Tidak peduli bahasa apa pun yang kita gunakan, kata-kata adalah instrumen paling penting dalam mengomunikasikan pikiran, ide, bias, dan keyakinan kita. Sekalipun Anda berkomunikasi dengan bahasa isyarat, kata-kata tetap terbentuk dalam pikiran Anda.
Bahasa yang diuraikan lewat kata-kata dapat membantu kita untuk menyampaikan maksud, mengekspresikan emosi dan, pada akhirnya, membantu kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.
Di era kebebasan berbicara seperti sekarang, peranan kata-kata menjadi amat fundamental sebab penggunaannya tidak lagi diperhatikan dengan hati-hati. Banyak konflik yang meletus, entah di dunia nyata atau di dunia maya, hanya karena kata-kata yang "terpeleset".
Lebih-lebih lagi banyak sekali hal yang memancing kita untuk angkat suara, seolah-olah mereka yang tidak ikut bicara dianggap sebagai sampah peradaban. Ironisnya, orang-orang cenderung mengatakan apa pun yang mereka inginkan tanpa pertimbangan.
Apalagi di masa krisis yang dipenuhi ketidakpastian ini, ketika orang-orang sudah cukup labil dalam menanggapi sesuatu, kekeliruan sekecil apa pun dalam berkata-kata bisa menyulut amarah mereka, bahkan kadang-kadang, berurusan dengan hukum.
Kata-kata yang pada dasarnya punya kekuatan setajam pisau telah banyak disalahgunakan dan membunuh banyak pihak.
Bahkan jika Anda menyadarinya, setiap gerakan besar di dunia ini (selalu) dikembangkan oleh ahli-ahli pidato dan jago-jago tulisan. Seni beretorika telah terbukti sangat ampuh untuk menggerakkan kekuatan massa layaknya sepercik api yang menyulut obor raksasa.
Presiden pertama Indonesia, Sang Proklamator, adalah orang yang sangat andal dalam berorasi dan berkata-kata. Kemampuan yang serupa dimiliki oleh Vladimir Lenin, tokoh penggerak revolusi Rusia, yang kemudian diteruskan oleh Josef Stalin yang tiada bedanya.
Juga seorang seniman yang gagal, tetapi kemudian mulai menyuarakan aspirasinya dan pandai beretorika: Adolf Hitler, dalang dari peristiwa paling bengis sepanjang sejarah yang disebut Holokaus.
Pun seorang filsuf yang menentang sistem kapitalisme dan mencita-citakan konsep komunisme: Karl Marx. Belum lagi para filsuf lainnya yang memicu era Renaisans serta Aufklarung di Barat.
Dari mereka, kata-kata bisa menjadi mantra kehidupan yang mengubah wajah dunia. Dalam tulisan Nietzsche, "Yang aku butuhkan hanyalah selembar kertas dan sesuatu untuk menulis, dan kemudian aku bisa membalikkan jalannya sejarah."
Contoh kecilnya bisa kita temukan setiap kali ada kampanye calon pimpinan. Mereka memperdaya kita dengan segala buaian kata-kata manis, lalu kita pun mempercayainya tanpa pernah belajar hingga ujung-ujungnya ... tidak berbeda sama sekali.
Inilah yang pada akhirnya mendorong kita untuk bisa mengendalikan kata-kata. Lebih dari sekadar kumpulan huruf, kekuatan yang dimiliki kata-kata bisa sampai menentukan hidup dan mati kita. Mungkin itu terkesan berlebihan, tapi benar-benar nyata!
Seorang tetangga yang merasa tersinggung oleh kata-kata Anda mungkin saja mulai bertekad untuk menggorok leher Anda. Atau seorang teman sekolah yang dulu Anda katakan sebagai "dungu dan gendut" telah mencapai kesuksesan besar, lalu Anda iri dan menggantung diri.
Siapa sangka?
