"Penegasan tersirat dalam setiap tindakan pemberontakan diperluas ke dalam sesuatu yang melampaui individu, sejauh itu menariknya dari kesendirian dan memberinya alasan untuk bertindak," ujar Camus.Â
Absurditas, menurutnya, mesti dihadapi dengan "moral keterlibatan" dalam sebuah perjuangan bersama; pemberontakan kolektif. "Aku memberontak, maka aku ada," tegasnya.
Bersandar pada etika politik Camus, kita seyogianya "memberontak" pada ketidakadilan dan kekacauan yang setiap hari berada di depan wajah kita.Â
Bila mengibaratkannya sebagai bencana, kita tidak boleh mencari ketenangan sendiri dan lalu membiarkan orang lain berada dalam kemelaratan.Â
Pemberontakan ala Camus tidak memimpikan adanya telos/tujuan, tetapi kita berhak memberinya makna sebagai pemantik api yang membara dalam empati kita.Â
Ketiadaan mimpi berarti penolakan yang tegas terhadap pamrih, dan kalau pun ada, maka bukan tugas kita untuk memikirkannya.Â
Kita tidak perlu berharap pemberontakan kita akan menghentikan kekacauan yang ada, termasuk tanpa berilusi mengenai masa depan yang lebih gemilang; kita hanya harus menjalankannya sebagaimana Camus menyebutnya dengan "tugas kemanusiaan".
Kebatilan menelan dan menghancurkan setiap individu dalam putaran keniscayaan. Menurut Camus, tidak bisa tidak, kebatilan tersebut haruslah menjadi urusan "kita bersama".Â
Mungkin pemberontakan yang kita lakukan bernilai sia-sia bila dipandang secara holistik. Kita tidak menyelamatkan orang dari mati kelaparan, tapi kita hanya menunda kematiannya untuk bisa merasakan lebih banyak kebahagiaan dan kelembutan kosmos.Â
Kita tidak membersihkan korupsi dari teater kekuasaan, melainkan hanya membiarkannya "berhibernasi" hingga di kemudian waktu "terbangun" kembali.Â