Ketika kebanyakan orang mulai berkeinginan untuk mengubah hidupnya, mereka sering fokus pada semua hal eksternal yang melingkupinya. Namun kenyataannya, mengubah hidup selalu dimulai dengan mengubah cara kita melihat segala sesuatu dalam hidup kita.
Kita sering terjebak dalam persepsi palsu bahwa dunia ini menjengkelkan, dan bagaimanapun juga tidaklah adil. Tetapi sebelum melihat tentang bagaimana dunia memperlakukan kita, bukankah yang lebih penting adalah melihat diri kita sendiri sebagai subjeknya?
Dalam banyak kesempatan, cara kita melihat masalah adalah masalah itu sendiri.
Kita semua kerap mendistorsi persepsi kita sendiri akan realitas. Dan celakanya, kita sering tidak menyadari itu. Tidak setiap orang mampu memeriksa dirinya, tetapi semua orang punya potensi untuk melakukannya.
Menempatkan diri sendiri pada posisi yang tepat menjadi keterampilan langka seolah-olah hanya bisa dilakukan oleh profesional.Â
Ketika seekor ikan bermimpi dapat terbang seperti burung, bukan tugas Anda untuk melayangkannya ke sebuah pohon.
Tugas Anda adalah memberitahu ikan tersebut tentang jati dirinya yang sejati dan bahwa impiannya itu sama seperti bunuh diri.
Begitu pula pendekatan dengan diri sendiri yang memerlukan kehati-hatian dan perenungan. Di kala Anda berpikir dunia adalah tentang kekacauan dan tidak ada hal lain selain itu, mungkin persepsi Anda sendirilah yang kacau.
Filsuf Arthur Schopenhauer menulis bahwa kesadaran terdiri dari dua bagian: subjek dan objek. Pikiran subjek berperan sebagai "pelihat" dan objek sebagai "yang terlihat". Baginya, selalu ada sesuatu yang "terlihat" dan selalu ada sesuatu yang "melihat".
Pada umumnya, kita adalah subjek dari kesadaran kita, sedangkan beberapa hal eksternal yang masuk ke dalam kesadaran kita adalah objeknya. Kopi yang tengah saya nikmati adalah objek kesadaran saya. Laptop juga merupakan objek kesadaran saya saat ini.
Selama "saya" adalah subjek dan beberapa hal eksternal adalah objek, maka semua pikiran, perasaan, impuls, dan keinginan saya dibundel menjadi beberapa subjektivitas tak berwujud yang dikenal sebagai "Saya" yang tidak dianalisis atau dipertimbangkan.
Salah satu kecenderungan kita yang membuat dunia tampak menyebalkan dan brengsek adalah menempatkan sesuatu yang semestinya merupakan objek kesadaran menjadi subjek kesadaran kita.
Seorang teman dianggap sebagai iblis yang entah bagaimana bisa berpenampilan seperti manusia. Mungkin pandangan tersebut datang dari emosi kemarahan atau kebencian yang kita tempatkan sebagai subjek kesadaran; sesuatu yang berperan sebagai "pelihat".
Kala segalanya tampak muram amatlah mungkin diakibatkan oleh diri kita sendiri yang menempatkan kesedihan sebagai subjek kesadaran kita. Ketika yang terjadi adalah demikian, lensa yang kita gunakan untuk melihat dunia sudah kotor dan retak.
Hanya ketika kita mengalihkan fokus pada diri kita sendiri dan menjadikan pikiran serta perasaan sebagai objek kesadaran kita, maka kita dapat membedakan dan menempatkannya ke dalam perspektif yang berbeda.
"Oh, aku merasa sedih hari ini dan kesedihan itu mengendalikan sikapku terhadap beberapa hal." Kesadaran itu membawa saya pada perbaikan tentang apa yang sebelumnya merupakan subjek (perasaan sedih), sekarang menjadi objek kesadaran saya.
Dengan demikian, perasaan sedih itu perlahan mulai terpisah dari saya. Selepasnya, saya dapat menganggap kesedihan tersebut seolah bukan diri saya. Dan kini waktunya bertanya, "Mengapa itu ada? Untuk apa? Apakah itu berguna? Apakah aku peduli terhadapnya?"
Praktik mengubah kesadaran basis subjek seseorang menjadi objek kesadarannya adalah bagaimana kesadaran diri dapat terbentuk secara bertahap. Ini adalah bagaimana menjadi lebih baik, untuk mengubah yang implisit menjadi eksplisit; dari internal ke eksternal.
Ketika pikiran, perasaan, dan impuls kita seolah terpisah dari "aku" kita, maka kita dapat memilih apakah kita ingin menyimpannya dan mengintegrasikannya kembali atau membiarkannya begitu saja (mengendalikan kita).
Saya rutin menyediakan waktu satu jam setiap malam untuk meraba-raba ke dalam diri sendiri, memeriksa semua yang saya lakukan di hari itu dan mencari titik di mana saya telah mengacaukannya.
Kemudian saya memutar ulang ingatan tersebut dengan kemurnian dan sering menemukan bahwa akar permasalahannya ada pada diri saya sendiri. Di sinilah saya seolah menjadi "psikolog" untuk diri sendiri.
Saya suka menganggap kegamangan sebagai undangan untuk bertanya pada diri sendiri.
"Seorang psikolog menjumpai sedikit saja pertanyaan-pertanyaan yang merangsang, tentang hubungan antara filsafat dan kesehatan, dan bila ia sendiri jatuh sakit, maka ia akan masuk ke dalam kemalangan itu dengan seluruh keingintahuan ilmiahnya," urai Nietzsche dalam pengantar bukunya, Gay Science.
Di sana Nietzsche menyebut dirinya sebagai psikolog yang memasuki pengalaman sakit dengan "seluruh rasa ingin tahunya". Maka rasa sakit bukanlah takdir yang mesti ditanggung dengan rasa lelah dan kalah.
Apa saja yang datang (termasuk rasa sakit) dihadapi Nietzsche dengan keingintahuan ala seorang psikolog, dan rasa ingin tahu itulah yang membuatnya mampu mengambil jarak dengan apa saja yang menimpanya.
Dengan demikian, rasa sakit tidak serta-merta untuk diiyakan atau ditolak, sebab itu bukan sikap ilmiah seseorang yang ingin tahu, tetapi sekaligus diiyakan dan ditidakkan.
Menurut Nietzsche, hanya dengan sikap seperti itulah sebuah "pengetahuan" dimungkinkan; demikianlah sang psikolog berusaha membagikan pengalamannya.
Di depan rasa sakit, intuisi Nietzsche mengajarkan sikap hati-hati dan tidak buru-buru mencari penjelasan. Rasa sakit dibiarkan datang dan disambut dengan rasa ingin tahu, waspada, dan mengambil jarak.
Tentu menjadi "psikolog" untuk diri sendiri bukanlah perkara mudah. Kita dituntut untuk memeriksa ke dalam diri sendiri yang kerap kali terlampau gelap dan hampa, kemudian kita kembali tanpa menemukan sesuatu pun yang berharga.
Di sini Anda berhadapan dengan seorang pasien yang sulit untuk dibaca pemikirannya, atau setidaknya tidak dapat ditangkap sepenuhnya. Dia mengeluh banyak kesakitan dalam jiwanya, termenung di atas sofa yang sebenarnya sangat nyaman untuk raga yang lelah.
Dia bercerita pada Anda bahwa kenestapaan membuatnya sengsara, beberapa rekan terdekat mengkhianati dengan halus hingga dia tidak tahu lagi bagaimana mesti menyikapinya. Perlahan kedua matanya mulai basah, dan Anda sangat prihatin melihat mata indah itu.
Pasien itu adalah diri Anda sendiri, dan Anda pun sekaligus menjadi psikolognya. Pada titik ini, Anda terjebak dalam dialog yang menyedihkan antara "me" dan "myself". Tetapi meskipun tidaklah mudah, Anda harus melakukannya demi diri Anda sendiri.
Anda mendiagnosis keluhan diri sendiri, berbicara sekaligus mendengarkan. Kemudian Anda merenungkannya untuk memberikan penilaian yang tepat, dan bila dirasa begitu sulit, Anda pergi mencari literatur yang relevan, memahaminya cukup lama dengan teliti.
Setelah menemukan akar kekacauannya, Anda sendirilah yang kemudian mempraktikkan apa yang menjadi "obatnya". Anda menguji hasil diagnosa diri sendiri. Dan pada hari berikutnya, Anda mengevaluasi semua itu.
Siklus berulang, dan meskipun menyulitkan diri sendiri, Anda terjebak dalam lingkaran yang benar. Dengan begitulah Anda mendongakkan kepala untuk mengambil tanggung jawab diri Anda sendiri alih-alih mencari kambing hitam atas semua kekacauan yang terjadi.
Dalam kata-kata Nietzsche, "Dan mereka yang terlihat menari dianggap gila oleh mereka yang tidak bisa mendengar musiknya."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI