Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seni Keheningan: Belajar Berbicara Lebih Sedikit

15 November 2021   11:01 Diperbarui: 15 November 2021   11:08 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keheningan bukanlah ketiadaan kata-kata, melainkan berbicara dengan penuh makna tanpa membuka mulut | Ilustrasi oleh Oleg Mit via Pixabay

Keheningan tidak kosong, justru di dalamnya penuh jawaban. Namun sebagai manusia yang bermasyarakat, agak-agaknya kita telah lupa bagaimana menjadi senyap dan tenang. Dunia seolah seperti mesin yang tidak bisa bekerja tanpa kegaduhan.

Banyak orang yang begitu nafsu untuk berbicara ketika tidak seorang pun di antara mereka yang ingin mendengarkan. Mereka berlaga seperti mendengarkan hanya untuk menunggu gilirannya untuk berbicara.

Kita semua begitu cepat memberikan nasihat bagaikan orang bijak yang tahu-menahu soal kehidupan orang lain, tetapi dalam waktu yang bersamaan, kita juga enggan untuk menerima nasihat dari siapa pun.

Anda mungkin pernah mendengar bahwa rata-rata orang memiliki 12.000 hingga 80.000 pikiran setiap harinya, tetapi tahukah Anda bahwa sebanyak 98 persen di antaranya hanyalah pikiran yang sama persis dengan sehari sebelumnya?

Selain itu, dikatakan juga bahwa 80 persen dari pikiran kita bersifat negatif. Mayoritas orang berbicara hanya demi citra dirinya sendiri, entah karena merasa bosan, tidak nyaman, sombong, takut, dan lain-lain; semua daftar itu tidak ada habisnya.

Nyaris tidak ada filter antara pikiran dan mulut bagi beberapa orang. Apa pun hal bodoh yang muncul di kepalanya, maka dikatakanlah olehnya. Kita mungkin bergantung pada komunikasi, tetapi berbicara tidak selalu merupakan komunikasi.

Di sinilah saya berpikir bahwa jika dunia selalu berisik dan tidak bisa disenyapkan, maka kitalah yang harus menciptakan keheningan itu, setidaknya untuk diri sendiri.

Saya pribadi memasang sebuah papan kecil di samping pintu kamar bertuliskan, "Diam dan tenanglah. Hargai keheningan ruangan ini!" Dengan maksud yang jelas, saya tidak suka orang memasuki kamar saya hanya untuk membawa kebisingan yang tidak bermakna.

Keheningan menciptakan ruang dalam hidup kita. Ini memungkinkan kita untuk berhenti sejenak di antara dua titik keputusan, kemudian kita memproses dan merenungkannya supaya dapat melihat ke kedalaman diri kita dengan jernih.

Tanpa keheningan, kita terus bergerak maju tanpa mengerti di mana kita berada atau ke mana kita ingin pergi.

Bayangkan bahwa kita pergi berlayar menuju keluasan samudra yang dipenuhi ketidakpastian, tetapi kita tidak menyempatkan diri untuk melihat peta perjalanan. Tampaknya begitu bagus bahwa kapal yang kita kemudikan terus melaju dengan cepat.

Hanya saja, besar kemungkinan kita tersesat.

Keheningan bukanlah kekosongan kata-kata. Keheningan bukan pula ketiadaan suara yang menyembunyikan kebenaran.

Dalam konteks ini, keheningan adalah berbicara dengan mulut tertutup di mana perasaan dan pikiran tetap bekerja sebagaimana kodrat manusia untuk mencari tahu. Di sinilah terjadi jeda dalam rentang peristiwa yang kita alami sehari-hari.

Energi dari kesunyian ini melahirkan potensi yang benar-benar kuat untuk kita menenggelamkan diri dalam keindahan semesta, dan ketika kita menghentikannya, kita menjadi sangat mungkin untuk tertipu oleh ilusi-ilusi yang ditawarkan kehidupan.

Dalam keheningan, kita dapat benar-benar mendengarkan bisikan yang datang dari dalam diri kita. Bahkan bukan hanya dengan diri kita sendiri, melainkan juga dengan dunia yang melingkupi kita setiap saat.

Merangkul keheningan juga berarti berbicara seefektif mungkin tanpa memutar-mutar perkataan sehingga pada dirinya lebih banyak kepalsuan daripada kebenaran. "Semakin banyak berbicara, semakin banyak pula kebohongan," kata seseorang.

Berbicara lebih sedikit tidak selalu berarti berpikir lebih sedikit, tetapi itu dapat mengarah pada kualitas pikiran kita yang lebih baik. Maksudnya, pikiran semacam ini yang justru sungguh-sungguh diresapi dengan persepsi dan kesadaran.

Menjernihkan penilaian adalah anugerah dari pikiran yang bekerja dengan tenang; momen ketika kita memupuk keheningan lahir dan batin. Tidaklah mungkin untuk peka terhadap apa yang terjadi di sekitar kita bila kita sibuk berbicara sepanjang waktu.

Sama seperti makanan yang dikonsumsi tanpa dikunyah, itu membahayakan diri sendiri.

Selama ini khalayak beranggapan bahwa orang cerdas cenderung lebih sedikit berbicara, tetapi kebalikannya juga benar: berbicara lebih sedikit membuat kita lebih cerdas (dan bijaksana).

Semakin sedikit kita berbicara, semakin banyak kita mendengar. Informasi dan pengetahuan yang kita akses perlahan akan meningkat secara substansial setelah kita belajar untuk membungkam prasangka dan mulut kita.

Pada prosesnya, kita akan semakin tersadar akan batas pengetahuan kita. Seperti kata Socrates, "Orang bijaksana adalah dia yang mengetahui bahwa dirinya tidak tahu apa-apa."

Ketika kesadaran itu semakin mengakar, maka kita lebih cenderung untuk mendengarkan dan mengamati daripada berbicara apa yang kita pikir kita ketahui. Saya tidak ragu-ragu untuk mengatakan bahwa kerendahan hati inilah yang menjadi tanda kecerdasan.

Input yang baik akan sangat mungkin untuk menghasilkan ouput yang berkualitas. Sama seperti proses produksi barang, bahan baku dan kreativitas yang kita miliki akan menentukan seberapa berkualitasnya produk kita nanti.

Demikian juga yang terjadi pada kita: semakin berkualitas input yang kita serap sebagai modal, maka semakin baik pula output yang kita hasilkan.

Semakin berkualitas pengetahuan yang masuk ke dalam pikiran kita, semakin berkualitas ucapan-ucapan yang terlontar dari mulut kita. Keduanya berkorelasi positif. Apa yang kita dapatkan, itulah yang kita kerahkan.

Kita tidak lagi berkeinginan untuk menjadi bijaksana, sebab kita memang tengah menjalaninya. Ketika Anda berada dalam sebuah pusaran keajaiban yang memikat, Anda tidak menginginkan keajaiban itu. Andalah keajaiban itu, dan merekalah yang menginginkan Anda.

"Orang bijaksana berbicara ketika mereka memiliki sesuatu untuk dikatakan," urai Plato, "sedangkan orang bodoh berbicara karena mereka harus mengatakan sesuatu."

Maksudnya, mereka yang bijaksana tidak akan berbicara kecuali mereka bisa memastikan bahwa apa yang dikatakannya memanglah penting dan berguna. Tetapi mereka yang sembrono akan berbicara ketika sebenarnya pikiran mereka begitu "kosong".

Saya merasakan kepuasan yang luar biasa ketika duduk senyap bersama buku dan secangkir kopi, menatap kelabunya hari yang hampir tenggelam, meresapi kelembutan tiupan angin yang kadang-kadang membuat saya bergidik.

Saya mulai menyadari bahwa saya dapat mendengarkan keheningan dan belajar sesuatu yang berharga darinya. Keheningan, bagaimanapun juga, memiliki kualitas dan dimensinya tersendiri.

Dalam kata-kata Ansel Adam, "Ketika kata-kata menjadi tidak jelas, saya akan fokus dengan foto-foto. Ketika gambar menjadi tidak memadai, saya akan puas dengan keheningan."

Saya membayangkan bahwa kita perlahan belajar untuk duduk diam dan mengamati dunia di sekitar kita dengan ketakjuban. Mungkin ini akan mengambil waktu seumur hidup untuk belajar.

Tampaknya hanya yang tua yang bisa duduk bersebelahan dan menjaga keheningannya dengan tetap merasa puas. Yang muda (kebanyakan) tampak kurang ajar dan tidak sabar; mereka selalu berusaha untuk memecahkan kesunyian.

Tetapi itu sia-sia, karena senyap itu murni. Diam itu suci. Itu menyatukan orang karena hanya merekalah yang bisa tetap nyaman satu sama lain untuk mampu duduk berdampingan tanpa berbicara. Ini adalah paradoks yang hebat.

"Tiram terbuka sepenuhnya saat bulan purnama," demikian kata Leonardo Da Vinci, "dan ketika kepiting melihatnya, ia melemparkan sepotong batu atau rumput laut ke dalamnya hingga membuat tiram tidak bisa menutup lagi.

Tiram pun melayani kepiting atas daging-dagingnya. Begitulah nasib orang yang terlalu banyak membuka mulutnya, dan dengan demikian menempatkan dirinya pada belas kasihan pendengarnya."

Dalam kesusastraan, kita mengenal istilah "solilokui", yang mana seorang tokoh membangun wacana untuk dirinya sendiri dan digunakan untuk mengungkapkan perasaan, firasat, hingga konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut.

Tapi sebenarnya solilokui hanyalah sebuah kuasi monolog. Dalam lakon-lakon Shakespeare, seorang peran, Hamlet misalnya, akan berdiri menyisih ke tepi pentas seraya mengucapkan sejumlah kata yang dikesankan lebih tertuju ke dalam dirinya sendiri.

Bahasa Indonesia punya idiom yang bagus untuk itu: berkata dalam hati. Inilah esensi dari seni keheningan. Inilah inti dari belajar berbicara lebih sedikit melalui "mode-hening" yang kita aktifkan ketika dunia begitu bising.

Dan saya mulai kedinginan (lagi).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun