Berbeda dengan Najma yang ketika memandangi bayangannya lebih cermat, dia tidak melihat pantulan dirinya sendiri. Di sana hanya ada wajah seorang gadis kecil sebayanya yang juga sama cantiknya.
Perlahan bayangan itu semakin jelas. Najma terhenyak ketika intuisinya mengatakan bahwa bayangan tersebut adalah Alhena.Â
Tiba-tiba dia memecah keheningan, "Ketika engkau melarutkan diri dalam kekaguman, alam semesta selalu berbisik padamu tentang kebenaran."
Antares menengok dan sama sekali tidak heran dengan keanehan itu. Malahan dia menambahkan, "Ingatlah untuk melihat ke atas pada bintang-bintang dan bukan ke bawah pada kakimu.
"Cobalah untuk memahami apa yang kau lihat dan bertanya-tanya tentang apa yang membuat alam semesta ada. Buat dirimu penasaran. Dan betapa pun sulitnya hidup ini, kau mesti memberontak dengan prinsip yang Ibu sebut Berjuang Sekuat Tenaga."
Najma mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari bayangan yang dia yakini sebagai Alhena. Dia tersenyum dengan amat lembut dan bayangan tersebut turut tersenyum bersamanya.
"Ayah, apakah sebuah bintang juga akan mati ketika aku tiada?" tanya Najma tiba-tiba.
"Tidak, sebab engkau akan berada di sana seperti Ibu yang kini bersemayam di sebuah bintang yang telah menjadi suratannya. Kita mesti tahu bahwa segalanya sudah termaktub dalam sebuah catatan semesta."
"Sungguh disayangkan karena bintang-bintang hanya terlihat pada malam hari."
"Itulah sebabnya Ayah mengajakmu ke sini pada tengah malam. Hanya dalam kegelapan yang amat pekat, kunang-kunang dan bintang-bintang berada pada kemampuan terbaiknya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H