Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Negeri Air Mata

1 Agustus 2021   15:21 Diperbarui: 1 Agustus 2021   15:30 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gadis kecil itu berlari mendekati danau seperti didorong oleh angin malam yang lembut. Dia menyusuri hamparan rumput setinggi betis dengan bersusah payah, memaksa kedua kaki mungilnya untuk menahan kegelian dari jarum-jarum lunak hijau yang diinjaknya.

Seperempat jalan, dia mengalihkan langkahnya pada kerlap-kerlip kumpulan titik cahaya yang beterbangan di sekitar pohon tabebuya. Wajahnya diselimuti kebahagiaan. Dalam kegelapan malam, wajahnya tampak merona.

Dia terus tertawa dan meliuk-liuk seakan apa yang di sekitarnya adalah taman surgawi.

"Kau tidak akan pernah bisa menangkap kunang-kunang itu jika kau terus mengejarnya," seru Antares yang berjalan santai, menyusul di belakangnya.

"Apa yang Ayah yakini tentang hal itu?" tanya Najma yang merasa ragu dengan peringatan tersebut dan tetap berlari kecil mengejar kunang-kunang.

Antares pun duduk di sebuah batang pohon yang sudah tumbang dekat "lintasan" Najma. Dia tertawa pelan melihat gadis kecilnya yang belum begitu mengerti tentang cara kerja semesta.

Lantas Antares berkata, "Jadilah kunang-kunang, maka mereka pun akan hinggap di badanmu dengan sendirinya."

Seruan tersebut membuat Najma berhenti tiba-tiba. Dia menengok ke mata ayahnya yang terpantul danau Savero. Dia merasa menyerah dan segera duduk di sampingnya. "Apa maksudnya, Ayah?" tanyanya penuh keheranan.

"Kunang-kunang terlalu mungil dan rapuh untuk kau tangkap. Jika kau ingin bersama mereka, jadilah kunang-kunang itu sendiri. Kau akan menjadi ratu di antara mereka, dan pada momen itulah mereka memusatkan seluruh perhatian pada keindahanmu."

Najma mendadak terenyuh dan diam mematung untuk meresapi setiap kata dari ayahnya yang mengagumkan. Tetapi dia sendiri tidak mengerti tentang frasa "jadilah kunang-kunang". Bagaimana mungkin seorang manusia bisa berubah menjadi kunang-kunang?

"Tidak," sambung Antares seakan-akan bisa membaca pikiran putrinya, "tidak secara harfiah bahwa kau mesti mengubah dirimu menjadi kunang-kunang. Kau mesti menggunakan intuisimu untuk bisa menjadi kunang-kunang."

Itu sama sekali tidak membantu dan malah membuat Najma semakin bingung. Dia baru berusia 9 tahun dan belum tahu apa-apa soal intuisi. Apa yang dimaksud ayahnya pasti sebuah pembelajaran; hanya itulah yang Najma yakini sekarang ini.

"Aku akan berusaha memahami itu," ucap Najma dengan nada lembut. Dia memandangi debu langit yang berkedip-kedip, mengerumuni sebuah bola cahaya yang disebutnya Dewi Malam. Rembulan itu tidak terhalangi oleh awan apa pun; sungguh gemilang!

Selembar daun tabebuya dari pohon yang menaungi ayah dan anak itu gugur perlahan hingga mendarat di bayangan Dewi Malam yang terpantul di tengah danau. Najma yang menyaksikan kebetulan itu segera menggertakkan lengan ayahnya.

"Lihat! Betapa kebetulannya itu!"

"Rembulan sedang bercermin," ujar Antares.

"Bercermin?"

Antares mengangguk dengan serius. "Semesta itu hidup, Najma. Setiap saat, mereka memerhatikan kita dan kadang-kadang hanya bergeming. Mereka menyaksikan pembantaian alam oleh manusia, dan pada saat tertentu, mereka membalasnya."

Keringat dingin membasahi pelipis mata Najma. Mulutnya terasa kering, berusaha menelan sisa ludah untuk menenangkan gemetaran tubuhnya. Ini bukan tentang dinginnya malam, meskipun itu patut diperhitungkan, tapi tentang sesuatu yang baru diketahuinya.

"Bintang-bintang pun sama?" tanyanya.

"Tentu. Kau kira apa mata kita ini? Ketika kita melihat alam semesta dengan kekaguman, kita tidak hanya melihat mereka dengan segala keindahannya. Lebih dari itu, mereka juga melihat dirinya sendiri lewat pantulan di mata kita.

"Melalui mata kita, alam semesta memahami dirinya sendiri seperti kita melihat cermin. Melalui telinga kita, alam semesta mendengarkan harmoni dirinya sendiri. Kita adalah saksi yang melaluinya alam semesta menjadi sadar akan keindahannya."

Riuh kesejukan malam mengisi kekosongan di antara mereka, saling membisu dalam kesunyian, tenggelam dalam kekaguman masing-masing yang berbeda urusan. Antares mengagumi langit yang "berdebu", sedangkan Najma mengagumi perkataan ayahnya.

"Ayah amat sering menceritakanku keistimewaan alam semesta. Begitu pun Ibu yang saat itu memberitahuku bahwa alam semesta akan menangis jika kita berhenti mengaguminya. Tidakkah itu semua terlalu rumit untukku? Maksudku, aku baru 9 tahun dan belum tahu banyak hal."

"Jadi kau kira Ayah memahami alam semesta?" tanya Antares dengan sedikit tawa yang begitu mesra. "Tidak, Sayang, Ayah tidak memahami alam semesta. Begitu pun Ibu. Meskipun sekarang Ibu sudah berada di antara bintang-bintang, dia tidak ada bedanya.

"Semesta tidak berkewajiban untuk masuk akal bagi kita. Jika dia masuk akal, dia kehilangan semua keindahannya. Begitulah peraturannya."

Najma mengulangi kata-kata itu di pikirannya, lalu berkata, "Ayah benar. Ketika Ibu pergi untuk selama-lamanya, aku bisa jauh lebih mengaguminya. Sebab ketika Ibu tidak ada dalam jangkauanku, semua keindahannya menghiasi pikiranku."

Di kedalaman matanya, Najma melihat ayahnya menangis. Dia mengerti tentang betapa beratnya seorang ayah untuk menangis di hadapan putrinya. Lantas dia pun memeluk pinggang Antares sembari berusaha mencapai pipinya untuk sekadar menciumnya.

"Pernahkah kau mendengar kisah Alhena? Dia seorang gadis kecil sepertimu, Najma."

"Belum, siapa itu Alhena?" tanya balik Najma.

"Dia gadis kecil sebatang kara yang hidup pada masa Perang Dunia Kedua. Dia hidup di sebuah desa kecil daerah Hattfjelldal, Nordland, Norwegia. Ayah dan ibunya tewas oleh tentara Jerman yang tengah menginvasi Norwegia.

"Konon, dia selalu mengunjungi danau Rossvatnet ketika malam tiba. Di sana dia duduk di tepian danau dengan dikerumuni oleh kunang-kunang hingga kupu-kupu malam. Pada momen itulah danau menjadi cukup terang, dan dia pun bisa melihat pantulan dirinya di danau tersebut.

"Ayah yakin bahwa pada saat itu juga seluruh bintang hingga rembulan mengagumi Alhena. Dia gadis kecil yang malang dan hanya bisa menghibur dirinya dengan bercermin. Danau itulah cermin sejatinya. Langit itulah cahaya lembutnya. Kunang-kunang itulah teman terbaiknya.

"Pada suatu waktu, Alhena ditembak oleh sebuah pesawat tempur yang dikiranya seorang penyusup. Dia terlentang di tepian danau Rossvatnet dengan darah kental yang menggenanginya. Tidak seorang pun yang tahu kematian Alhena.

"Kala itu, semua orang merasa takut untuk keluar rumah, berbeda dengan Alhena yang tidak punya rumah beratap ataupun berdinding. Seluruh tempat adalah rumahnya, dan Rossvatnet adalah rumah induknya.

"Malam itu, hujan turun deras hingga menghilangkan bau amis darah di sekitar Alhena. Lama-kelamaan, air hujan membentuk genangan yang mengalir dari pemukiman menuju danau. Oleh 'ombak' mungil itulah, jasad Alhena terseret ke dalam danau Rossvatnet.

"Dia karam di dasar danau. Langit berbintang pun berujar pada danau, 'Betapa beruntungnya engkau, mengandung perhiasan kecil yang selama ini ditunggu-tunggu oleh surga.' Maka danau pun menjawab, 'Ah, indahkah Alhena itu?' Langit jelas kebingungan.

"Langit pun bertanya balik, 'Bukankah setiap malam Alhena bercermin padamu? Akulah yang meneranginya agar dia bisa melihat keindahannya sendiri.'

"Dengan amat sedih, danau berkata, 'Aku tidak pernah sempat untuk melihat keindahan Alhena, sebab ketika dia bercermin padaku, di kedalaman matanya, aku mengagumi keindahanku sendiri.' Semenjak itu, hujan selalu turun di tengah malam hingga fajar.

"Permukaan air danau semakin tinggi dari malam ke malam. Atas fenomena anomali tersebut, tempat itu kini dikenal sebagai Negeri Air Mata. Dan sebenarnya, Ibu yang menceritakan Ayah tentang Alhena."

Butuh beberapa saat bagi Najma untuk berkata, "Ah, apa yang membuat Ayah yakin bahwa Alhena ada di danau Rossvatnet? Mungkin dia tenggelam di danau ini: danau Savero!"

"Apa yang membuatmu yakin juga?" tanya balik Antares yang sama sekali tidak menggetarkan Najma.

"Karena sekarang, aku mulai mengerti tentang apa yang Ayah maksud dengan intuisi," jawab Najma singkat.

Jelas jawaban itu membuat Antares terhenyak. Matanya terbelalak dan hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan putrinya. Tapi dia hanya bergeming, coba membiarkan Najma untuk meresapi kata-katanya sendiri, memastikan gadis kecilnya tidak sembarang berucap.

"Tidakkah terlalu sendu untuk menamakan sebuah tempat dengan Negeri Air Mata?" tanya Najma, "Dan itu cukup ambigu: apakah mereka menangis sedih atau justru menangis bahagia? Kuharap yang pertama adalah benar."

"Sebenarnya Ayah tidak pernah berhasil untuk membuktikan bahwa daerah danau Rossvatnet dijuluki Negeri Air Mata. Mungkin Ibu hanya mengarang saja, karena yang terpenting, kisah Alhena menggambarkan ironi kehidupan."

"Itulah yang membuatku yakin bahwa Negeri Air Mata adalah di danau Savero ini," tegas Najma yang membuat Antares berpikir ulang.

"Ah, iya, itu mungkin saja. Tapi tahukah kau tentang sesuatu yang lebih janggal dari itu?"

"Tidak, tapi semenjak awal aku selalu merasa adanya keterkaitan antara aku, Ayah, Ibu, dan Alhena."

Dalam hati, Antares bergumam kaget bahwa gadis kecilnya benar-benar mengerti tentang intuisi. Dia pun berucap, "Ya, semua nama kita merefleksikan bintang. Dalam bahasa Arab, Najma berarti bintang.

"Dan Antares, nama Ayah sendiri, adalah bintang merah super raksasa di rasi Scorpio. Celena, nama Ibu, berarti bintang dalam bahasa Yunani. Dan betapa kebetulannya, Alhena merupakan nama sebuah bintang raksasa putih di rasi Gemini."

Najma memandang ayahnya dalam-dalam dan berkata, "Sekarang Ayah harus percaya bahwa aku sudah mengerti tentang intuisi. Tapi karena semua nama kita merefleksikan bintang, aku menjadi tahu bahwa kita seindah bintang-bintang."

Antares tersenyum sembari mengusap rambut Najma yang begitu dingin nan lembut. "Kau benar, sebab itulah keajaiban lain dari bintang-bintang: mereka bisa membagikan keindahannya hanya dengan nama-namanya."

Najma bangkit dari duduknya dan menuntun Antares menuju tepian danau di kepekatan malam yang juga gemilang. Mereka duduk di tepian, menatap pantulan mereka sendiri di permukaan danau, dan Antares benar-benar larut dalam kekaguman akan dirinya sendiri.

Berbeda dengan Najma yang ketika memandangi bayangannya lebih cermat, dia tidak melihat pantulan dirinya sendiri. Di sana hanya ada wajah seorang gadis kecil sebayanya yang juga sama cantiknya.

Perlahan bayangan itu semakin jelas. Najma terhenyak ketika intuisinya mengatakan bahwa bayangan tersebut adalah Alhena. 

Tiba-tiba dia memecah keheningan, "Ketika engkau melarutkan diri dalam kekaguman, alam semesta selalu berbisik padamu tentang kebenaran."

Antares menengok dan sama sekali tidak heran dengan keanehan itu. Malahan dia menambahkan, "Ingatlah untuk melihat ke atas pada bintang-bintang dan bukan ke bawah pada kakimu.

"Cobalah untuk memahami apa yang kau lihat dan bertanya-tanya tentang apa yang membuat alam semesta ada. Buat dirimu penasaran. Dan betapa pun sulitnya hidup ini, kau mesti memberontak dengan prinsip yang Ibu sebut Berjuang Sekuat Tenaga."

Najma mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari bayangan yang dia yakini sebagai Alhena. Dia tersenyum dengan amat lembut dan bayangan tersebut turut tersenyum bersamanya.

"Ayah, apakah sebuah bintang juga akan mati ketika aku tiada?" tanya Najma tiba-tiba.

"Tidak, sebab engkau akan berada di sana seperti Ibu yang kini bersemayam di sebuah bintang yang telah menjadi suratannya. Kita mesti tahu bahwa segalanya sudah termaktub dalam sebuah catatan semesta."

"Sungguh disayangkan karena bintang-bintang hanya terlihat pada malam hari."

"Itulah sebabnya Ayah mengajakmu ke sini pada tengah malam. Hanya dalam kegelapan yang amat pekat, kunang-kunang dan bintang-bintang berada pada kemampuan terbaiknya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun