Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nilai Pribadi: Mengapa Menjadi Berbeda itu Mengasyikkan

16 September 2021   10:41 Diperbarui: 16 September 2021   10:44 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nilai-nilai pribadi dapat menentukan siapa kita sebenarnya | Ilustrasi oleh Pexels via Pixabay

Menjadi berbeda itu cukup menggelisahkan. Anda melangkah di jalan Anda sendiri dan tidak seorang pun yang berjalan mengikuti Anda di belakang. Jika suatu waktu Anda tersesat, Anda tidak bisa bertanya pada siapa pun yang jelas-jelas tidak tahu arena Anda.

Saya akui itu tidak mudah: orang-orang rentan salah paham terhadap tindakan saya, dalam beberapa momen saya terasingkan, mereka tidak mengerti dengan apa yang saya katakan. 

Tapi di sisi lain, saya juga tidak tahu lagi jalan yang lebih mengasyikkan daripada itu.

Dua hari yang lalu, saya membeli buku Friedrich Nietzsche yang dalam bahasa Indonesianya berjudul "Mengapa Aku Begitu Pandai". Saya merenungkan judul buku itu bersama keheningan, dan kemudian timbul pertanyaan senada dalam benak saya:

Mengapa aku begitu berbeda?

Apa yang membuat kedamaian ini begitu lestari dalam batin saya? Betapapun saya memeriksa kehidupan saya sekarang ini, keadaannya tidak lebih baik ketimbang pengalaman masa lalu saya yang jauh dari kesengsaraan.

Ada kelelahan yang cukup menyiksa fisik saya. Beberapa aspek tidak terkendalikan, dan yang lainnya tidak menggairahkan. Sebagian orang bersikap menyerang saya hingga segelintir di antaranya menusuk di balik selimut.

Hanya saja di balik semua itu, saya menemukan kedamaian yang tak terusikkan dalam diri saya. Di tengah-tengah kekacauan, saya temukan dalam diri saya ketenangan yang tidak terkalahkan.

Saya tersenyum, menangis, tertawa, menderita, bahagia, jengkel, sengsara, stres, kecewa, pasrah, marah; tapi mengapa semua itu seperti satu-kesatuan yang tiada bedanya bagi saya? Mengapa saya begitu menikmatinya, dan orang lain tidak?

Pertanyaan itu mengusik pikiran saya hingga sekarang, dan saya ingin menuliskannya dengan keyakinan bahwa semua orang membutuhkan ini sebagaimana saya.

Tentu tidaklah mudah untuk mengungkapkan hajat saya secara akurat, tapi sekurang-kurangnya saya tahu garis besar dari semua ini.

Adalah nilai pribadi saya yang pada akhirnya menentukan siapa saya sebenarnya.

"Siapa Aku Sebenarnya?"

Nilai-nilai pribadi adalah tongkat pengukur yang dengannya kita menentukan apa yang merupakan kehidupan yang sukses dan bermakna. Bisa dibilang, nilai pribadi itu seperti sebuah kitab untuk mengetahui apa yang kita pedulikan dalam kehidupan ini.

Ketika seseorang berkata, "Saya ingin menjadi sukses," definisi tentang apa itu "sukses" akan menjadi cerminan dari apa yang dia hargai. Mungkin baginya sukses itu "mendapatkan banyak uang", atau "menjadi dokter", atau "menjadi artis" dan sebagainya.

Apa pun itu, definisinya tentang "sukses" selalu ditentukan oleh nilai-nilai pribadinya.

Oleh karena itu, kita tidak bisa berbicara tentang pengembangan diri tanpa juga berbicara tentang nilai-nilai. Tidak cukup hanya "berkembang" dan menjadi "orang yang lebih baik", kita harus mendefinisikan apa itu orang yang lebih baik.

Kita harus memutuskan jalan dan ke arah mana kita ingin berkembang. Karena jika tidak, kita semua bisa kacau. Bayangkan bahwa saya diberi jatah umur 30 tahun; apakah saya benar-benar memenuhi hakikat saya sebagai "Andi" dengan waktu sedemikian?

Ada bertumpuk-tumpuk buku dan artikel tentang self-help di luar sana yang mengajarkan kita bagaimana mencapai tujuan kita dengan lebih baik, tetapi hanya sedikit yang benar-benar mempertanyakan tujuan apa yang seharusnya kita miliki.

Jika Anda menghapus kengerian moral dari Hitler, di atas kertas, dia adalah salah satu orang yang paling sukses sepanjang sejarah dunia. Dia berubah dari seniman yang gagal menjadi komandan dari militer paling kuat di dunia kala itu dalam jangka dua dekade.

Dia pekerja keras dan sangat konsisten pada tujuannya. Dia mampu beretorika dengan lihai hingga berjuta-juta orang dapat terinspirasi olehnya. Tetapi semua itu mengarah pada tujuan yang gila dan merusak.

Dan yang terpenting adalah, puluhan juta orang meninggal secara mengerikan karena nilai-nilainya yang sesat dan bengkok. Hitler mencapai tujuannya dengan fantastis, tetapi nilai-nilainya menyimpang dari moralitas yang diakui secara universal.

Inilah mengapa begitu penting untuk pertama-tama mendudukkan nilai pribadi kita pada jalan yang benar, sebelum pada akhirnya kita berjuang demi terwujudnya tujuan kita di arah yang keliru seperti Hitler.

Nilai-nilai kita terus-menerus tercermin dalam cara kita memilih untuk berperilaku. Namun pertanyaannya adalah, apakah kita memang menginginkan itu? Kebanyakan dari tindakan kita biasanya disetir oleh autopilot. Dalam kata-kata Erich Fromm:

Sekarang ini kita menjumpai individu yang berperilaku seperti manusia yang bergerak otomatis, yang tidak tahu atau tidak mengerti dirinya sendiri, dan satu-satunya orang yang dikenalnya adalah orang seperti yang seharusnya, yang obrolan tanpa maknanya menggantikan percakapan yang komunikatif ... dan yang perasaan putus asanya menggantikan rasa nyeri yang asli.

Dua pernyataan dapat disampaikan sehubungan dengan individu ini. Satu adalah bahwa ia menderita kerusakan spontanitas dan individualitas yang kelihatannya tidak dapat disembuhkan.

Sekaligus dapat dikatakan bahwa ia pada dasarnya tidak berbeda dengan jutaan orang seperti kita yang berjalan di muka bumi.

Terjebak dalam kehampaan itu menyengsarakan. Anda mencurahkan waktu dan tenaga dalam kerja keras yang tiada nilai, hanya melakukan apa pun yang ada di hadapan Anda tanpa pernah berpikir apakah itu benar-benar penting atau kesia-siaan.

Nilai-nilai pribadi menuntun Anda untuk berada di jalan yang tepat. Masalahnya adalah bahwa dunia ini punya banyak jalan yang jika Anda jalani tanpa kesadaran, Anda hanya akan kelelahan tanpa timbal balik yang setimpal.

Anda berjuang dengan gigih untuk mendapatkan sekuntum mawar di taman surgawi. Tetapi jika Anda tidak pernah tahu apa itu mawar yang merona demikian indahnya, mungkin yang Anda dapatkan hanyalah duri-durinya yang menyakiti diri Anda sendiri.

Itu karena nilai-nilai kita adalah perpanjangan dari diri kita sendiri. Nilai-nilai itulah yang mendefinisikan siapa kita. Ketika sesuatu yang baik terjadi pada sesuatu atau seseorang yang kita hargai, kita merasa baik.

Ketika orangtua Anda mendapatkan rumah baru yang lebih nyaman atau pasangan Anda yang mendapatkan kenaikan gaji atau putra/putri Anda yang memenangkan kejuaraan akademik, Anda merasa senang seolah-olah itu terjadi pada diri Anda sendiri.

Tapi kebalikannya juga benar. Jika saya tidak menghargai sesuatu, saya akan merasa baik ketika sesuatu yang buruk terjadi padanya. Seorang hakim baru saja memvonis hukuman mati pada seorang bandar narkoba; saya tidak terpengaruh apa-apa atas hal itu.

Atau jika saya tidak menghargai sesuatu, saya juga akan merasa baik ketika sesuatu itu berusaha untuk mengusik saya. Suatu waktu saya "diserang" oleh kabar teman sebaya yang menjuarai banyak olimpiade internasional.

Dan lalu saya harus bagaimana ketika orang-orang menuntut saya untuk demikian juga? Oh, saya tahu nilai-nilai saya; hal-hal yang sangat saya pedulikan.

Bercermin tidak pernah salah, tetapi menjadi salah ketika kita lebih mengagumi bayangan kita sendiri daripada kita yang asli dan apa adanya.

Kita ditentukan oleh apa yang kita pilih untuk dianggap penting dalam hidup kita. Kita ditentukan oleh prioritas kita. Jika uang lebih penting dari segalanya, maka itu akan menentukan siapa kita.

Jika status sosial adalah hal terpenting dalam hidup kita, maka itu akan menentukan siapa kita. Dan jika kita merasa buruk tentang diri sendiri dan percaya bahwa kita tidak pantas mendapatkan cinta, kekayaan, atau pasangan, maka itu juga akan menentukan siapa kita.

Hal ini memengaruhi bukan hanya sikap dan perilaku kita, tetapi juga bagaimana kita melihat orang lain. Ini menjadi peta kita untuk sifat dasar manusia. Nilai adalah peta.

Jika kita menghargai nilai yang benar, kita memiliki kebenaran; suatu pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya. Peta yang benar akan memberi dampak tanpa batas pada diri kita sendiri, sebab kita tahu bahwa kita sedang melangkah ke arah yang tepat.

Bagaimana Menentukan Nilai yang Benar?

Setiap 30 menit menjelang tidur, saya menarik diri dari dunia yang sibuk ini dan berkontemplasi dalam kesunyian di bawah bintang-bintang yang kadang-kadang tertutupi awan. Meskipun biasanya cukup dingin, tapi itu mendamaikan.

Saya bertanya: Apa yang hidup berikan padaku hari ini? Bagaimana aku bereaksi terhadapnya? Apakah aku puas dengan itu, atau ada beberapa hal yang seharusnya bisa lebih baik lagi? Jangan-jangan aku menghabiskan waktu untuk hal-hal yang nihil-nilai.

Jangan-jangan aku begitu kelelahan untuk hal-hal yang tidak kusukai dan menyengsarakan diri sepanjang hari. Sudahkah aku memenuhi hakikatku sebagai manusia? Apa yang menjadi panggilan hidupku dari tanda-tanda yang kutemukan hari ini?

Nilai-nilai saya ditentukan oleh dua pertanyaan besar yang saya cetak tebal di atas. Pertama-tama saya mesti mengerti tentang apa yang hidup berikan pada saya dan bagaimana pola-pola itu terjadi sepanjang hari-hari yang telah berlalu.

Bagi saya, ini penting karena sebelum kita mengenal diri sendiri, permulaannya kita mesti tahu lebih awal tentang apa yang hidup persembahkan pada kita dan di sanalah kita bisa membaca secara kasar perihal apa yang hidup inginkan dari kita.

Saya menyebut proses ini dengan "Kencan Kehidupan". Bukan berarti kita membiarkan kehidupan menyetir kita, tapi kita bekerja sama dengannya, mencapai keseimbangan dari apa yang kita inginkan dan hidup inginkan.

Masalahnya, setiap manusia punya arena perjuangannya masing-masing yang menentukan akan menjadi siapa kita nantinya. Sebagian orang harus bergelut dengan penderitaan kelaparan, sebagian yang lain harus bergelut dengan penderitaan berinvestasi.

Sekarang saya tengah bergelut dalam suka-duka kuliah, yang berarti harus saya temukan sebaran paku dan bunga-bunga di sepanjang perjalanan saya. Jika sudah, saya baru bisa menentukan bagaimana saya harus bereaksi terhadapnya.

Ketika saya mengenal kehidupan ini bagaimana, saya semakin tahu nilai-nilai saya; saya semakin tahu hal-hal yang harus saya pedulikan dan apa saja yang harus diabaikan.

Orang-orang sering melewatkan tahap ini dengan langsung mati-matian mengenal diri sendiri. Dan saya tidak akan mengklaimnya sebagai kekeliruan, tetapi saya khawatir mereka memaksakan siapa diri mereka di arena yang menyesatkan.

Misalnya pada hari ini saya diserbu penderitaan kecil nan mengiris, dibuat stres oleh tugas kuliah dan beberapa teman yang membicarakan saya di belakang. Itu tidak apa-apa; apa yang saya dapatkan sekarang adalah, kehidupan memang bersifat demikian.

Apa yang selalu ada tidak bisa kita tolak kehadirannya. Satu-satunya cara yang bisa kita lakukan adalah mengelola dan mengendalikannya sejauh yang kita bisa. 

Jika kita semakin terbiasa dengan itu, kita tidak lagi menyangkalnya, melainkan merangkulnya.

Penderitaan, stres, kelelahan, cacian; semua itu hanyalah bagian yang wajar dari kehidupan dan kita selalu bisa bereaksi terhadapnya sesuai nilai-nilai yang kita hargai. Mungkin saya sedikit melompat ke tahap akhir, tapi saya membuatnya demikian jelas.

Setelah saya mengenali arena pertempuran saya, pertanyaan kedua akan melengkapinya. Apa yang menjadi panggilan hidupku dari tanda-tanda yang kutemukan hari ini?

Viktor Frankl mengajarkan bahwa untuk menghilangkan kekosongan, kehampaan, dan rasa tak berarti, kita harus mendeteksi arti diri kita yang unik; semacam misi atau panggilan diri kita dalam hidup ini.

Bagaimana cara menemukan panggilan hidup itu? Biasanya saya membaca realitas dari hari ke hari tentang apa yang sering saya hadapi dan apakah itu sesuai dengan kehendak atau keinginan saya.

Setiap harinya saya menemukan tanda-tanda kecil seperti bermain puzzle yang dari waktu ke waktu semakin lengkap tiap kepingnya. Meskipun tidak pernah terselesaikan secara sempurna, setidaknya hal itu menggambarkan garis besar tentang siapa saya sebenarnya.

Jika dua pertanyaan besar itu sudah terjawab, saya dapat melangkah lebih jauh untuk menentukan nilai-nilai saya. 

Ketika Anda menghargai hal-hal yang berada di luar kendali Anda, pada dasarnya Anda menyerahkan hidup Anda untuk hal itu.

Contoh paling klasik dari ini adalah uang. Anda memang memiliki kendali atas berapa banyak uang yang Anda hasilkan, tetapi bukan kendali penuh. Ekonomi runtuh, perusahaan bangkrut, kebanyakan profesi diambil alih oleh teknologi.

Jika semua yang Anda lakukan adalah demi uang, dan kemudian tragedi terjadi, Anda akan kehilangan tujuan hidup yang selama ini Anda pedulikan.

Kita membutuhkan nilai-nilai yang dapat kita kendalikan. Jika tidak, nilai-nilai kita yang akan mengendalikan kita. 

Beberapa contoh nilai yang sehat: kejujuran, proaktif, mengembangkan keterampilan, meningkatkan rasa ingin tahu, kreativitas, kerendahan hati, beramal.

Tapi nilai-nilai ini juga tidak boleh kaku. Ia hanyalah kesementaraan yang bisa digantikan oleh nilai baru sesuai konteks dan keadaan yang kita butuhkan. Kehidupan tidak pernah tetap dan selalu dinamis. Jika kita tidak fleksibel ...

Sementara itu bukan berarti labil secepat Anda berganti pasangan. Ini seperti ilmu pengetahuan atau sains yang meskipun keduanya diterima sebagai kebenaran, tetapi bukan berarti kebenaran mutlak.

Jika suatu hari ada antitesis yang menentangnya dan terbukti lebih valid, maka sains sama sekali tidak berat hati untuk memutar roda kemudi menuju kebenaran yang baru itu. Begitu pun nilai-nilai kita.

Mengenal diri sendiri adalah proses seumur hidup kita. Di tengah-tengah pergerakan dunia yang tidak terbaca, kita juga harus menanggapinya dengan kesesuaian yang tidak mengabaikan nilai-nilai kita.

Anda pergi, dapatkan perspektif tentang apa yang penting bagi Anda dalam hidup, apa yang seharusnya lebih penting, apa yang sebaliknya, dan kemudian (idealnya) kembali dan melanjutkannya.

Dengan kembali dan mengubah prioritas Anda, Anda mengubah nilai-nilai Anda, dan Anda kembali sebagai "orang baru" yang lebih baik.

Kini saya sadari bahwa apa yang membuat saya begitu berbeda dan begitu tenang adalah nilai-nilai pribadi saya yang memadamkan api membara dalam batin saya, membuang duri-duri dan menyisakan sekuntum mawar; sepercik cahaya kecil yang amat mencerahkan.

Itulah mengapa di tengah-tengah kekacauan, saya temukan dalam diri saya satu pusat yang menenangkan dan tidak terkalahkan. Ketika realitas begitu absurd sedemikian acaknya, saya selalu tahu ke mana langkah saya harus menuju.

Dengan nilai-nilai yang benar nan tepat, Anda dapat menanggung apa pun dengan kebahagiaan yang tidak terusikkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun