normatif perlu didorong oleh pendekatan lain. Alternatif terbaik yang kita miliki adalah membangun jiwa bangsa yang mampu mengurai makna kebersamaan dan hadir lebih dekat dengan transedensi yang lebih agung daripada kita.
Menanamkan moralitas pada nurani manusia bukanlah pekerjaan mudah, namun dengan segala sarana yang kita miliki saat ini, semuanya begitu mungkin dan terbuka.
Siapa pun yang mengaku sebagai warga negara berkewajiban untuk menjadi penjaga gerbang demokrasi, sebab hanya dengan demikianlah, setiap orang dapat menjaga dirinya sendiri dari banalitas kejahatan.