Beberapa kali kukatakan pada mereka bahwa jatuh cinta ... adalah kegilaan yang paling mengasyikkan untuk dinikmati.
Engkau bukan hanya sinar pelangi yang satu-satunya kuketahui bisa berkilauan di kala malam, tapi engkau juga matahari yang menerangi, menghangatkan, dan lagi menghidupkan. Inilah engkau yang apa adanya, dan aku adalah pria sederhana yang memujamu.
Malam itu, aku mencintaimu dengan cara yang belum engkau ketahui seperti rotasi Uranus di tata surya kita. Engkau bukan sekedar cincin Saturnus yang tampak indah dari kejauhan, engkau juga aurora yang amat suka dengan kegelapan malam.
Siapa pun yang bisa memandangimu dari jarak 30 cm dan menemanimu di kehangatan malam musim gugur, adalah manusia beruntung yang menang taruhan di meja perjudian. Perlu kau sadari bahwa aku adalah dadu terpilih dari lemparan acak takdir semesta.
Cintaku tidak akan berhenti secepat ia mula-mulanya datang. Percayalah padaku, tidak ada sesuatu pun di atas bumi yang bisa didapat tanpa usaha, bahkan cinta, yang terindah dan perasaan yang alami ini sekalipun. Aku bukan hanya beruntung, tapi juga pemenang.
Aku mengenalimu dalam seluruh keindahan yang mengitariku, di dalam warna pucat sang Dewi Malam, di dalam wewangian danau yang tawar, di dalam nada harmonis siulan angin pada kalanya: semua itu berarti bagiku sebagai wujud cintaku.
Engkau begitu mengagumkan dalam segalanya; itulah yang cintaku katakan pada malam itu. Aku sadar bahwa aku mengagumi ... keseluruhanmu!
Aku selalu ingin tahu tentang keindahan mata safirmu, tapi tak pernah kutatap kedalamannya lebih dari 10 detik. Di sana juga mengerikan ... tempat di mana aku melihat seseorang yang lain sedang bersemayam dengan kekar.
Tetapi jauh darimu pun sama-sama menyakitkan. Ketika engkau tiada di dekatku, aku merasa seperti sebongkah kanvas kosong yang menanti coretan sang pelukis yang tak kunjung datang. Pada akhirnya, kanvas itu tidak pernah melukiskan apa pun.
"Aku kedinginan," keluhmu dengan raut lemah dan pucat. Apa yang kuingat ketika itu hanyalah tentang keinginanku yang meronta-ronta untuk terucap seakan-akan dunia akan berakhir pada esok hari dan bahwa keterlambatanku sama dengan kehancuran semesta.
Jika kau masih ingat, aku mengenakan mantel hangatku pada pundakmu dan kuselami kedalaman mata safirmu dengan berani. Ketika di lautan biru itu kulihat pantulanku sendiri, aku mulai gugup seakan seseorang telah lebih dulu ada dalam pantulanmu.