Adalah bencana kalau kita menjadikan kenangan pahit tersebut sebagai sebuah trauma. Perlu diingat kembali bahwa kehidupan dipenuhi tantangan, sebab hidup itu sendiri adalah petualangan yang terentang antara waktu kelahiran hingga waktu kematian.
Maka bagi "orang-orang besar", tidak peduli seberapa banyak penderitaan yang mereka alami, mereka tidak pernah ingin melepaskan semua kenangan itu. Mereka tidak melupakannya, mereka mengingatnya dan mengaksesnya.
Bekas luka memiliki kekuatan aneh untuk mengingatkan kita bahwa masa lalu adalah nyata. Dan itu bagus. Hanya saja, mengingat pengalaman masa lalu belum tentu akan mengingat pengalaman tersebut sebagaimana adanya.
Fitrah manusia adalah merasa takut. Dan bagi mereka yang tidak bisa mengendalikannya, rasa takut tersebut mendorong penggambaran yang dilebih-lebihkan atas segala bekas luka di masa lampau. Mereka mendramatisasi kenangan pahit mereka hingga akhirnya, mereka trauma.
Itulah tugas kita yang selama ini sering terabaikan. Kita memiliki kecenderungan untuk mendramatisasi kenangan kita sehingga amat penting untuk bisa melihatnya sekali lagi dengan lebih murni.
Jika Anda berhasil melakukannya, Anda akan melihat betapa banyaknya pembelajaran yang bisa Anda petik dari satu bekas luka, dan betapa melimpahnya anugerah yang selama ini tidak sempat disyukuri atas pembunuhan waktu oleh meratapi nasib.
Ya, malahan kenangan manis bisa membuat pengalaman serupa terasa membosankan, seperti kata Nietzsche, "Keuntungan dari ingatan yang buruk adalah bahwa seseorang bisa menikmati beberapa kali hal-hal baik yang sama seperti untuk pertama kalinya."
Pada akhirnya, nasihat "lupakan dan maju terus" tidaklah begitu berharga selain dorongan lembut agar kita mengabaikan kegagalan kita tanpa pernah mempelajarinya. Justru hal yang penting adalah mengingat kegagalan itu untuk memberi petunjuk di tantangan berikutnya.
Contoh klasik yang kita tahu adalah Thomas Alva Edison yang, konon, mengalami kegagalan sebanyak 9.998 kali. Apa yang dia katakan tidak bisa terbantahkan bahwa, "Saya tidak gagal. Saya hanya menemukan 10.000 cara yang tidak berhasil."
Dalam artian, Edison senantiasa mengingat setiap jejak "kegagalannya". Prinsip yang dipegangnya bukanlah "lupakan dan maju terus", melainkan "ingatlah dan maju terus".
Seperti yang pernah dikatakan seorang bijaksana, "Kesuksesan seseorang tidak ditentukan oleh apa yang dideritanya, melainkan oleh bagaimana dia menderita dan menyelesaikannya."