Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Nasihat "Lupakan dan Maju Terus" Tidaklah Benar

30 Juli 2021   06:10 Diperbarui: 30 Juli 2021   06:42 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia adalah makhluk yang begitu suka untuk mencari simpati terhadap sesamanya. Inilah yang membuat kita merasa senang saat berbagi cerita tentang rasa sakit kita kepada orang lain. Kita dapat menyaksikan fenomena itu setiap hari, entah di dunia nyata maupun maya.

Saya akui bahwa meluapkan keluh-kesah pada orang lain adalah sesuatu yang melegakan. Sayangnya, tidak semua orang memiliki kemampuan yang seimbang. Maksud saya, manusia punya keinginan untuk selalu menarik simpati, tetapi hanya segelintir orang yang bisa berempati.

Itulah yang kemudian membuat beberapa dari kita adalah "pendengar yang buruk".

Saya tidak bisa mengatakan istilah yang lebih halus dari itu, karena ketika mereka mendengar keluhan kita, mereka hanya menantikan giliran mereka berbicara dan memaksakan aura positif segera terpancar di dalam jiwa kita.

Pada dasarnya, ada dua kemungkinan: mereka memang malas melayani kita atau mereka tidak tahu cara memotivasi kita selain dengan memberi dukungan yang bernada positif.

Salah satu nasihat yang sering diucapkan orang ketika kita gagal, dan paling sering juga saya tertawakan, adalah nasihat, "Lupakan dan maju terus!"

Bah! Toxic positivity!

Saya tahu betapa mulianya petuah tersebut, bahwa maksudnya kita tidak boleh bersedih atas kegagalan kita. Bahwa kita harus berhenti menyesalinya. Bahwa kita mesti bangkit dan melanjutkan perjalanan kita hingga ke titik penghabisan.

Masalahnya, penderitaan dan segala macam rasa sakit yang kita alami bukan untuk dilupakan. Jika kita berusaha untuk melupakannya, secara eksplisit, berarti kita ingin menghindarinya. Tapi kegagalan itu bukan untuk dihindari!

Lagi-lagi, kita berhadapan dengan salah satu aspek yang paling sering disalahpahami tentang orang genius: kegagalan. Biasanya, ketika topik itu muncul, bertebaran pula ungkapan lama tentang kebiasaan orang sukses yang senang "merangkul kegagalan".

Dan itu benar. Mereka memang merengkuhnya. Hanya saja, benar juga bahwa orang gagal merangkul kegagalannya. Malahan, mereka merangkulnya dengan lebih erat hingga lebih banyak tangisan yang meletup.

Jadi, apa perbedaan antara kegagalan yang menghasilkan inovasi dengan kegagalan yang menghasilkan ... lebih banyak kegagalan?

Jawabannya tidak terletak pada kegagalan itu sendiri, melainkan pada cara kita mengingatnya atau, lebih tepat lagi, cara kita menyimpannya.

Orang gagal yang berhasil adalah mereka yang mengingat dengan pasti di mana dan bagaimana mereka gagal sehingga saat menghadapi masalah yang sama, bahkan dalam kemasan yang berbeda, mereka mampu mendapatkan "petunjuk kegagalan" ini dengan jitu.

Ini seperti ketika Anda bermain video game Super Mario. Katakanlah di suatu level, Anda gagal menyelesaikannya karena terbendung  oleh musuh yang mengejutkan Anda dekat jajaran batu-bata dan cerobong hijau tunggal.

Ketika Anda mengulangi level tersebut, dengan mengingat kesalahan yang dilakukan pada kesempatan sebelumnya, Anda menjadi lebih cekatan.

Begitu pun dalam dunia nyata. Ketika kita berhasil menemukan informasi penting tentang kegagalan, gambaran yang acapkali terpotong-potong itu tiba-tiba menjadi lengkap dan jalan keluarnya mudah ditemukan.

Dengan kata lain, orang gagal yang sukses menemui jalan buntu seperti orang lain, tapi lebih mampu mengingat "lokasi" persis jalan buntu tersebut. Mereka bersedia melacak kembali jejak mereka, sebab kenikmatan sukses mereka pun ditentukan oleh prosesnya itu sendiri.

Implikasinya sangat besar. Sebagai permulaan, ini menyatakan bahwa pengetahuan itu sendiri kurang penting dibandingkan cara kita menyimpannya, dan seberapa siap kita mengaksesnya.

Ibarat Anda mendirikan perpustakaan pribadi yang amat megah, tapi untuk apa jika Anda sendiri tidak pernah membuka satu buku pun dan mempelajarinya?

Itulah mengapa nasihat "lupakan dan maju terus" benar-benar keliru. "Ingatlah dan maju terus" adalah cara para genius menjalani kehidupannya.

Kesalahpahaman lain dari nasihat "lupakan dan maju terus" adalah penuntutannya agar kita tidak menyesal.

Menurut saya, justru kita harus menyesali kesalahan dan kegagalan kita! Penyesalan merupakan bentuk dari sikap kita untuk mengakui kesalahan dengan penuh kerendahan hati, pun sebuah pengakuan terhormat bahwa kita tidak ingin mengulanginya.

Penyesalan adalah alarm yang hendak memberitahu kita tentang adanya suatu kesalahan yang belum kita pelajari. Penyesalan adalah pertanda bahwa kita belum memetik pembelajaran apa pun dari kegagalan kita di masa lalu.

Tanpa penyesalan, kita tidak akan pernah belajar. Tanpa penyesalan, kita tidak ingat bahwa kita pernah berbuat keliru dan kemungkinannya akan mengulangi kesalahan yang sama.

Mungkin ada saat-saat ketika Anda berharap dapat memutar waktu kembali dan menghilangkan semua kesedihan, tetapi Anda juga mesti ingat bahwa jika Anda melakukannya, maka kegembiraan itu juga akan hilang.

Penyesalan akan menggoreskan suatu kenangan pada memori kita, dan kenangan itulah yang membantu kita untuk menyimpan dan mengingat informasi tentang apa yang telah kita lalui. Kenangan adalah buku diari kita yang tidak terlihat oleh mata, tapi amat tajam bagi pikiran.

Kenangan harus cukup kuat untuk memungkinkan kita bertindak tanpa melupakan apa yang telah kita pelajari dari masa lalu, untuk mengingat apa yang ingin kita lakukan, dan untuk menegaskan strategi kita dalam menghadapi dongeng kehidupan.

Tetapi kenangan juga harus cukup lemah sehingga mengizinkan kita untuk terus menuju ke masa depan tanpa terhalangi oleh sebuah trauma.

Ya, betapa bencinya kita terhadap kenangan pahit. Masalah penyesalan yang sedang saya bicarakan, pada beberapa kasus, malah melahirkan sebuah kenangan pahit bahwa suatu waktu kita pernah gagal dan betapa payahnya kita.

Tetapi itulah keunikan hidup: kenangan pahit adalah sinyal bahwa kita punya kesempatan untuk meraih kegembiraan yang amat manis di masa mendatang. Saya tidak berbicara soal roda kehidupan, tapi memang itulah yang membuat kebahagiaan bisa dihargai.

Hanya dengan penderitaan, dunia menghargai kebahagiaan. Tanpa penderitaan, kita tidak akan pernah menghargai kegembiraan.

Adalah bencana kalau kita menjadikan kenangan pahit tersebut sebagai sebuah trauma. Perlu diingat kembali bahwa kehidupan dipenuhi tantangan, sebab hidup itu sendiri adalah petualangan yang terentang antara waktu kelahiran hingga waktu kematian.

Maka bagi "orang-orang besar", tidak peduli seberapa banyak penderitaan yang mereka alami, mereka tidak pernah ingin melepaskan semua kenangan itu. Mereka tidak melupakannya, mereka mengingatnya dan mengaksesnya.

Bekas luka memiliki kekuatan aneh untuk mengingatkan kita bahwa masa lalu adalah nyata. Dan itu bagus. Hanya saja, mengingat pengalaman masa lalu belum tentu akan mengingat pengalaman tersebut sebagaimana adanya.

Fitrah manusia adalah merasa takut. Dan bagi mereka yang tidak bisa mengendalikannya, rasa takut tersebut mendorong penggambaran yang dilebih-lebihkan atas segala bekas luka di masa lampau. Mereka mendramatisasi kenangan pahit mereka hingga akhirnya, mereka trauma.

Itulah tugas kita yang selama ini sering terabaikan. Kita memiliki kecenderungan untuk mendramatisasi kenangan kita sehingga amat penting untuk bisa melihatnya sekali lagi dengan lebih murni.

Jika Anda berhasil melakukannya, Anda akan melihat betapa banyaknya pembelajaran yang bisa Anda petik dari satu bekas luka, dan betapa melimpahnya anugerah yang selama ini tidak sempat disyukuri atas pembunuhan waktu oleh meratapi nasib.

Ya, malahan kenangan manis bisa membuat pengalaman serupa terasa membosankan, seperti kata Nietzsche, "Keuntungan dari ingatan yang buruk adalah bahwa seseorang bisa menikmati beberapa kali hal-hal baik yang sama seperti untuk pertama kalinya."

Pada akhirnya, nasihat "lupakan dan maju terus" tidaklah begitu berharga selain dorongan lembut agar kita mengabaikan kegagalan kita tanpa pernah mempelajarinya. Justru hal yang penting adalah mengingat kegagalan itu untuk memberi petunjuk di tantangan berikutnya.

Contoh klasik yang kita tahu adalah Thomas Alva Edison yang, konon, mengalami kegagalan sebanyak 9.998 kali. Apa yang dia katakan tidak bisa terbantahkan bahwa, "Saya tidak gagal. Saya hanya menemukan 10.000 cara yang tidak berhasil."

Dalam artian, Edison senantiasa mengingat setiap jejak "kegagalannya". Prinsip yang dipegangnya bukanlah "lupakan dan maju terus", melainkan "ingatlah dan maju terus".

Seperti yang pernah dikatakan seorang bijaksana, "Kesuksesan seseorang tidak ditentukan oleh apa yang dideritanya, melainkan oleh bagaimana dia menderita dan menyelesaikannya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun