Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Alasan Mengapa Anda Merasa Terjebak dalam Kehidupan

1 September 2021   17:56 Diperbarui: 2 September 2021   22:55 2178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi introvert (Shutterstock/Master1305)

Abad ke-21 hampir meniscayakan semua orang untuk menjadi sibuk sepanjang waktu. Tidak peduli Anda seorang pengangguran sekalipun, setidaknya Anda akan disibukkan oleh pikiran Anda sendiri yang terbebani oleh produktivitas orang lain.

Tetapi dalam beberapa momen yang menjengkelkan, kita semua merasa bingung terhadap kehidupan kita sendiri yang tidak tahu mengarah ke mana dan sama sekali tidak punya sasaran untuk diperjuangkan.

Kita semua pernah merasa seperti tenggelam dalam lumpur yang menjijikkan. Kita merasa terjebak, tidak berharga, dan benar-benar tidak tahu bagaimana caranya menyelamatkan diri sendiri. Lebih buruknya, semua itu menjadi kecemasan yang menguasai diri kita.

Hidup dapat melempar apa pun ke arah kita, sekalipun kita sedang berada di kondisi terbaik yang telah terwujud dalam hidup kita. 

Apapun yang kita usahakan untuk menghindarinya, faktanya tetaplah utuh bahwa kita selalu berada di dalam lingkaran kehidupan.

Ketika kita telah sepenuhnya kehilangan daya untuk melawan, kita pun mengatakan, "Saya mandek! Saya terjebak!"

Saya memiliki keakraban yang kuat dengan perasaan semacam ini hingga motivasi untuk bangun dari tempat tidur saja bisa menjadi perjuangan yang saya lakukan setiap pagi sebelum memulai kuliah dan membuka laptop.

Dalam hal menulis juga sering terjadi, kadang-kadang saya dapat menulis seperti arus sungai yang tiada macet untuk mengalir menuju hilir. Tetapi di saat lain, tingkat motivasi dan kemauan saya untuk terlibat dalam pemikiran yang segar terasa menjenuhkan.

Dan saya pikir, semua orang merasakan hal yang sama. Bahkan setiap tahun, saya punya periode di mana saya selalu merasa "terjebak".

Ini adalah momen ketika saya merasa kehidupan ini begitu hambar. Kecemasan tiba-tiba datang kala saya berpikir yang seharusnya terjadi adalah sebaliknya. 

Saya mulai memaksakan diri untuk bekerja, mengolah ide, dan menghasilkan sesuatu tanpa adanya motivasi apapun.

Pada akhirnya, saya tidak mendapatkan apa-apa dalam jangka waktu yang mengkhawatirkan.

Ketika saya terbangun untuk menyadarinya....oh, saya terjebak dalam lingkaran yang sama!

Labirin Kehidupan

Bayangkan bahwa sekarang ini kita hidup dalam sebuah labirin raksasa. Syarat mutlak dari adanya permainan labirin adalah banyaknya jalan buntu yang memang sengaja untuk menjebak kita, tetapi juga menentukan siapa dari kita yang lebih "cerdik".

Ketika Anda berhadapan dengan jalan buntu tersebut, barangkali Anda tidak menyadari bahwa apa yang ada di depan Anda itu hanyalah satu dari sekian banyaknya jalan buntu dalam permainan labirin ini.

Tetapi ada satu hal yang bisa dipastikan terjadi pada Anda, bahwa Anda merasa terjebak dengan jalan buntu tersebut.

Realitas kita pun acapkali memang demikian. Salah satu hal yang membuat kita merasa terjebak dalam kehidupan adalah pikiran kita sendiri yang mengarah pada fatalisme. 

Kita menyerah pada keadaan, dan bahwa di sana tidak ada harapan sama sekali untuk perubahan.

Pikiran menciptakan situasi kita, dan pikiran juga membingkai bagaimana kita melihat dunia. Pada kenyataannya, pikiran adalah dasar dari paradigma kita sekarang ini.

Amatlah mudah untuk menggunakan pikiran kita dalam membuat narasi yang nyaman tentang mengapa kita tidak bisa pergi ke mana pun. Tapi masalahnya adalah, itu tidak benar. Selalu ada sesuatu yang dapat kita lakukan di kehidupan ini. Sepanjang waktu.

Apa yang kita lihat sebagai jalan buntu dalam labirin raksasa ini hanyalah pintu yang kita pikir telah dikunci, tetapi sangat sedikit dari kita yang menyadari bahwa kita semua selalu memiliki kunci tersebut.

Jika Anda berani melihat kebuntuan ini dengan lebih dekat, Anda akan melihat bahwa "terjebak" yang selama ini Anda keluhkan adalah label yang Anda berikan sendiri pada bagian alami dari kehidupan.

Namun dalam situasi yang berseberangan, perasaan "terjebak" juga bisa muncul ketika kita berhadapan dengan banyak jalan yang bisa kita ambil untuk melanjutkan "permainan". Dan belakangan ini, saya mengalaminya.

Kita merasa terjebak ketika kehidupan terasa seperti jalan buntu | Ilustrasi oleh Ambermb via Pixabay
Kita merasa terjebak ketika kehidupan terasa seperti jalan buntu | Ilustrasi oleh Ambermb via Pixabay

Ada terlalu banyak hal yang ingin saya lakukan dalam sehari hingga saya nyaris tidak tahu apa yang sebenarnya harus saya lakukan dengan intens. 

Rutinitas saya akhir-akhir ini semakin bertambah, dan bisa dibilang saya terjebak dalam Paradoks Pilihan.

Semakin banyak pilihan tidak membuat saya semakin senang. Ketika di sana ada terlalu banyak hal yang bisa saya lakukan dan saya inginkan, saya dibuat tidak berdaya untuk menetapkan mana prioritas saya dan mana aktivitas yang seharusnya diabaikan.

Saya ingin mengerjakan semuanya, tapi bagaimanapun juga, permainan labirin (hanya) akan berlanjut ketika kita menempuh satu jalan dan menjumpai jalan berikutnya.

Ketidakberdayaan itu membuat saya terus memikirkan apa yang harus saya utamakan, hingga pada akhirnya, saya tidak melakukan apa pun sepanjang hari dalam keadaan yang membingungkan dan diselimuti penyesalan.

Jadi, selamat datang dalam Labirin Kehidupan. Ketika Anda merasa terjebak dengan jalan yang ada di depan Anda, Anda akan selalu tergoda untuk memikirkannya secara matang hingga Anda sendiri tidak pernah bergerak dari tempat di mana Anda berdiri.

Padahal semua jalan tidak begitu berbeda. Begitulah adanya.

Mengapa Kita Terjebak?

Hal yang kemudian saya sadari sebagai penyebab dari pemikiran "terjebak" ini adalah tiadanya nilai-nilai yang menguatkan saya dalam menghadapi keabsurdan hidup. Padahal nilai-nilai itulah yang akan menjadi lentera ketika saya terjebak dalam ketiadaan cahaya.

Nilai-diri adalah motor penggerak yang memungkinkan kita untuk berjalan dan bertindak dengan cara yang selaras pada apa yang kita hargai. 

Bayangkan bahwa Anda sedang menaiki tangga menuju atap dan Anda membutuhkan dinding yang kokoh untuk bersandar.

Dinding kokoh itulah yang saya maksud sebagai nilai-nilai pribadi kita.

Ketika saya merasa terjebak dalam kehidupan ini, sebenarnya saya hanya sedang mengabaikan nilai-nilai yang sedari dulu saya putuskan untuk selalu saya hargai. Saya terperangkap pada hal-hal yang kurang penting.

Persoalan yang penting justru terkubur di bawah lapisan masalah yang menekan, kekhawatiran langsung, dan perilaku di luar nilai-nilai pribadi saya. Itulah mengapa saya kebingungan dengan pilihan yang saya miliki: saya telah melupakan sandaran saya.

Sejauh apa pun saya dapat mendaki "tangga" tersebut, saya akan selalu merasa tidak aman jika pada mulanya saya tidak menyandarkan ia pada dinding yang kokoh. Sama seperti seorang pelaut yang kehilangan kompasnya, saya merasa terjebak dalam gelombang kehidupan.

Nilai-nilai dapat membantu kita untuk memetakan kehidupan. Nilai-nilai juga memberitahu kita tentang hal-hal apa saja yang kita hargai. 

Jika saya mengibaratkannya ke dalam konteks perfilman, maka nilai-nilai ini adalah naskah yang menjadi pedoman kita untuk berlakon.

Dengan kata lain, prioritas kita dapat otomatis terbentuk berdasarkan nilai-nilai yang kita putuskan sebagai bagian dari diri kita. 

Ketika Anda selalu tahu apa yang Anda prioritaskan dalam hidup ini, percayalah, Anda akan selalu tahu ke mana Anda harus melangkah.

Anda juga turut berhenti untuk merasa iri dengan orang lain, sebab apa yang Anda pedulikan dalam hidup ini sudah terangkum secara jelas dalam nilai-nilai pribadi Anda.

Sebagai contoh, nilai yang sekarang ini saya utamakan adalah cakrawala pengetahuan saya yang harus semakin luas setiap harinya, dan saya akan berbahagia dengan proses tersebut.

Maka jika suatu waktu seorang teman saya berprestasi di tingkat internasional, saya selalu tahu apa yang menjadi kepedulian saya dalam hidup ini dan bahwa fenomena tersebut sama sekali tidak terhindarkan, pun saya bisa meraihnya juga jika itu memang menjadi nilai saya.

Viktor Frankl dalam filosofi "logoterapi-nya" mengajarkan bahwa banyak dari apa yang disebut penyakit mental dan emosional sebenarnya hanyalah simtoma dari rasa tak berarti atau kehampaan.

Logoterapi berusaha menghilangkan kekosongan tersebut dengan membantu individu mendeteksi arti dirinya yang unik, semacam misi dirinya dalam hidup ini.

Dan bagi saya, ini sangat menarik. Frankl berpendapat, "Semua orang mempunyai panggilan khusus atau misi dalam hidup. Oleh karena itu, ia tidak dapat digantikan, atau hidupnya dapat diulang.

"Jadi, tugas setiap orang sama uniknya dengan peluang khusus untuk melaksanakan tugas itu."

Panggilan hidup itulah yang kemudian akan menjadi nilai-nilai pribadi kita. Dan nilai-nilai tersebutlah yang pada akhirnya memberitahu ke mana kita harus melangkah dan menentukan makna siapa kita dalam kehidupan yang absurd ini.

Makna berasal dari dalam. Kembali dalam kata-kata Frankl, "Akhirnya, manusia tidak boleh menanyakan apa makna dari hidupnya, tetapi ia harus sadar bahwa dialah yang ditanya."

Di sinilah kita berurusan dengan visi dan nilai kita. Di sinilah kita menggunakan anugerah kita (kesadaran diri) untuk memeriksa peta kita dan memastikan bahwa peta kita menggambarkan wilayahnya secara akurat berdasarkan realitas yang ada.

Di sini pula kita dapat memfokuskan kehidupan kita pada apa yang benar-benar kita pedulikan dalam kehidupan ini. 

Penyakit akut yang setidaknya pernah dialami beberapa kali oleh semua orang di dunia adalah hasratnya yang tinggi untuk mengendalikan segalanya.

Tetapi kehidupan tidak memungkinkan kita untuk memiliki kemahakuasaan semacam itu. Maka lepaskan segala hal yang memang tidak bisa Anda kendalikan hingga kapan pun, kemudian melangkahlah pada jalan yang memang bisa Anda kendalikan sepanjang waktu.

Pada akhirnya, saya pikir kita memang harus menyerah untuk terjebak. Mengingat bahwa semua orang juga merasakannya, maka dapat kita simpulkan bahwa perasaan terjebak semacam itu memang sudah menjadi bagian dari hidup itu sendiri.

Ketika kita menolak apa yang ada, kita menderita. Itu berlaku untuk apa pun dalam kehidupan kita. Jika kita mencoba untuk mengubah apa yang selalu ada, kita meracuni diri sendiri dari dalam ke luar.

Penolakan terhadap perasaan terjebak ini hanya akan membuat Anda seperti saya yang terus memikirkannya sepanjang waktu hingga saya tak pernah benar-benar melangkah satu lompatan pun untuk bergerak maju ke depan.

Fakta bahwa Anda memeluk perasaan terjebak itu berarti Anda menerima adanya sesuatu yang salah dalam diri Anda, dan Anda pun turut membuka diri untuk mengetahuinya serta memperbaikinya dengan penuh kerendahan hati nan kepuasan yang tak tertahankan.

Dalam kata-kata Iyanla Vanzant, "Ketika Anda memiliki sesuatu untuk dilakukan, hidup tidak akan membiarkan Anda bergerak maju sampai Anda benar-benar melakukannya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun