Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Biarkan Orang Lain Menikmati Rasa Bangganya

7 Oktober 2021   16:45 Diperbarui: 16 Oktober 2021   17:00 1061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebahagiaan bersama punya pengaruh yang begitu besar terhadap kepuasan kita | Ilustrasi oleh Dim Hou via Pixabay

Ada sesuatu yang ajaib pada jiwa manusia; suatu ketenangan yang melingkupi diri bila kita tidak lagi membutuhkan segala jenis perhatian yang ditujukan pada diri kita dan membiarkan orang lain yang mendapatkan perhatian itu.

Kebutuhan kita akan perhatian yang berlebihan adalah bagian dari ego kita yang berkata, "Lihat aku. Aku ini lain. Ceritaku pasti lebih menarik daripada cerita kalian."

Itulah suara dari dalam diri Anda yang mungkin tidak langsung keluar dan terucapkan, tetapi ingin dipercaya bahwa "aku lebih penting daripada engkau".

Ego adalah bagian dari diri kita yang ingin didengar, dilihat, dihargai, dianggap istimewa, sering kali dengan mengorbankan orang lain. Bagian itulah yang membuat Anda tidak sabar untuk menginterupsi orang lain, atau ingin menunjukkan tentang betapa benarnya Anda.

Saya selalu percaya bahwa "apa yang kita lepaskan, maka itulah yang akan kita terima". Jika kita terus menuruti ego kita sepanjang waktu, maka orang lain pun akan berusaha "menelanjangi" kita dengan ego mereka.

Tentu ada beberapa kesempatan di mana kita sebaiknya menunjukkan kekeliruan orang lain, tetapi itu berarti tidak semua tempat dapat menjadi panggung "olimpiade" yang membuat kita seperti serigala yang haus akan darah sesama kita.

Lain kali, bila seseorang menceritakan sesuatu kepada Anda atau memberitahukan keberhasilannya, coba amati dorongan Anda untuk juga mengatakan sesuatu mengenai diri Anda. Pada banyak momen, kita tidak rela mereka merasakan kebanggaannya sendiri.

Ego kita akan berkata, "Tidak! Bagaimanapun juga, aku punya sesuatu yang lebih unggul daripada dia." Dan saya sadar bahwa dorongan semacam itu senantiasa ada dalam diri kita. Hanya saja permasalahannya: dapatkah kita meredamnya sejenak demi diri kita sendiri?

Saya menuliskan perihal ini untuk menunjukkan betapa ajaibnya ketika saya menghargai semua orang, tidak seorang pun dari mereka yang ingin merendahkan saya. Masing-masing dari mereka menghormati saya, sebab saya melakukan itu pada mereka.

Itu karena saya berhadapan dengan manusia yang pada dasarnya sering dikendalikan oleh emosi mereka. Emosi tersebut akan memengaruhi suasana hatinya. Jika saya mampu "menyenangkan" emosi mereka, maka mereka pun dengan sukarela menyenangkan saya.

Lagi pula, kesombongan dan ego yang kita tunjukkan pada dunia, sehalus apa pun itu, dengan sendirinya akan menjerumuskan kita pada bagian tergelap dari diri kita sendiri. Kita terjatuh ke dalam ngarai yang kita ciptakan sendiri.

Sebenarnya ketika kita menunjukkan pada orang lain tentang betapa hebatnya kita, secara tersirat, mereka memberi kita beban supaya "label" kehebatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Masalahnya adalah, tidak ada jenis kehebatan apa pun yang dapat kita lakukan sepanjang waktu. Jika pada titik tertentu kita terjatuh dan tergelincir dalam "jalan ideal" kita sendiri, akankah dunia mengerti bahwa permainannya memang seperti itu?

Belum tentu.

Pada akhirnya, mereka hanya akan terus menekan kita dan kita tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk bangkit selain duduk meringis dalam kebencian pada diri sendiri.

Kehormatan itu seperti baju besi. Kita pikir itu membuat kita tetap aman, tapi semua itu malah membebani kita dan membuat kita sulit untuk bergerak.

Saya cukup bangga ketika berulang-ulang saya menemukan bahwa saya bukan siapa-siapa. Dan itu bukan berarti saya sama sekali tidak punya keunggulan apa pun. Sebongkah berlian tidak membutuhkan pengakuan siapa pun untuk menunjukkan bahwa dirinya amat indah.

Dia indah pada dirinya sendiri.

Karena saya sedemikian "tidak pentingnya", saya merasa bebas untuk eksis menjadi diri saya sendiri yang apa adanya. Hal terpentingnya adalah, saya punya misi sebagai manusia dan mengaktualkannya dengan cara saya sendiri.

Ketika orang lain memuji saya, jauh dalam lubuk hati, saya selalu tahu bahwa suatu waktu dia akan kecewa terhadap saya dan itu tidak apa-apa. Atas alasan yang berdasar, saya tidak menggantungkan diri saya pada harapannya terhadap saya.

Hingga kapan pun, setiap halaman dongeng kehidupan saya harus ditulis dengan pena serta kehendak saya sendiri dan bukannya oleh pena dan kehendak orang lain.

Jika orang lain membenci itu, titik terpentingnya adalah saya tidak pernah berniat untuk menyakiti atau mengecewakannya karena saya hanya menjadi diri saya yang apa adanya.

Andaikata dia tetap menyukai dan mencintai saya, pada detik itulah saya tahu bahwa dia adalah teman sejati saya.

Saya tidak perlu lelah menjalani bagaimana standar orang lain terhadap suatu hal, saya bisa menjadi pribadi yang orisinal dan demikianlah "sebutir mutiara dapat berkilauan di tengah-tengah jutaan kerikil yang tidak berharga".

Tetapi mudahkah menjadi demikian? Mudahkah kita menjadi baja dari pukulan palu yang senantiasa berupaya "membentuk" siapa kita?

Saya selalu yakin bahwa apa pun keadaannya, saya dapat tetap eksis menjadi diri sendiri sebab itulah yang menjadi nilai pribadi saya. Dan Anda benar: semudah itu, sesulit itu.

Kesombongan dan kebanggaan yang berlebihan hanya akan terjadi ketika Anda menyadari bahwa tidak seorang pun di luar sana yang memvalidasi nilai Anda.

Saya mengerti bahwa pengakuan dari orang lain atas apa yang telah kita lakukan dengan baik merupakan salah satu kebutuhan kita sebagai manusia (yang punya ego). Tetapi saya tidak suka menggunakan jalan kesombongan.

Bagi saya, pengakuan hanyalah keniscayaan yang entah kita harapkan atau tidak, jika kita benar-benar mengguncangkan pandangan mereka terhadap kita, maka dengan sendirinya pengakuan itu datang pada kita.

Jika kita punya mutiara dalam diri kita, mutiara itu dengan sendirinya akan berkilau pada dunia. Namun jika tidak, bukan tugas kita untuk menunjukkannya secara paksa.

Tugas kita adalah memperbanyak mutiara itu sehingga tidak ada sesuatu pun yang akan mengalangi kilauannya.

Terlalu banyak orang menghabiskan uang yang tidak mereka peroleh untuk membeli barang yang tidak mereka inginkan hanya demi mengesankan orang yang tidak mereka sukai.

Padahal, jika Anda benar-benar hebat, Anda tidak perlu melakukan apa pun untuk membuat "musuh-musuh" Anda merasa segan terhadap Anda. Semakin keras usaha Anda supaya dikagumi mereka, semakin jelas konfirmasi Anda bahwa Anda tidak dikagumi.

Kebanggaan tidak didapatkan dari kesenangan memiliki sesuatu; perbandinganlah yang membuat kita bangga: kegembiraan berada di atas yang lain. Begitu elemen kompetisi lenyap, rasa kebanggaan pun hilang.

Saya pikir panggung dunia memang tempat yang punya potensi untuk dijadikan arena berkompetisi seperti serigala yang saling memakan antar-kawanannya.

Tetapi tidaklah etis jika kita menggunakan pisau untuk membunuh orang, sedangkan ia sangat bermanfaat untuk membantu kita dalam memasak.

Dunia punya potensi untuk menjadi panggung kompetisi dalam selimut kedamaian, tapi toh kita tidak "meng-upload" itu karena beberapa pihak punya kekuasaan yang lebih besar dari yang lain sehingga acapkali suara mayoritas hanyalah badai kesenyapan yang mengolok-olok padang Sahara.

Barangkali itu terlalu "melangit", tapi intinya adalah, kita perlu membiarkan orang lain untuk menikmati rasa bangganya dan kita mendengarkan mereka untuk memahami, bukan untuk beradu pencapaian terhadapnya.

Kita tidak perlu tampil sempurna di hadapan dunia karena toh apa pun yang kita lihat hanyalah "topeng" dari kesejatian yang selalu menyembunyikan dirinya dari kita. Tugas kita adalah melihat kesejatian itu dengan melampaui fenomena fisik.

Barangkali kita sering lupa bahwa selain mata visual, kita juga memiliki mata hati yang bisa melihat sesuatu yang tidak tampak di mata visual.

Ingatlah bahwa ketika Anda berusaha menunjukkan diri Anda yang tanpa celah pada dunia, tidak setitik cahaya pun yang akan mampu menerangi kedalaman diri Anda yang amat gelap.

Saya selalu yakin bahwa tidak apa-apa untuk membiarkan celah-celah tertentu diketahui orang lain sehingga mereka sedemikian mengerti bahwa saya pun sama "cacatnya" seperti mereka, dan saya ingin mengerti tentang bagaimana memperbaiki itu setelah semua cahaya terperangkap dalam diri saya.

Atau dengan metafora yang lain, cahaya itulah yang dengan sendirinya memperbaiki saya seiring waktu. Keangkuhan akan membuat saya tetap berlari meskipun cinta telah mengkhianati saya.

Dalam kata-kata Bernard Baruch, "Jadilah dirimu apa adanya dan katakan apa yang kamu rasakan, karena mereka yang keberatan tidak penting, dan mereka yang penting tidak keberatan."

Menjadi diri sendiri di dunia yang terus-menerus berusaha menjadikan kita sesuatu yang lain adalah pencapaian terbesar. Kita mungkin tidak bisa mengendalikan segala peristiwa, tetapi kita selalu dapat memutuskan untuk tidak dipengaruhi olehnya.

Kita pikir semesta akan kecewa ketika kita gagal pada momen tertentu, sedangkan kita hanya sedang menjalani apa yang menjadi kesejatian diri kita. Tetapi kita keliru; semesta memang mengharapkan setiap orang menjadi demikian.

Pada akhirnya, kita tahu bahwa tidak selamanya dunia ini tentang menang dan kalah. Justru kebanyakan, semua ini adalah tentang menang dan menang. Kita perlu memeriksa diri kita tentang seberapa sudinya kita membiarkan orang lain menikmati kebanggaannya sendiri.

Di samping itu, kita tetap puas terhadap diri sendiri dengan kesadaran bahwa selamanya kita berada dalam tangga pengembangan diri yang tiada batas.

"Let others pride themselves about how many pages they have written; I'd rather boast about the ones I've read," urai Jorge Luis Borges. Atau dalam kata-kata Lao Tzu, "Ketika Anda puas menjadi diri sendiri dan tidak membandingkan, semua orang akan menghormati Anda."

Sekarang sisa dari semuanya: sudikah Anda membayar harga itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun