Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

4 Mitos tentang Kebahagiaan yang Banyak Memperdaya Kita

7 Agustus 2021   06:00 Diperbarui: 7 Agustus 2021   06:32 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa kepercayaan kita tentang kebahagiaan ternyata hanyalah mitos belaka | Ilustrasi oleh Pezibear via Pixabay

Kebahagiaan merupakan salah satu topik yang sering dibicarakan oleh para filsuf, intelektual, bahkan semua kalangan selama berabad-abad hingga sekarang, dan bisa jadi tidak akan ada habisnya.

Barangkali alasannya sederhana, sebab masing-masing individu punya kehidupan dan latar yang berbeda sehingga kebahagiaan versinya pun senantiasa unik serta berbeda dari yang lain.

Masalahnya, pendapat setiap orang tentang kebahagiaan (dan ini yang terjadi di antara para filsuf) sering bertentangan satu sama lain yang menjadikan topik tentang kebahagiaan bagaikan hamparan samudra yang tidak akan surut.

Pembicaraan semacam ini semakin dikejar oleh banyak orang semenjak pandemi diberlakukan. Maksud saya, mereka merasa dirinya terjebak dalam kesuraman yang mungkin tidak pernah disangkanya, berlutut payah demi memenuhi kebutuhan fisik maupun mental.

Tentu tidaklah mudah untuk memenuhi keduanya secara bersamaan. Dalam urusan fisik ataupun material, barangkali kita masih punya kesempatan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah dan orang-orang dermawan.

Tetapi dalam urusan mental, siapa yang bisa membantu kita? Siapa yang bisa membuat kita bahagia secara instan? Bahkan ketika saya membicarakan orang-orang kaya yang "tidak terdampak oleh pandemi", pada siapa mereka bisa mengharapkan kebahagiaan?

Jika Anda mencari tema "kunci kebahagiaan" di internet, Anda akan menemukan berbagai cara yang mereka sajikan tentang bagaimana untuk menjadi bahagia, dan bahwa Anda mesti punya kemampuan itu untuk menjalani kehidupan yang berharga.

Apa pun alasan mereka menuliskan itu (mungkin demi bayaran atau reputasi), saya merasa senang karena sekurang-kurangnya, mereka berpotensi untuk menolong orang-orang yang sedang dilanda kesusahan dan kesedihan.

Tapi sayangnya, kebanyakan yang mereka tulis dan bahkan yang kita percayai, adalah sekadar mitos belaka. Kita meyakini beberapa hal sebagai "kunci dari kebahagiaan", namun apa yang kita temukan hampir tidak pernah berbeda dengan keadaan kita sebelumnya.

Setelah saya menimbang-nimbang tentang topik ini, saya pikir beberapa di antara kepercayaan kita tentang kebahagiaan adalah sesuatu yang bisa saya "perbaiki". Jadi, inilah 4 mitos kebahagiaan yang selama ini banyak memperdaya kita dan bagaimana seharusnya.

Mitos 1: Semakin banyak uang, semakin kita bahagia

Saya selalu ingin untuk membuktikan bahwa kepercayaan semacam itu adalah keliru. Alasannya sederhana, bahwa hal tersebut terlalu mengerikan untuk diklaim sebagai fakta. Tapi saya tidak cukup puas dengan jawaban saya sendiri hingga belakangan ini saya mengalaminya.

Jika Anda mencari orang yang rajin menabung, saya adalah orang yang Anda cari. Secara harfiah memang demikian. Tetapi beberapa hari yang lalu, saya kehilangan separuh tabungan saya untuk alasan yang menyedihkan.

Di samping itu, saya memeriksa tentang bagaimana reaksi saya atas kehilangan itu dan seberapa marahnya saya atas kesia-siaan jerih payah di masa lalu. Bahkan saya memaksakan diri untuk jujur tentang ketidakadilan yang hidup berikan terhadap saya.

Dan semua upaya itu tetaplah tidak berguna. Ketika pikiran saya berkecamuk tentang tragedi itu, hati nurani saya selalu menyanggah bahwa pada kenyataannya, saya baik-baik saja. Dalam artian, tidak terjadi apa-apa seperti yang saya kira akan begitu buruk.

Tentu perasaan yang sama tidak akan terjadi pada seorang kakek tua miskin yang kehilangan uangnya karena dirampok. Saya tahu itu. Tapi pertanyaan saya adalah "apa"; apa yang membuat saya bisa menerima tragedi itu?

Suatu momen, saya teringat bahwa sebelum tabungan itu hilang separuh, saya telah menghabiskannya sedikit untuk membeli sesuatu yang sangat saya butuhkan. Dan saya memeriksa bahwa keadaan saya saat ini begitu baik, bisa dibilang kebutuhan masih terpenuhi.

Apa yang kemudian saya sadari adalah, bukan jumlah uang yang membuat kita bahagia, melainkan seberapa efektif kita menggunakan uang tersebut. Dengan kata lain, rasa cukuplah yang sebenarnya membantu kita untuk berbahagia.

Kita melihat orang-orang berkecukupan yang masih saja diselimuti depresi, atau para pejabat kaya yang tetap korupsi. Lantas kita bertanya-tanya: apa lagi sih yang mereka butuhkan untuk bahagia? Jawabannya ada pada cara mereka menggunakan kekayaannya.

Mungkin kita tidak benar-benar tahu bahwa kekayaan seseorang yang begitu melimpah adalah hasil utang sana-sini, sehingga mereka tetap depresi dalam keadaan berkecukupan ... fakta bahwa mereka mesti menutupi lubang yang digalinya sendiri.

Para pejabat yang punya rumah bak istana tetap korupsi, barangkali kekayaan mereka hanya digunakan untuk kesenangan singkat, sehingga kebahagiaan apa pun yang mereka rasakan adalah kegembiraan yang amat rapuh dan tetap merasa berkekurangan.

Atau beberapa publik figur yang berpesta setiap malam, kemudian kita mendapati mereka telah mengonsumsi obat-obat terlarang. Apakah itu menyangkal mitos yang sedang kita bahas?

Tentu menerima banyak uang adalah suatu kebahagiaan. Mengapa? Karena alam bawah sadar kita tahu bahwa dengan menerima banyak uang, kita punya potensi untuk mencukupi kebutuhan kita.

Tetapi apa yang kemudian kita lakukan dengan uang tersebut adalah hal yang jauh lebih menentukan. Jika kita menghabiskannya untuk hal-hal berguna, kebahagiaan kita bertahan. Sebaliknya, ketika kita menyia-nyiakannya, kebahagiaan kita pudar.

Inilah mengapa ketika beberapa orang menyisihkan uangnya untuk beramal, mereka tetap bahagia. Karena mereka merasa kebutuhannya sudah terpenuhi. Berbeda jika orang tersebut belum menuntaskan kebutuhannya sendiri, beramal itu adalah sesuatu yang menjengkelkan.

Apa yang ingin saya katakan adalah perhatikan kualitas tentang seberapa efektifnya kita dalam mendayagunakan uang kita dan bukannya kuantitas tentang seberapa banyaknya kita memiliki uang.

Ini tidak berarti saya mengatakan bahwa Anda mesti menjadi orang miskin untuk bahagia. Tentu tidak. Tetapi akan cukup ironis jika ternyata orang-orang miskin lebih merasa berkecukupan daripada orang-orang kaya.

Ada juga yang bilang bahwa "banyak uang tidak menjaminmu untuk bahagia". Itu separuh benar, tapi saya tidak sependapat karena mereka berkata seakan-akan kita tidak perlu bersusah payah untuk mencari banyak uang dan cukup berbahagia sekarang juga.

Kenyataannya, pikiran kita tidak akan pernah tenang bila kebutuhan kita sendiri belum terpenuhi. Dan tidak bisa munafik juga bahwa pemenuhan kebutuhan membutuhkan uang.

Saya lebih senang untuk mengatakan, "Dapatkan banyak uang dan gunakan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan." Kenyataannya, rasa puas itulah yang menjadi tempat bersemayam kebahagiaan.

Kebahagiaan itu sendiri datang ketika pikiran kita merasa terbebas dan damai, dalam artian kita tidak bergantung pada apa pun. Dan seperti tebakan receh: terpenuhinya kebutuhan kita adalah sesuatu yang membebaskan pikiran kita.

Mitos 2: "Seandainya saya ... saya akan menjadi bahagia"

Saya yakin setiap orang pernah punya gagasan bahwa "jika saya tidak bahagia sekarang, maka saya akan menjadi bahagia ketika x, y, dan z terjadi". Idenya adalah: saya akan bahagia jika saya menikah, saya akan bahagia jika saya kaya, saya akan bahagia jika saya ...

Masalahnya, tidak ada jaminan bahwa harapan kita akan terwujud. Bahkan andaikata memang terjadi, kebahagiaan yang kita alami tidak akan sebesar yang kita harapkan atau bertahan lama seperti yang kita pikirkan.

Ini merupakan masalah klasik dari kebahagiaan kita, seakan-akan kebahagiaan itu adalah sesuatu yang hanya dimiliki oleh hal-hal tertentu saja. Ketika kita tidak mendapatkan sesuatu itu, kita merasa kehilangannya dan tidak akan pernah bisa bahagia.

Kita berhadapan dengan asumsi di mana kebahagiaan dijadikan sebagai tujuan masa depan atau sesuatu yang belum terlihat. Tapi asumsi itu bisa jauh dari kebenaran.

Jika kita tidak bisa berbahagia saat ini juga, di masa sekarang, apa pun keadaan kita, maka kita tidak akan pernah bahagia "suatu hari nanti". Kehidupan kita tidak dipenuhi oleh kemenangan-kemenangan besar seperti yang kita bayangkan.

Kehidupan kita diwarnai oleh pencapaian-pencapaian kecil yang jika dipertahankan akan membentuk keberhasilan besar. Maka kebahagiaan yang kita hubungkan dengan kemenangan besar niscaya sulit, karena kehidupan kita tidak dirancang untuk itu.

Siapa yang bisa menyangkal bahwa kemenangan besar akan mendatangkan kebahagiaan pada kita. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa kemenangan itu akan kita raih, atau setidaknya dalam waktu dekat? Dengan begitu, kebahagiaan kita menjadi tidak pasti.

Apa yang tepat adalah dengan merayakan setiap kemenangan kecil yang kita raih setiap hari, sebab pernak-pernik itulah yang kenyataannya banyak menghiasi waktu kita di dunia. Lantas pertanyaannya, bagaimana kita bisa melakukan hal semacam itu?

Dengan antusiasme yang konsisten.

Ketika kita berantusias menyambut apa pun yang kita hadapi, secara tidak sadar, kita sedang menghargai segala hal yang hidup berikan pada kita dan menikmatinya dengan sepenuh hati. Coba ingat kembali apa yang terjadi ketika Anda berantusias terhadap sesuatu.

Meskipun Anda gagal menghadapi tantangan, Anda tetap menikmatinya sebagai makna lain. Antusiasme adalah perasaan penting untuk berani menghadapi apa pun yang berpotensi menghambat diri kita.

Dan dengan begitu, kita akan selalu memiliki kemenangan-kemenangan kecil dan senantiasa merayakannya sebagai kisah pribadi kita yang mengagumkan. Kebahagiaan menjadi terurai di sepanjang waktu kita, dan kita tidak harus menunggu momen besar untuk berbahagia.

Mitos 3: Singkirkan pikiran dan perasaan negatif untuk menjadi bahagia

Apa yang saya benci dari ungkapan semacam itu adalah, asumsinya yang seakan-akan ingin mengatakan bahwa keadaan normal bagi manusia adalah bahagia sepanjang waktu. Tidak begitu! Lagi pula, hidup akan membosankan kalau yang terjadi memang harus demikian.

Kita tidak bisa menyangkal bahwa pada kenyataannya, sebagian hidup kita adalah tentang rasa sakit dan penderitaan. Jadi semakin sedikit kita dapat menerima kenyataan itu, semakin besar kemungkinan kita untuk lebih menderita.

Justru, kebahagiaan sejati (hanya) akan datang ketika kita bisa menghargai dan menikmati kesedihan serta penderitaan kita. Saya tahu betapa irasionalnya ungkapan itu. Tapi coba kita "kunyah" pelan-pelan dan merenungkannya.

Selama ini, kita menganggap bahwa kebahagiaan merupakan sebuah jalan linier. Ketika kita menyimpang dari jalan kita, maka semakin menjauh kita dari kebahagiaan. Itu logika yang menarik, tetapi jalan kita menuju kebahagiaan adalah jalan melingkar!

Adalah siklus kehidupan ketika merasa bahagia, sedih, marah, kecewa, stres, dan semacamnya. Jika kita berada di sebuah siklus, kita akan berkelana ke berbagai titik yang mungkin tidak kita sukai, tapi pada akhirnya, kita akan kembali ke titik awal.

Andaikan Anda sedang berbahagia saat ini, perlu Anda sadari bahwa di momen selanjutnya Anda akan kehilangan kebahagiaan itu, dan pada momen seterusnya, Anda akan kembali pada kebahagiaan tersebut atas alasan yang mungkin berbeda dengan sebelumnya.

Itulah menariknya kehidupan: jika kita tidak ingin merasa sedih, kita tidak akan pernah menghargai kebahagiaan kita. Jika kita menyia-nyiakan kebahagiaan kita, ironisnya, kita akan sangat mungkin untuk berlutut lama di kubangan tangisan kita.

Kesedihan itu sendiri merupakan bagian dari kebahagiaan, dan begitu pun sebaliknya. Ketika Anda tidak bisa menerima salah satunya, Anda juga kehilangan yang lainnya.

Dengan begitu, kehidupan adalah tentang menikmati dan menghargai apa yang kita miliki dan kita alami saat ini, sebab pada kenyataannya, kita tidak memiliki apa pun yang bersifat abadi. Pada detik mana pun, kita bisa kehilangan semuanya.

Biarkan perasaan Anda bekerja sebagaimana adanya, pun pantau secara intens bagaimana pikiran Anda bekerja ... hingga kedua-duanya tidak bisa menyakiti Anda secara ekstrem.

Satu-satunya hal yang saya pikir bisa meredam semua itu secara masuk akal adalah dengan menikmatinya.

Saya tidak pernah lagi menyangkal emosi negatif atau pemikiran yang buruk. Saya hanya akan menahan diri saya untuk bereaksi dan menikmatinya sendiri sebagaimana secangkir kopi yang saya nikmati dengan perlahan.

Saya tidak pernah bisa menyangkal bahwa semenjak pandemi, hari-hari saya senantiasa berjalan sama; diwarnai oleh rutinitas yang serupa. Saya jenuh dan jengkel dengan keadaan ini. Tapi di sisi lain, saya tahu bagaimana caranya untuk membuat ini tetap menarik.

Saya menciptakan penderitaan dengan sengaja; itulah yang saya lakukan. 

Saya tahu betapa anehnya ini, tapi apa yang kemudian saya sadari adalah, bebas sepenuhnya itu benar-benar membosankan. Saya butuh rasa sakit, penderitaan, atau kerinduan untuk menikmati hidup.

Dan itulah poinnya: saya adalah aktor utama dalam kehidupan saya. Untuk membuat semuanya menarik, saya menciptakan skenario apa yang saya inginkan di samping takdir Tuhan yang juga turut berpengaruh.

Jadi beri saya sorakan yang keras kalau semua ini terdengar omong kosong. Dan ya, terima kasih, Anda masuk ke dalam skenario saya.

Saya berbahagia dan sengaja bersedih ... hanya supaya saya bisa menikmati kisah pribadi saya. Mereka yang mampu menerima rasa sakit mereka sebagai bagian dari kehidupan akan jauh lebih siap untuk menanganinya dan melampauinya.

Mitos 4: Bahagia adalah pilihan

Para "ahli" biasanya akan menyarankan kita untuk mengganti pemikiran negatif dengan pemikiran positif, bahwa kebahagiaan itu terletak pada pola pikir kita dan kecenderungan perasaan kita ... maka kita mesti mengendalikannya.

Akhirnya mereka berkata, "Bahagia adalah pilihan."

Kenyataannya, kita tidak punya kendali sebesar yang kita bayangkan dalam mengontrol pikiran dan perasaan kita. Apa yang sering terjadi selama ini adalah, kedua-duanya terjadi secara niscaya.

Tentu kita memiliki potensi untuk mengendalikan pikiran dan perasaan kita, tetapi tidak semudah kita memindah-mindah siaran televisi. Mantra "bahagia adalah pilihan" terlalu menyepelekan, seakan-akan kita punya tombol untuk ditekan secara sukarela.

Tidak apa-apa untuk menangis. Tidak perlu menyangkal penderitaan. Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, kehidupan kita lebih mirip jalan melingkar. Ketika kita berada di luar kebahagiaan, suatu waktu, kita akan mendapatkannya lagi ... dan kembali kehilangannya.

Hidup berarti menerima perasaan apa pun yang kita miliki dan merangkulnya, bahwa perasaan itu akan sangat berharga entah sekarang atau di masa mendatang. Sebenarnya, kebahagiaan itu terjadi seperti sebuah kebetulan seolah-olah ia menemukan kita.

Tapi itu terlalu mengerikan, jadi mari kita cari istilah yang lebih enak didengar. Nah, kebahagiaan hanyalah bagian dari kehidupan sebagaimana kesedihan dan penderitaan.

Pada dasarnya, kita tidak bisa senantiasa menjadi bahagia sepanjang waktu. Kita tidak bisa memilihnya sepanjang waktu. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa menolak kesedihan dan penderitaan, demi makna mendalam dari kebahagiaan itu sendiri.

Apa yang hidup sediakan untuk kita ... itulah yang mesti kita nikmati dan merayakannya. Apa yang kita paksakan untuk tersedia dalam hidup kita hanyalah desakan dari mimpi-mimpi kita. Dan tiada yang lebih pengecut daripada mereka yang selamanya hidup di dalam mimpi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun