Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Cenora

21 Agustus 2021   18:00 Diperbarui: 21 Agustus 2021   18:02 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Matamu adalah cermin Tuhan yang padanya Dia melihat alam semesta | Ilustrasi oleh Enrique Meseguer via Pixabaya

Gadis Kecilku, tidak engkau lihat lagi keceriaan si Mungil Cenora ketika dia mengambil sesendok es krim dan menumpahkannya ke seluruh karpet kesayanganmu. Kala itu engkau balik tertawa alih-alih memarahinya seperti rupa malaikat yang menghibur sesamanya.

Dia melakukan hal yang sama meskipun umurnya telah mencapai 7 tahun. Aku tidak sesabar dirimu dan segera memarahinya, "Tidakkah kau mengerti bahwa mencuci karpet itu melelahkan?"

"Ini mengasyikkan," katanya.                                                           

Si Mungil Cenora tumbuh begitu cerdas dan sering bertanya-tanya tentang bintang Lucy. Dan bayangkan bahwa anak secerdas itu masih bertingkah konyol dengan menumpahkan es krim ke karpet hanya untuk kesenangan ... apa yang mengganggu pikirannya?

"Dalam setiap tetesan es krim yang membasahi karpet ini," tuturnya dengan cukup sendu, "ada senyum Ibu yang tak bisa dilihat oleh mata. Di sampingku, Ibu berbisik, 'Ya, tumpahkan saja, Nak. Itu memang mengasyikkan!' Tidakkah Ayah mengerti itu?"

Aku tertegun di hadapan karpet yang indah nan berlumuran cokelat, setengah percaya bahwa yang berbicara itu adalah putri mungilku yang bahkan belum tahu apa-apa soal intuisi. Benarkah kau ada di sana, Gadis Kecilku?

Biar kuajarkan si Mungil Cenora tentang kenyataan yang seada-adanya di mana engkau tidak pernah benar memikirkannya dan tidak pula keliru menjalaninya.

Jangan-jangan dia terjebak dalam imajinasinya bahwa engkau, Gadis Kecilku, masih bersemayam dalam rumah yang selalu sepi semenjak engkau meninggalkan kami? Apakah dia mengerti tentang artinya "melambaikan tangan untuk selama-lamanya?"

Apa makna dari ketiadaan? Apakah aku bisa memikirkan sesuatu tentang ketiadaan?

Aku terjebak dalam kegilaan dunia yang tiada henti menggempurku dari semua sudut. Di luar ada terlalu banyak kebodohan dari orang-orang yang membuang waktunya dengan tawa ria penuh omong kosong serta tak berguna.

Di dalam, aku mendengar putri mungilku sendiri yang menyebut-nyebut nama ibunya dalam hampir setiap hal yang dilakukannya. Tidakkah dia tahu bahwa nama itu menyakitiku? Perpisahan tidak kutakuti, tetapi mengapa begitu cepat di saat aku sedang mabuk kebahagiaan?

Apa yang dilihat si Mungil Cenora ketika dia menyebut-nyebut namamu? Mengapa aku tidak melihatnya juga, padahal tidak pernah kurasakan kesurutan atas cintaku padamu? Apa yang tidak kumiliki dari kemampuan si Mungil Cenora, Gadis Kecilku?

Suatu malam yang berawan, kami duduk di atap dan dia bersandar pada dadaku dengan jepit rambutnya yang sedikit menyilaukan pandanganku. Benda itu membentuk huruf "A" dengan logam dan butiran mutiara kerdil yang menghiasinya dengan indah.

Beberapa saat baru kusadari bahwa jepit rambut itu adalah milikmu yang aku persembahkan pada malam kelahiran Cenora. Aku tidak tahu bagaimana jepit rambut itu bisa dimiliki oleh Cenora, tetapi yang kutahu, dia benar-benar anggun pada malam itu.

Pada gumpalan awan yang benderang, jari telunjuknya terangkat tinggi seraya berseru, "Bintang Lucy!" Tentu aku merasa heran karena dalam kegelapan dan kecerahan itu sama sekali tidak kulihat adanya titik cahaya, apalagi bintang Lucy.

Tetapi dia begitu yakin dan berkata, "Bukankah Ayah pernah bilang padaku bahwa sesuatu yang indah sering tidak tampak oleh mata? Itulah yang kuyakini sekarang ini. Aku melihat bintang Lucy dengan kilauan berliannya."

"Tapi berlian itu mengkristal di dalamnya; di intinya. Tidaklah mungkin untuk melihatnya secara kasat mata!" seruku.

"Itulah yang membuat orang-orang tidak tahu bahwa berlian terbesar di alam semesta ada dalam pandangan kita setiap malam. Berlian itu tersembunyi! Bukan di dalam tanah, tapi di atas kepala kita dengan kedinginan malam yang menyejukkan."

Perlahan aku mengangguk dengan kepasrahan yang tak pernah kuberikan pada siapa pun. Dia memainkanku dengan suara dan kata-katanya yang menggemaskan. Lantas aku berucap, "Tahukah kau bahwa bintang-bintang di langit malam membawa kita pada masa lalu?"

"Bagaimana mungkin?" tanyanya balik.

"Bintang-bintang itu mengirimkan cahayanya pada kita bertahun-tahun yang lalu, tergantung seberapa jauhnya mereka dari galaksi kita.

"Bintang Lucy yang termasuk ke dalam bintang katai putih berjarak 50 tahun cahaya dari Bumi, yang berarti kita sedang melihat cahayanya yang bersinar sekitar 50 tahun yang lalu. Kita sedang melihat masa lalu, Cenora."

Dia tidak menjawab seakan-akan sedang terpana dengan apa yang dilihatnya, padahal di atas sana hanyalah gumpalan awan gemilang yang memang seperti menutupi sesuatu yang cukup terang.

Tapi aku melanjutkan, "Sayangnya, bintang Lucy punya nasib yang sedikit mirip dengan Matahari kita. Mereka akan padam atau meledak dalam jangka sekitar 5 miliar tahun lagi."

"Itu curang!" sergahnya. "Sesuatu yang indah harus abadi!"

"Engkau keliru, Cenora. Justru sesuatu yang singkat acapkali amatlah indah. Dulu kau mengeluh tentang kunang-kunang yang kautangkap dan mati beberapa jam kemudian di dalam stoples.

"Bukankah kunang-kunang itu indah dan berharga karena mereka punya cahaya menawan yang sangat singkat?"

Dia berbalik badan dan menatapku dengan mata biru yang sedikit lembap. Lantas dia memelukku seraya berkata dengan terisak, "Ayah benar! Itulah mengapa Ibu amatlah cantik dan anggun. Ibu tidak punya keabadian; tetapi adakah sesuatu yang bersifat abadi?"

Aku tidak menjawabnya dan sekadar menatapnya dengan penuh pengertian hingga dia sendiri menganggukkan kepalanya.

"Tuhan," bisiknya.

Aku turut mengangguk sembari mengusap kedua matanya yang tiba-tiba menangis tanpa kumengerti. Tidak ada pembicaraan tentang bintang lagi karena itu selalu membuat Cenora menangis.

Tetapi aku beritahu dia sesuatu yang berharga, "Jernihkan matamu dan tataplah rembulan yang megah itu." Dia mengusap matanya dan segera menurutiku. "Tahukah kau bahwa matamu juga rembulan?"

"Rembulan?" herannya.

"Rembulan memantulkan cahaya mentari untuk menggantikannya di kala malam. Dan matamu adalah cermin Tuhan yang padanya Dia melihat alam semesta dengan segala Kesempurnaan-Nya dan Keagungan-Nya."

"Indahkah Tuhan itu?"

"Lebih dari yang kau bayangkan."

"Bagaimana Ayah mengetahuinya?"

"Adakah kata-kata yang bisa melukiskan Keindahan Tuhan?"

"Aku tidak tahu," pasrahnya. Lantas kukatakan, "Tidak ada."

Nah, Gadis Kecilku, sudahkah Cenora menceritakan semua itu padamu di sana? Aku tidak pernah menyangka bahwa Tuhan mengambil kalian dari hidupku dalam rentang 4 tahun.

Cenora yang biasanya merengek ingin tidur bersamaku ... tidak pernah kudengar lagi rintihannya. Dia yang biasanya ingin kupeluk di bawah hujan bintang-bintang ... tidak pernah kurasakan lagi kehangatannya.

Kalian adalah dua galaksi mungil yang mengitariku dalam kehidupan yang harmonis dan tak berirama ini. Akan jadi apa kehidupanku sekarang tanpa ada galaksi mungil yang menaungiku di derasnya arus "kenyataan"?

Apakah lambaian tangan akan mencukupkanku untuk merelakan kalian? Bahkan aku tidak pernah mengizinkan kalian untuk pergi sejauh 2 mil dariku. Tetapi yang dilakukan takdir sering menjengkelkanku.

Penerimaan saja tidaklah mudah. Hanya saja, apakah kalian tahu ke mana Bumi akan berputar setelah kehilangan mataharinya? Apakah kalian tahu bagaimana horizon dapat terhapuskan oleh spons-spons kekejaman manusia yang tiada habisnya?

Apa yang akan Dia tanya, dan pertanyaan apa yang mampu kujawab dengan percaya diri? Kepada sebuah madrasah tak berbentuk kuserahkan hidupku, yang harus dipelajari demi mengerti bagaimana caranya hidup.

Si bodoh adalah dia yang hanya ingat pada pelajaran tentang kekosongan waktu untuk tertawa. Haruskah aku menjadi bodoh untuk bisa menikmati kehidupan yang demikian hancur-lebur ini?

Katakan padaku, Gadis Kecilku. Tolong katakan padaku!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun