Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi "Psikolog" untuk Diri Sendiri

13 November 2021   09:48 Diperbarui: 14 November 2021   14:50 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya suka menganggap kegamangan sebagai undangan untuk bertanya pada diri sendiri.

"Seorang psikolog menjumpai sedikit saja pertanyaan-pertanyaan yang merangsang, tentang hubungan antara filsafat dan kesehatan, dan bila ia sendiri jatuh sakit, maka ia akan masuk ke dalam kemalangan itu dengan seluruh keingintahuan ilmiahnya," urai Nietzsche dalam pengantar bukunya, Gay Science.

Di sana Nietzsche menyebut dirinya sebagai psikolog yang memasuki pengalaman sakit dengan "seluruh rasa ingin tahunya". Maka rasa sakit bukanlah takdir yang mesti ditanggung dengan rasa lelah dan kalah.

Apa saja yang datang (termasuk rasa sakit) dihadapi Nietzsche dengan keingintahuan ala seorang psikolog, dan rasa ingin tahu itulah yang membuatnya mampu mengambil jarak dengan apa saja yang menimpanya.

Dengan demikian, rasa sakit tidak serta-merta untuk diiyakan atau ditolak, sebab itu bukan sikap ilmiah seseorang yang ingin tahu, tetapi sekaligus diiyakan dan ditidakkan.

Menurut Nietzsche, hanya dengan sikap seperti itulah sebuah "pengetahuan" dimungkinkan; demikianlah sang psikolog berusaha membagikan pengalamannya.

Di depan rasa sakit, intuisi Nietzsche mengajarkan sikap hati-hati dan tidak buru-buru mencari penjelasan. Rasa sakit dibiarkan datang dan disambut dengan rasa ingin tahu, waspada, dan mengambil jarak.

Tentu menjadi "psikolog" untuk diri sendiri bukanlah perkara mudah. Kita dituntut untuk memeriksa ke dalam diri sendiri yang kerap kali terlampau gelap dan hampa, kemudian kita kembali tanpa menemukan sesuatu pun yang berharga.

Di sini Anda berhadapan dengan seorang pasien yang sulit untuk dibaca pemikirannya, atau setidaknya tidak dapat ditangkap sepenuhnya. Dia mengeluh banyak kesakitan dalam jiwanya, termenung di atas sofa yang sebenarnya sangat nyaman untuk raga yang lelah.

Dia bercerita pada Anda bahwa kenestapaan membuatnya sengsara, beberapa rekan terdekat mengkhianati dengan halus hingga dia tidak tahu lagi bagaimana mesti menyikapinya. Perlahan kedua matanya mulai basah, dan Anda sangat prihatin melihat mata indah itu.

Pasien itu adalah diri Anda sendiri, dan Anda pun sekaligus menjadi psikolognya. Pada titik ini, Anda terjebak dalam dialog yang menyedihkan antara "me" dan "myself". Tetapi meskipun tidaklah mudah, Anda harus melakukannya demi diri Anda sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun