Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

5 Keyakinan Umum yang Patut Dipertanyakan

23 Agustus 2021   15:36 Diperbarui: 23 Agustus 2021   15:40 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tidak semua keyakinan umum bisa dipercayai kebenarannya | Ilustrasi oleh Gerd Altmann via Pixabay

Alasan sederhana mengapa berita-berita hoaks banyak dipercaya orang adalah karena masyarakat kita suka membenarkan keyakinannya sendiri alih-alih membuka diri pada kebenaran yang sesungguhnya.

Mereka fanatik dengan keyakinannya sendiri. Semua keyakinan di luar dirinya dianggap sebagai "musuh", dan itulah mengapa masyarakat kita (selalu) terpecah-belah ke dalam beberapa kubu saat Pemilu.

Tetapi memang begitulah manusia: kita semua berpikir bahwa keyakinan kita adalah benar. Hanya saja pada akhirnya, hampir semua yang kita yakini, pada titik tertentu dalam hidup kita akan terbukti salah, setidaknya sebagian.

Kita nyaris tidak pernah memikirkan hal ini. Bahkan jika setiap orang terlahir sebagai filsuf, saya masih tidak yakin kita akan bersungguh-sungguh dalam hal ini. Adalah hasrat alami kita untuk mencari sandaran dalam hidup, dan keyakinan diri sendiri termasuk kursi yang cukup nyaman.

Tetapi keyakinan kita tidak pernah sepenuhnya benar. Faktanya, secara psikologis, kita adalah robot daging yang sangat mudah untuk keliru, didorong oleh emosi, dan kontradiktif yang kadang-kadang sangat tidak berfungsi.

Di antara beberapa keyakinan yang kita genggam adalah keyakinan umum, dalam artian keyakinan tersebut hampir selalu dipercayai oleh setiap orang. Barangkali saya juga termasuk ke dalamnya, namun tentu saja itu terjadi sebelum artikel ini ditulis.

Dan ironisnya, tidak semua keyakinan umum tersebut punya kebenaran yang valid. Saya tidak tahu seberapa banyaknya keyakinan itu, tapi saya hanya akan mengambil 5 kepercayaan umum yang patut kita pertanyakan kepastiannya.

1. Saya mengenal diri sendiri

Salah satu hal yang sering digemakan pada seminar pengembangan diri adalah "kenali dirimu sendiri". Saya setuju, itu benar-benar penting. Tetapi apakah kita dapat mengenali diri kita sendiri sepenuhnya?

Saya pikir tidak. Seberapa pun Anda mengenali diri sendiri, itu tidak akan berdampak cukup bagus untuk masa depan Anda. Sungguh! Karena kenyataannya, ketika Anda yakin bahwa Anda telah mengenali diri sendiri, Anda hanya sedang mengenali siapa Anda saat ini.

Waktu tidak berhenti. Hidup dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja menimpa Anda tanpa pernah Anda duga. Pada saat ini, Anda seorang remaja. Tetapi beberapa tahun kemudian, Anda tidak patut lagi disebut seorang remaja yang menggemaskan.

Apa yang saya khawatirkan ketika saya yakin tentang siapa saya sebenarnya adalah timbulnya mental kaku yang membatasi saya dalam menjalani kehidupan yang nyaris selalu tidak pasti.

Katakanlah sekarang ini, Anda seorang penulis. Anda yakin tentang kemampuan Anda dalam merangkai kata-kata, menaburkan debu-debu sihir pada pembaca secara tidak sadar, bahkan memainkan perasaan pembaca dengan majas-majas yang Anda gunakan.

Itu sebuah kemampuan yang luar biasa. Dan bagaimana jika Anda yakin bahwa itulah diri Anda yang sesungguhnya?

Percayalah, Anda tidak akan pernah berkembang. Ini bukan hanya perkara kemampuan menulis, tapi juga kemampuan di luar menulis yang mungkin saja Anda singkirkan.

Ketika Anda merasa yakin bahwa Anda diciptakan untuk menjadi penulis, Anda akan menyingkirkan keterampilan-keterampilan lain yang barangkali Anda yakini sebagai pengganggu dan pengalih perhatian.

Itu bentuk lainnya dari fanatisme. Tetapi tidak juga saya katakan bahwa mengenal diri sendiri itu tidak penting. Apa yang saya maksud adalah, kita hanya dapat mengenali siapa diri kita di masa sekarang atau berdasarkan pengalaman masa lalu, tetapi tidak untuk masa depan.

Masa depan adalah misteri, dan bahkan beberapa ajaran spiritualitas menganjurkan kita untuk mengembalikan pikiran pada saat ini dan di sini, atau dengan kata lain menyingkirkan pikiran kita tentang masa depan atau siapa kita nantinya.

Karena sifatnya yang tidak pasti, maka tebakan apa pun yang kita jatuhkan padanya ... masa depan hanya akan menjadi kecemasan yang menjebak pikiran kita.

Keyakinan "saya mengenal diri sendiri" patut kita pertanyakan secara intens, sebab pada kenyataannya, kita hampir tidak tahu siapa kita. Apa yang kita pikir sebagai diri kita hanyalah refleksi dari apa yang telah kita alami di masa lalu dan masa kini.

Dengan sikap skeptis sederhana ini, kita senantiasa menguji siapa kita di hadapan rintangan hidup dan menilainya dengan hati-hati berdasarkan segala sesuatu yang telah kita pelajari.

Kita harus mulai mengganti keyakinan "saya mengenal diri sendiri" dengan keyakinan "saya mengenal diri sendiri hari ini, tetapi besok mungkin saya akan berbeda". Perjuangan mengenali diri sendiri adalah proses seumur hidup.

Mengapa? Karena realitas itu sendiri akan senantiasa berubah-ubah sepanjang hidup kita. Dan itu berarti, kita perlu menyesuaikan siapa diri kita berdasarkan keadaan eksternal yang menaungi perjalanan hidup kita.

Jika kita menghentikannya pada detik ini juga, kita akan selamanya menjadi siapa diri kita hari ini dan tidak pernah berkembang.

2. Lebih banyak lebih baik

Keyakinan ini biasanya dianut oleh masyarakat materialis dan konsumtif. Saya pikir pada tingkat tertentu, mungkin, kebanyakan dari mereka malah terperosok ke dalam pengejaran yang hampa.

Kita percaya bahwa kepuasan hanya akan datang saat kita mendapatkan sebanyak mungkin apa yang kita mau. Tetapi bagaimana jika kenyataannya adalah sebaliknya?

Sekarang bayangkanlah bahwa saya punya sepotong pizza dan akan memberikannya kepada salah seorang teman, yaitu Joni (anak orang kaya) dan Jono (anak menengah ke bawah). Jika saya memberikannya pada Joni, apa yang akan terjadi?

Nah, saya yakin bahwa dia akan menertawakan saya. Barangkali dia akan mengoceh, "Serius? Kamu memberikan sepotong pizza itu padaku? Kasihan sekali kau! Marilah aku antar kau ke kedai pizaa, aku traktir kau sepuluh kotak pizza!"

Tetapi reaksi sebaliknya akan terjadi andaikan saya memberikan itu kepada Jono. Untuk alasan yang jelas, dia jarang makan pizza dan betapa bersyukurnya bisa merasakan kelembutan keju mozarella yang gurih.

Apa yang bisa kita simpulkan dari skenario tersebut?

Orang akan menjadi sangat puas ketika sebenarnya dia memiliki sedikit hal. Ini tidak berarti orang seperti Joni tidak akan pernah merasa puas. Mungkin dia bisa, tetapi butuh lebih banyak kelimpahan yang kita berikan untuk dia.

Sedangkan bagi orang-orang yang taraf kepuasannya begitu sederhana, mereka itulah yang sebenarnya lebih mungkin untuk merasa cukup terhadap apa yang dimilikinya.

Keyakinan "lebih banyak lebih baik" memang patut dipertanyakan dalam hal praksisnya, karena itu sama sekali tidak membantu kita untuk mencapai kepuasan.

Entah kita mengejar kekayaan materi atau kekayaan pengalaman, kita hampir selalu melakukannya untuk alasan yang sama: untuk mengisi kekosongan yang kita rasakan di dalam diri kita sendiri.

Namun, memiliki lebih banyak pilihan cenderung membuat kita lebih sengsara daripada lebih bahagia. Mengejar lebih banyak pengalaman cenderung membuat kita tercerai-berai dan mengembara alih-alih fokus atau berkomitmen.

Seperti yang dikatakan Seneca, "Bukan orang yang memiliki terlalu sedikit, tetapi orang yang menginginkan lebih, itulah yang miskin."

Jadi, saya berpendapat bahwa untuk menemukan makna dan tujuan dalam hidup, kita hampir selalu harus melakukan yang sebaliknya, yaitu penyederhanaan. Kita harus memotong apa yang tidak perlu untuk mengakhiri kecanduan yang "lebih dan lebih lagi".

Ingatlah bahwa gula yang rasanya manis pun tidaklah menyehatkan jika dikonsumsi terlalu banyak.

3. Saya tahu persis apa yang harus dilakukan

Keyakinan ini mendorong kita untuk lebih percaya diri pada apa yang kita lakukan, dan jika kita lebih percaya diri pada apa yang kita lakukan, maka kita akan melakukannya dengan lebih baik.

Tapi itu hanyalah versi lain dari hiburan klasik pada diri sendiri yang sebenarnya tidak banyak membantu. Pikirkan saja semua orang yang Anda kenal dalam hidup Anda yang benar-benar tolol, tapi mereka tampaknya begitu yakin bahwa mereka tahu apa yang mereka lakukan.

Penelitian menunjukkan bahwa jika kita memiliki keyakinan yang terlalu kuat tentang apa yang kita lakukan, kita akan membenarkan banyak omong kosong yang kita yakini sendiri. Kita akan menjadi kurang terbuka terhadap kritik yang membangun.

Dan kita mungkin akan mengabaikan banyak ide bagus dan pilihan lain yang barangkali jauh lebih baik daripada apa yang kita yakini. Dengan kata lain, ada garis tipis antara "mengetahui apa yang kita lakukan" dan ego.

Saya pikir penangkalnya sederhana: kita hanya perlu menerima kenyataan bahwa kita mungkin tidak tahu apa yang kita lakukan. Dan itu tidak apa-apa.

Ada pepatah lama yang mengatakan bahwa perbedaan antara seorang ahli dengan seorang amatir adalah bahwa seorang ahli menyadari apa yang mereka tidak tahu, sedangkan seorang amatir ... ada banyak hal yang bisa dikatakan tentang itu.

Tidak sepenuhnya keliru ketika kita merasa yakin dengan apa yang kita lakukan. Apa yang ingin saya tekankan di sini adalah, seberapa besar kita mengendalikan sesuatu itu dan bagaimana kita menjamin hasilnya akan sesuai dengan ekspektasi kita.

Itulah mengapa keyakinan ini patut dipertanyakan.

4. Hidup ini tidak adil

Patrick Star tiba-tiba diangkat menjadi raja dan merebut makanan dari seekor ikan biru. Lantas ikan tertindas itu mengeluh, "Ini tidak adil!" Sang raja menjawabnya dengan kasar, "Hidup memang tidak adil! Jadi biasakan dirimu, ya!"

Bagi saya, adegan itu menyampaikan salah satu ironi kehidupan dengan petuahnya yang ikonik. Saya tidak punya dasar apa pun, tapi saya merasa yakin bahwa semua orang pernah mengeluh "hidup ini tidak adil", setidaknya satu kali seumur hidup.

Dan ya, saya juga membenci omong kosong itu. Tapi kemudian saya tumbuh dewasa dan mulai melihat dunia dengan kacamata baru. Saya pikir, hidup ini memang tidak adil. Faktanya, Hitler membunuh belasan juta nyawa dan hukuman mati baginya tidaklah cukup.

Ada banyak contoh demikian yang sedikit banyak bisa menunjukkan bahwa dunia ini memang tidak adil, atau dengan cukup ironis: tidak bisa adil. Barangkali untuk itulah kehidupan setelah kematian amatlah penting sebagai hari pengadilan.

Tapi, izinkan saya untuk mengusulkan sesuatu yang mungkin dapat memberi kita sudut pandang baru.

Bagaimana jika masalahnya bukan ketidakadilan hidup? Bagaimana jika masalahnya adalah definisi kita tentang kata "adil"?

Saya pikir masalahnya adalah seberapa luas pengetahuan kita tentang kehidupan. Apakah kita sudah melihat dunia secara keseluruhan? Jangan-jangan semuanya sudah berjalan adil secara kesatuan yang utuh?

Barangkali Anda mengeluh terhadap beberapa kesulitan yang Anda alami secara beruntun. Pertanyaannya, apakah orang lain dapat melewati itu setangguh Anda? Jangan-jangan hanya Anda seorang yang bisa melewati kesulitan-kesulitan itu?

Tetapi racun dari pandangan semacam itu adalah menjadikan diri kita begitu spesial di tengah miliaran umat manusia yang hidup di bumi ini. Saya lebih suka untuk melihat dunia ini seperti permainan catur.

Seorang pemain catur harus mengorbankan pion-pionnya untuk bisa memenangkan permainan. Dan bagaimana jika ternyata ... hidup kita ini seperti permainan catur?

Adalah "tidak adil" bahwa saya tidak setampan Brad Pitt atau saya dibesarkan tanpa perekonomian yang memadai. Tetapi siapkah saya jika waktu berputar kembali dan nasib saya berjalan sesuai dengan apa yang saya inginkan?

Saya putuskan: tidak. Inilah saya dan tidak akan pernah menjadi siapa pun selain diri saya yang apa adanya. Keyakinan "hidup ini tidak adil" mesti kita pertanyakan secara radikal, karena keyakinan itu sering menghambat kita untuk menikmati keindahan-keindahan dunia.

Barangkali jalannya ada dua: hidup memang tidak adil dan sudah sepatutnya kita menerima itu, atau hidup sudah berjalan adil di luar pemikiran serta kesadaran kita.

5. Jika saya memiliki X, maka saya akan bahagia

Keyakinan ini merupakan cara terbaik untuk menghancurkan diri sendiri sepanjang proses yang kita jalani dalam mencapai suatu tujuan. Permasalahannya jelas, kebahagiaan itu sendiri ada setiap saat dalam diri kita, dan bahkan perjuangan itu sendiri lebih membahagiakan.

Seorang pendaki gunung sejati adalah ia yang menikmati setiap pendakiannya alih-alih mengharapkan ingin segera sampai di puncak. Begitu pun dengan kehidupan kita. Ketika "hasil" dijadikan sebagai patokan kebahagiaan, mungkin kita tidak akan pernah bahagia.

Satu-satunya hal yang harus Anda miliki untuk menjadi bahagia adalah kebahagiaan itu sendiri.

Lima keyakinan tersebut pada umumnya sering disalahartikan oleh masyarakat. Ketika mereka tidak disesuaikan dengan kondisi dan keadaan yang kita alami, mereka malah akan membebani kita dengan harapan-harapan palsu yang begitu menggoda.

Bagaimanapun juga, keyakinan itu berperan penting untuk membantu kita dalam memahami dunia yang kacau dan berantakan. Mereka membantu kita bertindak berdasarkan informasi yang tidak lengkap.

Tetapi kita pun harus skeptis terhadap keyakinan kita sendiri, terutama karena banyak di antaranya hanyalah omong kosong belaka. Mesti ada keterampilan untuk mengamati, mempertanyakan, dan kemudian memperbarui keyakinan kita.

Dalam kata-kata George Bernard Shaw, "Hidup bukan tentang menemukan diri sendiri. Hidup adalah tentang bagaimana membangun dirimu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun