Manusia adalah makhluk yang begitu suka untuk mencari simpati terhadap sesamanya. Inilah yang membuat kita merasa senang saat berbagi cerita tentang rasa sakit kita kepada orang lain. Kita dapat menyaksikan fenomena itu setiap hari, entah di dunia nyata maupun maya.
Saya akui bahwa meluapkan keluh-kesah pada orang lain adalah sesuatu yang melegakan. Sayangnya, tidak semua orang memiliki kemampuan yang seimbang. Maksud saya, manusia punya keinginan untuk selalu menarik simpati, tetapi hanya segelintir orang yang bisa berempati.
Itulah yang kemudian membuat beberapa dari kita adalah "pendengar yang buruk".
Saya tidak bisa mengatakan istilah yang lebih halus dari itu, karena ketika mereka mendengar keluhan kita, mereka hanya menantikan giliran mereka berbicara dan memaksakan aura positif segera terpancar di dalam jiwa kita.
Pada dasarnya, ada dua kemungkinan: mereka memang malas melayani kita atau mereka tidak tahu cara memotivasi kita selain dengan memberi dukungan yang bernada positif.
Salah satu nasihat yang sering diucapkan orang ketika kita gagal, dan paling sering juga saya tertawakan, adalah nasihat, "Lupakan dan maju terus!"
Bah! Toxic positivity!
Saya tahu betapa mulianya petuah tersebut, bahwa maksudnya kita tidak boleh bersedih atas kegagalan kita. Bahwa kita harus berhenti menyesalinya. Bahwa kita mesti bangkit dan melanjutkan perjalanan kita hingga ke titik penghabisan.
Masalahnya, penderitaan dan segala macam rasa sakit yang kita alami bukan untuk dilupakan. Jika kita berusaha untuk melupakannya, secara eksplisit, berarti kita ingin menghindarinya. Tapi kegagalan itu bukan untuk dihindari!
Lagi-lagi, kita berhadapan dengan salah satu aspek yang paling sering disalahpahami tentang orang genius: kegagalan. Biasanya, ketika topik itu muncul, bertebaran pula ungkapan lama tentang kebiasaan orang sukses yang senang "merangkul kegagalan".