Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merefleksikan Hidup dengan Menulis

23 Oktober 2021   07:57 Diperbarui: 23 Oktober 2021   08:04 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menulis adalah cara untuk menggandakan keindahan hidup | Ilustrasi oleh Free-Photos via Pixabay

Gadis kecil itu berumur 11 tahun ketika pasukan Nazi mulai menginvasi Amsterdam pada Mei 1940. Dia merupakan keturunan keluarga Yahudi yang kala itu hidup-matinya sedang dipertaruhkan di hadapan manusia-manusia amoral.

Kaum Yahudi harus mematuhi jam malam yang ketat, bersembunyi di lorong-lorong gelap sudut kota yang bagaimanapun juga harus terasing dari keramaian. Jika Anda tidak tahu, ini adalah kisah tentang segala sesuatu yang sepenuhnya dan tanpa sisa menjadi ambyar.

Pada 12 Juni 1942, gadis kecil itu menerima buku catatan kotak-kotak merah-putih sebagai hadiah ulang tahun ke-13 dari ayahnya.

Sebulan kemudian, ketika Jerman mulai mengirim orang Yahudi Belanda ke kamp konsentrasi, keluarga gadis kecil tersebut mendirikan tempat persembunyian di sela-sela perusahaan kecil dan gudang yang terpencil.

Dalam ruangan sempit dan pengap itulah, dia mulai menuliskan refleksi kesehariannya secara rutin. "Aku masih percaya, terlepas dari segalanya, bahwa semua orang benar-benar baik hati," tulisnya di salah satu entri mengagumkan.

Dialah Anne Frank, seorang gadis kecil yang manis dengan ketenaran internasional setelah buku hariannya diterbitkan dan menjadi bagian dari kurikulum sekolah menengah di beberapa negara.

Diari tersebut berhasil merekam rasa takut, harapan, dan pengalaman Anne selama masa kehidupannya yang mencekam.

Anne Frank (Gambar via newstatesman.com)
Anne Frank (Gambar via newstatesman.com)

"Anne adalah gadis yang hidup dan berbakat, mengungkapkan pengamatan, perasaan, refleksi diri, ketakutan, dan mimpinya dalam buku hariannya," ujar Annemarie Bekker. "Kata-katanya bergema di seluruh penduduk dunia."

Amat-sangat disayangkan bahwa Anne tidak sempat merasakan ketenarannya karena buku hariannya itu baru dipublikasikan oleh ayahnya setelah Anne meninggal di usia 15 tahun. Tapi mungkin bukan semua itu yang diharapkan Anne.

Bagaimanapun juga, Anne merupakan simbol suci untuk janji yang hilang dari Nazi terhadap anak-anak yang tewas selama Holocaust. Dialah penoreh dokumen sejarah tentang sisi lain dari manusia; bagian terburuknya.

Tetapi hal yang ingin saya soroti di sini bukanlah perkara kejujuran Anne yang bisa menghanyutkan jiwa mana pun yang membacanya.

Lebih dari itu, saya tertarik tentang bagaimana Anne dapat mempertahankan senyumnya di tengah-tengah kekacauan dengan menulis.

"Bagian terbaiknya adalah aku bisa menuliskan semua pikiran dan perasaanku. Jika tidak, aku akan mati lemas," urainya dalam salah satu entri yang terperinci.

Keajaiban Menulis

Eksistensi setiap manusia bisa jadi ditentukan oleh kemampuannya dalam hal membaca. Realitas adalah "teks" yang senantiasa menuntut dibaca, dan karena itulah mereka yang gagal membaca realitasnya akan terperosok ke dalam jurang gelap peradaban.

Tidak ada jalan keluar untuk itu. Dalam kata-kata Socrates, "Hidup yang tidak diperiksa adalah hidup yang tidak layak dijalani."

Menulis berarti menuangkan apa yang kita baca dari realitas. Menulis berarti mendokumentasikan apa yang kita pelajari dari kehidupan, memberinya nilai tertentu sesuai dengan apa yang kita pedulikan, dan menjadikannya sebagai cermin keseharian.

Menulis juga merupakan jalan menuju "keabadian" yang mana setiap incinya dipenuhi debu-debu ajaib yang mengagumkan. Tulisan membuat segala sesuatu menjadi "abadi", bahkan ide buruk sekalipun.

Catatan kecil Anne Frank merupakan bukti bahwa menulis adalah semangat keabadian.

