"Bintang Lucy yang termasuk ke dalam bintang katai putih berjarak 50 tahun cahaya dari Bumi, yang berarti kita sedang melihat cahayanya yang bersinar sekitar 50 tahun yang lalu. Kita sedang melihat masa lalu, Cenora."
Dia tidak menjawab seakan-akan sedang terpana dengan apa yang dilihatnya, padahal di atas sana hanyalah gumpalan awan gemilang yang memang seperti menutupi sesuatu yang cukup terang.
Tapi aku melanjutkan, "Sayangnya, bintang Lucy punya nasib yang sedikit mirip dengan Matahari kita. Mereka akan padam atau meledak dalam jangka sekitar 5 miliar tahun lagi."
"Itu curang!" sergahnya. "Sesuatu yang indah harus abadi!"
"Engkau keliru, Cenora. Justru sesuatu yang singkat acapkali amatlah indah. Dulu kau mengeluh tentang kunang-kunang yang kautangkap dan mati beberapa jam kemudian di dalam stoples.
"Bukankah kunang-kunang itu indah dan berharga karena mereka punya cahaya menawan yang sangat singkat?"
Dia berbalik badan dan menatapku dengan mata biru yang sedikit lembap. Lantas dia memelukku seraya berkata dengan terisak, "Ayah benar! Itulah mengapa Ibu amatlah cantik dan anggun. Ibu tidak punya keabadian; tetapi adakah sesuatu yang bersifat abadi?"
Aku tidak menjawabnya dan sekadar menatapnya dengan penuh pengertian hingga dia sendiri menganggukkan kepalanya.
"Tuhan," bisiknya.
Aku turut mengangguk sembari mengusap kedua matanya yang tiba-tiba menangis tanpa kumengerti. Tidak ada pembicaraan tentang bintang lagi karena itu selalu membuat Cenora menangis.
Tetapi aku beritahu dia sesuatu yang berharga, "Jernihkan matamu dan tataplah rembulan yang megah itu." Dia mengusap matanya dan segera menurutiku. "Tahukah kau bahwa matamu juga rembulan?"