Seperti yang pernah ditanyakan oleh Elias Canetti, "Apa artinya menjadi manusia di tengah-tengah keniscayaan naluri rimbanya?"
Terkikisnya nilai-nilai moral dapat membuat seseorang terjebak dalam keabu-abuan antara apa yang baik dan apa yang benar. Koruptor bukan hanya merasionalisasi kejahatannya sebagai "benar", tetapi mereka juga menukar nilai "buruk" menjadi "baik" akibat defisitnya moralitas.
Padahal moralitas adalah kompas dalam diri manusia yang mengarahkannya pada kelembutan tata hidup bersama.Â
Dan tanpa kemampuan untuk membuat pertimbangan akan nilai-nilai, untuk membedakan mana yang baik di antara hal-hal yang buruk, tidak peduli seberapa cerdasnya seseorang, koruptor telah kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Betapa pun mereka tahu bahwa korupsi itu termasuk kejahatan besar, tanpa pengendalian diri, mereka mengabaikan label "kejahatan" dan tetap melakukannya dengan sukaria.
Bengkoknya nilai-nilai pribadi dapat menggerus rasa empati mereka ke dalam kuburan jiwa yang hampa. Nurani mereka seakan beku dan tidak bisa lagi menyerap penderitaan orang lain.
Tidak adanya kepedulian dan pengertian terhadap penderitaan rakyat membuat koruptor dapat merasionalisasi kejahatannya.Â
Pemikiran mereka bekerja otomatis mencari kambing hitam atas perbuatannya, dan lalu merasa telah "bercuci tangan" tidak peduli seberapa besarnya kebengisan mereka.
Bagaimanapun juga, mereka mendistorsi persepsi realitas bahwa kesenangan berada di atas segala-galanya, sama seperti hewan yang tingkah lakunya (selalu) mengarah pada kenikmatan yang dangkal dan tanpa pertimbangan.
Pada titik ini, koruptor adalah manusia yang belum juga beranjak dari kodrat hewaninya yang sedemikian brutal dan merusak.
Friedrich Nietzsche percaya bahwa hakikat dari manusia adalah kehendak untuk berkuasa. Ketika dunia terdalam manusia dan dunia sosialnya berbenturan, maka muncullah kejahatan besar seperti korupsi.