Beberapa orang menganggap bahwa menulis itu menyengsarakan pikiran di mana Anda harus duduk sekian lama (hanya) untuk menguraikan kata-kata, dan mungkin saja tidak seorang pun di dunia ini yang menyukai hasilnya.

Tetapi memang itulah keindahan menulis; berada dalam kengerian antara pikiran dan perasaan yang kadang-kadang membuat kita "berdarah-darah" selama beberapa jam.

Pada puncaknya, kita dapat menggunakan keduanya untuk melihat realitas dengan kacamata berbeda dan menemukan hal-hal berharga yang mungkin saja tidak pernah dilihat oleh manusia manapun.

Jika Anda merasakan kesulitan yang luar biasa dalam menulis hingga Anda pun enggan terhadapnya, coba perhatikan kembali bagaimana Anda melakukannya. Anda tidak bisa membenci spageti ketika Anda sendirilah yang memasukkannya lewat hidung.

Menulis adalah cara terbaik untuk menari bersama pikiran, sedangkan emosi dan perasaan adalah musik kesenyapan yang memainkan not-notnya seiring tarian kita. Air mata adalah kata-kata yang patut untuk ditulis.

Tidak ada penderitaan yang lebih besar daripada harus menanggung cerita yang tak terhitung di dalam diri kita. Jika semua cerita itu selamanya dipendam, kita seperti menelan bom waktu yang pada saatnya akan meledak, dan mungkin kita sendiri belum siap atas ledakan itu.

Saya mengalaminya beberapa tahun yang lalu. Ketika cerita saya meledak di depan wajah seorang teman, dia benar-benar mendengarkan bukan untuk memahami, melainkan untuk mengadu nasib yang membuat saya merasa semakin buruk.

Beberapa orang tidak ada bedanya, justru sebagian yang lain sepenuhnya tidak peduli. Saya menyadari hal itu dan memutuskan untuk mencoba "membumikan" keresahan saya dalam uraian kata-kata di catatan pribadi.

Pada suatu malam yang sendu, saya duduk di bawah hujan cahaya bintang bersama pena dan beberapa lembar kertas kecil yang masih kosong. Saya menarik diri beberapa saat dari dunia yang teramat sibuk.

Saya menengadahkan pandangan pada titik-titik cahaya dengan penuh kekaguman dan kegembiraan, seakan saya telah membeku oleh angin malam seraya melihat masa lalu lewat sinar-sinar mungil di tengah kepekatan.

Perlahan saya menulis apa yang menjadi cerita saya di hari itu, dan saya sadar betul bahwa bintang-bintang begitu senang memandangi pena saya yang menari-nari. Meskipun rembulan tidak tersenyum dan cukup pucat, tapi toh ia menerangi luka-luka saya di masa lalu.

"Belakangan tidurku tidak lagi nyenyak seperti sebelumnya. Apa yang membuatku enggan untuk memejamkan mata? Ah, aku tahu! Pada akhirnya, kusadari bahwa kenyataan jauh lebih indah daripada mimpi," tulis saya kala itu.

Anda perlu mempertimbangkan bahwa untuk merefleksikan keseharian Anda lewat tulisan, tidak ada satu kewajiban pun yang menuntut Anda untuk menuliskannya dalam beberapa paragraf. Anda dapat mencurahkannya hanya dalam beberapa kalimat atau frase, bahkan kata.

Catatan harian saya malahan dipenuhi kutipan-kutipan pendek tentang apa yang saya maknai dari suatu cerita. Saya dapat memikirkannya beberapa jam dan merefleksikannya hanya dalam 7 kata.

Semenjak itu saya mengerti bahwa fantasi bukanlah pelarian dari kenyataan, melainkan cara untuk memahaminya. Saya menulis dan merasakan kehidupan dua kali: pada saat ini dan dalam retrospeksi.

Kala Anda mulai merefleksikan keseharian dalam tulisan, di sana tidak ada penghakiman ataupun pengaduan nasib; yang ada hanyalah semesta itu sendiri yang entah bagaimana bisa memberikan kehangatan pada jiwa Anda dengan cara yang tidak terjelaskan.

Ketika Anda berpikir dan bertanya tentang sesuatu, maka sesuatu itu akan berpusat pada diri Anda seperti planet-planet di tata surya yang senantiasa mengorbit matahari. Anda adalah matahari itu.

Jika Anda tidak segera menuliskannya, Anda akan kehilangan cahaya Anda sendiri dan segala sesuatu yang sebelumnya berpusat pada diri Anda pun akan turut tersesat dalam kegelapan kosmos yang dicekik kehampaan.

Mungkin sedikit gila ketika kita memilih untuk menuliskan semua perasaan kita pada lembaran kertas kosong yang sama sekali tidak bisa mendengar dan menanggapi.

Tetapi yang lebih anehnya adalah, ketika kita mulai menguraikan kata-kata itu, entitas tidak terjelaskanlah yang sebenarnya mendengarkan dan mendampingi kita. Apa atau siapa "entitas" yang dimaksud?

Tuhan berbicara pada kita lewat tulisan dalam kitab suci. Kita pun dapat berbicara balik pada-Nya dengan cara yang sama: menulis.

Ada banyak hal yang kita alami setiap hari. Jika kita tidak menuliskannya, kita melewatkan keajaiban hidup kita yang seringkali berwujud hal-hal kecil yang tidak kita hargai sama sekali.

Menulis berarti mengumpulkan keajaiban hidup yang tercecer.

Orang bilang keajaiban hanya terjadi pada anak kecil yang masih lugu dalam memandang dunia, sedangkan orang dewasa dianggap sudah terbiasa dengan dunia dan segala keanehannya.

Tetapi memang persis itulah masalahnya: mereka tidak tahu caranya "menjadi anak kecil" (kembali) untuk merasa bodoh dengan dunia dan membiarkan diri ditarik oleh keindahan hidup bersama antusiasme yang lembut nan menghangatkan.

Menulis adalah selimut kehidupan ketika segala sesuatunya membuat Anda kedinginan. "Aku bisa melepaskan segalanya saat aku menulis; kesedihanku hilang, keberanianku terlahir kembali," urai Anne Frank.

Menulis itu menyembuhkan jika kita benar-benar mengerti tentang hakikatnya. Menulis juga termasuk kegiatan aneh: kita selalu berhadapan dengan kertas kosong (atau layar kosong), dan biasanya selembar kertas itulah yang menang.

Sekali lagi memang itulah persisnya keajaiban menulis: tidak semua orang menyukainya, tapi semua orang membutuhkannya.

Dalam kata-kata Neil Gaiman, "Beginilah cara Anda melakukannya: Anda duduk di depan mesin tik dan Anda meletakkan kata demi kata sampai selesai. Semudah itu, dan sesulit itu."

Dan tidak pelik lagi bahwa momen paling menakutkan dalam menulis biasanya terjadi tepat sebelum Anda memulai. Ketika Anda menaruh kata pertama di sana, percayalah Anda selalu tahu apa yang semestinya menjadi kata kedua.

Itu menyengsarakan dan membuat Anda berpeluh dingin. Hanya saja ironisnya, memang di situlah keasyikannya: permulaan dari kepuasan batin yang tiada tara seperti Anda menjumpai oase di tengah teriknya padang Sahara.

Kita tidak perlu menetapkan tenggat waktu untuk menulis catatan pribadi. Saya menjadikannya sebagai refleksi keseharian yang berarti saya lebih banyak berdiri di atas kehidupan daripada duduk bersama buku kecil dan sebuah pena.

Banyak penulis yang yakin bahwa produktivitas menulis berpengaruh dalam meningkatkan kualitas tulisan. Mungkin itu benar, tapi saya tidak ingin terlalu sering menghabiskan waktu keseharian saya untuk menulis.

Bukan berarti saya ingin melahirkan tulisan sempurna dengan mengerjakannya dalam waktu lama, bahkan jika istilah "tulisan sempurna" benar-benar ada.

Tidak, saya lebih suka menjadikan tulisan sebagai sarana untuk merefleksikan kehidupan; sesuatu yang saya lakukan ketika saya mengalami keindahan di luar sana.

Lagi pula, jika terlalu sering menulis, saya turut kehabisan waktu untuk mempraktikkan apa yang telah saya maknai dan refleksikan dari keseharian saya. Mungkin itulah mengapa saya tidak pernah merasa pantas untuk disebut sebagai "penulis".

Meskipun menulis juga merupakan salah satu keindahan hidup, tapi saya ingin lebih banyak keindahan untuk dialami.

Dan bila sampai di sini Anda masih merasakan kesulitan untuk menulis, Anda hanya perlu menyerahkan diri Anda sejenak pada kesadaran kosmis, maka segala sesuatunya ada dalam tarian jari tangan Anda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun