Aku juga membayangkan bahwa suatu hari nanti, kau akan melihatku tengah berada di spektrum kebahagiaan yang orang-orang bilang sebagai "puncak kehidupan".
Dan entah bersama siapa kau nanti, kau hanya akan tersadar bahwa orang yang kau kagumi itu adalah orang yang juga pernah mencintaimu di suatu waktu. Kau tidak memedulikanku karena kala itu, aku hanyalah pecundang yang mengemis cinta padamu.
Kemudian kau mengingat semua momen bersamaku, tapi toh kau juga ingat bahwa aku pernah menjadikan namamu (lebih tepatnya sosok dirimu) sebagai tokoh utama dalam novel pertamaku.
Apa yang akan kau lakukan bila semua itu benar-benar terjadi? Ah, bagaimana jika begitu? Barangkali kau bertanya balik tentang apa yang akan kulakukan andai demikian. Jawabanku: entah, karena mungkin kala itu, aku tidak mengingat masa laluku.
Kini aku kedinginan sendirian dalam alunan hujan yang bising. Hujan belum juga reda, padahal aku amat menunggu munculnya pelangi dan menemukan sesuatu yang berharga di balik keindahannya.
Tetapi pernahkah kau melihat pelangi malam? Ia melingkar dalam rangkulan rembulan seperti cincin Saturnus yang berkilauan di tengah kepekatan.
Ketujuh warnanya pudar oleh keindahan Dewi Malam, lantas aku berpikir, "Begitulah duniaku ketika Semesta Mungilku mengorbitku."
Aku pikir hidup yang baik bukanlah penolakan (mutlak) atas apa pun yang menjadi kengerian kosmos, justru kehidupan yang indah adalah ketika kau menerima semua keabsurdan itu dan merayakannya bersama kedinginan malam tanpa Sirius.
Keheningan, kesendirian, kenestapaan, kejengkelan; semua itu merangkai makna kehidupan seperti butiran kecil mutiara yang beruntai pada seutas benang.Â
Kemudian ketika masanya kita pergi, kita akan ingat bahwa suatu waktu, seluruh dunia pernah melingkari leher kita.
Kusadari bahwa apa pun yang kumiliki dan kudapatkan tidak akan pernah membuatku merasa puas sama sekali. Maka aku hanya akan hidup; membiarkan apa yang ada sebagaimana adanya, dan aku ingin menjadi seseorang yang selalu mengatakan Yea-sayer!