Bagaimanapun juga, Anne merupakan simbol suci untuk janji yang hilang dari Nazi terhadap anak-anak yang tewas selama Holocaust. Dialah penoreh dokumen sejarah tentang sisi lain dari manusia; bagian terburuknya.
Tetapi hal yang ingin saya soroti di sini bukanlah perkara kejujuran Anne yang bisa menghanyutkan jiwa mana pun yang membacanya.
Lebih dari itu, saya tertarik tentang bagaimana Anne dapat mempertahankan senyumnya di tengah-tengah kekacauan dengan menulis.
"Bagian terbaiknya adalah aku bisa menuliskan semua pikiran dan perasaanku. Jika tidak, aku akan mati lemas," urainya dalam salah satu entri yang terperinci.
Keajaiban Menulis
Eksistensi setiap manusia bisa jadi ditentukan oleh kemampuannya dalam hal membaca. Realitas adalah "teks" yang senantiasa menuntut dibaca, dan karena itulah mereka yang gagal membaca realitasnya akan terperosok ke dalam jurang gelap peradaban.
Tidak ada jalan keluar untuk itu. Dalam kata-kata Socrates, "Hidup yang tidak diperiksa adalah hidup yang tidak layak dijalani."
Menulis berarti menuangkan apa yang kita baca dari realitas. Menulis berarti mendokumentasikan apa yang kita pelajari dari kehidupan, memberinya nilai tertentu sesuai dengan apa yang kita pedulikan, dan menjadikannya sebagai cermin keseharian.
Menulis juga merupakan jalan menuju "keabadian" yang mana setiap incinya dipenuhi debu-debu ajaib yang mengagumkan. Tulisan membuat segala sesuatu menjadi "abadi", bahkan ide buruk sekalipun.
Catatan kecil Anne Frank merupakan bukti bahwa menulis adalah semangat keabadian.
Beberapa orang menganggap bahwa menulis itu menyengsarakan pikiran di mana Anda harus duduk sekian lama (hanya) untuk menguraikan kata-kata, dan mungkin saja tidak seorang pun di dunia ini yang menyukai hasilnya.
Tetapi memang itulah keindahan menulis; berada dalam kengerian antara pikiran dan perasaan yang kadang-kadang membuat kita "berdarah-darah" selama beberapa jam.