Tapi, ada kekuatan lain yang dihimpun oleh kata-kata, terlepas dari betapa berdosanya Anda jika berkata-kata buruk dan bahwa ucapan adalah doa (saya mengecualikan ranah metafisika).
Menentukan makna tuturan
Entah tertulis atau terucap, kata-kata yang Anda ujarkan akan sangat mungkin untuk disalahpahami maksudnya. Mungkin tidak begitu berat kalau percakapan terjadi secara langsung dan dua arah, tapi akan sangat merepotkan bagi seorang penulis ataupun orator.
Dalam sebuah adagium klasik, "Penulis buku sudah mati ketika tulisannya dibaca oleh khalayak." Atau seorang orator yang menyampaikan narasinya secara satu arah, maka sesudah itu akan sangat mungkin terdapat sekelumit kata-katanya yang disalah tafsirkan.
Katakanlah terdapat seorang wartawan yang sedang mewawancarai pembunuh bayaran. Wartawan tersebut bertanya, "Apakah Anda melakukannya sendirian?"
"Tidak," sergah tersangka, "kita melakukannya berempat dan masing-masing orang punya peranannya tersendiri."
Jika wartawan tersebut benar-benar mengerti, saya pastikan dia akan sangat marah kepada narasumbernya! Barangkali dia akan menyentak, "Mengapa Anda melibatkan saya? Bahkan saya tidak pernah mengenal Anda!"
Mungkin maksud pembunuh tersebut adalah kata "kami" dan bukannya kata "kita". Jika dia menggunakan kata "kita", berarti dia mengklaim bahwa orang yang sedang berbicara dengannya juga ikut terlibat dalam pembunuhan yang dimaksud.
Nah, pernah suatu waktu, seorang teman berpesan pada saya, "Aku tidak bisa masuk kelas hari ini. Titip absen, ya!" Saya tahu betul apa maksudnya, tapi ketika guru memeriksa kehadiran, saya lupa.
Lantas dia pun marah kepada saya dan sekonyong-konyong saya berdalih, "Lho, arti dari kata 'absen' adalah tidak hadir. Jadi siapa yang salah?"
Sebuah maksud mulia pun, jika disampaikan dengan kata-kata yang keliru, bisa kehilangan nilai mulianya.Â
Misalnya saya bermaksud untuk menyatakan betapa senangnya saya bisa berteman dengan teman saya yang laki-laki.
Kemudian saya berkata padanya, "I love you."
Duh, keakraban yang kami miliki akan membuat ungkapan itu sangat menjijikkan! Mungkin dia akan menganggap saya sebagai homoseksual dan mulai menjauh bak planet Bumi dengan matahari!
Padahal maksud saya mulia, bahwa betapa bersyukurnya saya bisa memiliki teman sepertinya. Tapi akan lebih pas kalau saya sekadar berterima kasih atau bahkan tidak diungkapkan sama sekali. Toh pertemanan sejati tidak membutuhkan pengikat apa pun lagi.
Apa yang saya maksud di sini adalah, kata-kata tertentu juga sangat mungkin punya konteks khusus. Ketika kata tersebut tidak ditempatkan pada konteksnya, kesan yang dihasilkan akan sangat aneh dan mungkin benar-benar gila.
Sekarang saya akan berkata, "Pandemi adalah konspirasi!"
Apa yang Anda pikirkan tentang itu? Barangkali saya akan dituduh sebagai penganut bumi datar dan patut dipenjarakan atas kasus penyebaran berita hoaks.
Sebenarnya, tidak sama sekali. Bukan itu yang saya maksud. Apa yang sedang saya bicarakan adalah terkait segelintir orang yang menganggap pandemi ini sebagai konspirasi elite global. Mungkin Anda ingin berujar, "Harusnya dilengkapi lagi kalimatnya!"
Memang itulah pesannya: kata-kata yang dilontarkan secara tidak utuh akan sangat sulit dicari makna aslinya dan tidak bisa dideteksi apa konteksnya, kecuali dinilai sebagai pernyataan denotasi belaka.
Ini seperti saya berkata, "Kobaran api itu membakar seluruh raganya." Tidak, saya tidak sedang membicarakan seseorang yang terbakar api, saya sedang membicarakan seseorang yang punya jiwa semangat nan tinggi, pun menyala-nyala.
Maka tidak hanya sebagai "pelontar" saja kita harus berhati-hati terhadap kata-kata. Ketika kita menjadi seorang "penerima" kata-kata pun, kita mesti tetap berhati-hati menafsirkannya, terutama dalam ungkapan puitis.
Ungkapan puitis hanya menguraikan beberapa kata dan kalimat pendek, tetapi dapat menimbulkan banyak tafsiran. Sedangkan ungkapan deskriptif dapat menggambarkan sesuatu secara panjang-lebar, tetapi hanya mengungkapkan satu hal.
Kata-kata menyimpan potensi emosional
Inilah yang membuat kata-kata dapat menggugah pihak lain ataupun menyakitinya. Bayangkan kita bertemu di sebuah pesta kostum, kemudian Anda menghampiri saya dan bertanya, "Bagaimana penampilanku?"
Saya tahu bahwa Anda ingin dipuji dan betapa memesonanya Anda kala itu. Tapi karena saya begitu cuek, saya hanya menjawab, "Bagus. Maksudku benar-benar bagus." Mungkin Anda cukup kecewa karena Anda telah menghabiskan waktu hingga 5 jam hanya untuk merias diri.
Namun bayangkan kalau saya memberikan tanggapan serupa dengan sentuhan ajaib, "Wah, betapa indahnya kostum itu! Perpaduan antara paras cantik dan kostum indah benar-benar mengingatkanku pada kisah bidadari surga!"
Nah, meleleh, kan? Sebab kata-kata selalu menyimpan potensi emosional.
Atau bayangkan bahwa saya memberikan respons yang berkebalikan pada Anda, "Dih, siapa yang mengundang orang jelek sepertimu untuk masuk pesta? Dia pasti sama-sama jeleknya!" Saya coba tebak, Anda tidak akan pernah menghadiri pesta kostum mana pun lagi!
Inilah yang membuat kata-kata begitu mirip seperti sebilah pisau: Anda bisa menggunakannya untuk kebaikan maupun keburukan. Hal mana pun yang Anda pilih, Anda tetap bertanggung jawab terhadapnya.
Ketika Anda selesai berucap, mungkin kata-kata itu tidak lagi penting bagi Anda, tapi sangat mungkin untuk melekat pada orang lain seumur hidupnya. Kata-kata tidak mengubah realitas, tapi dapat memengaruhi seseorang dalam memandang realitas.
Kata-kata tidak bisa diambil kembali
Begitu diucapkan, kata-kata hanya bisa dimaafkan, bukan dilupakan. Pada akhirnya, kita sendiri yang akan menyesal di waktu nanti (kecuali Anda berjiwa psikopat). Apa yang kita ucapkan adalah apa yang akan kita "makan" di masa mendatang.
Hanya bedanya, kita tidak bisa memuntahkannya lagi seperti makanan biasa. Kata-kata itu gratis, tapi cara kita menggunakannya mungkin akan merugikan kita sendiri.
Membentuk identitas kita
Disadari ataupun tidak, semua kata-kata yang kita ucapkan pada orang lain lambat laun akan membentuk identitas kita. Jika Anda gemar berkata kasar, pasti teman-teman Anda menilai Anda sebagai pribadi yang kasar, dan begitu pun sebaliknya.
Bahkan ketika kata-kata Anda terlalu banyak menciptakan kebohongan, orang-orang tidak akan lagi percaya pada Anda. Bahwa Anda adalah seorang penipu. Bahwa Anda hanyalah pembohong yang penuh gaya. Bahwa Anda adalah pembual omong kosong.
Terlalu banyak kata-kata yang Anda lontarkan pun malah membentuk identitas Anda sebagai pribadi yang membosankan. Sungguh! Saya mengenal seorang teman yang gemar menceritakan semuanya, dan tidak ada orang yang lebih membosankan daripada dia.
Jujur saja.
Maksud saya, dia benar-benar menceritakan semuanya, dari mulai gaya tidurnya hingga pengalaman terkunci di kamar mandi tanpa air setetes pun. Dia seperti tidak punya privasi. Itu yang membuat saya tidak perlu repot-repot mengenalnya. Dia sudah memperkenalkan semuanya.
Dalam kata-kata Voltaire, "Rahasia menjadi membosankan adalah dengan mengatakan segalanya." Atau yang lebih ironis: orang bodoh menjadi lebih bodoh ketika mulutnya lebih terbuka daripada pikirannya.
Saya selalu kalah bijaksana dengan dinding ketika berdebat. Orang bijaksana adalah dia yang mengakui ketidaktahuannya dan diam. Dinding melakukannya dengan sempurna.
Fondasi dari takdir
Setiap orang selalu punya keyakinannya sendiri-sendiri. Dan keyakinan itulah yang kemudian menjadi isi pikiran. Pikiran memengaruhi kata-kata. Lalu kata-kata lahir dengan ucapan. Ucapan melahirkan tindakan. Tindakan mendorong kebiasaan.
Pada akhirnya, kebiasaan menentukan takdir kita.
Dalam kata-kata Mahatma Gandhi, "Berbicaralah hanya jika itu lebih baik dari diam."
Apa yang dapat kita lakukan?
Saya tahu tentang tidak mudahnya mengendalikan kata-kata. Ketika kita mengucapkan sesuatu, hampir tidak ada waktu lama bagi kita untuk mengolah kata-kata terlebih dahulu sebelum akhirnya harus terlontar.
Itulah yang membuat adagium "berpikirlah sebelum berbicara" kurang relevan bagi beberapa orang.
Terutama jika kata-kata tersebut sudah menjadi kebiasaan, kendali dalam ucapan akan sangat sulit, kecuali membiasakan kata-kata baru yang berseberangan. Itu seperti terbakar dan harus dibakar lagi dengan sesuatu yang lebih baik.
Dalam hal tulisan, kita masih punya kuasa untuk mengendalikan kata-kata kita. Dan justru sekarang ini, kita lebih banyak melontarkan kata-kata lewat tulisan. Maka dalam bermedia sosial, kendali semacam ini tidak boleh disia-siakan.
Tapi, saya pribadi lebih suka memperingatkan diri sendiri pada awal hari dengan tekanan, "Aku hanya akan mengucapkan sesuatu, seakan-akan itu adalah kata-kata terakhirku."
Dan betapa gembiranya saya ketika orang-orang berkata, "Kamu lebih banyak diam belakangan ini." Ya, saya berhasil! Itu tidak menandakan saya terserang penyakit atau sedang depresi.
Lebih baik dari itu, saya merasa betapa bodohnya saya jika harus mengatakan serta menanggapi segala hal.
Saya mempelajari banyak hal hanya untuk bisa diam. Sebab seiring pengetahuan bertambah, secara paradoksal, semakin tinggi kesadaran saya bahwa saya tidak tahu apa-apa. Ketika kesadaran itu menancap kuat di akar hati dan pikiran, pilihannya selalu diam.
Jadi untuk bisa mengendalikan kata-kata, menurut saya, kita mesti membuka pandangan kita dan meluaskan cakrawala pengetahuan kita. Sebab dalam cara itulah, kebijaksanaan kita diuji. Seekor harimau lebih banyak diam, tapi ditakuti.
Lagi pula, mengapa Anda berbicara dan mengucapkan kata-kata dengan tergesa-gesa ketika keheningan dapat mengungkapkan kata-kata yang tak terucapkan?
Nilai terpentingnya: dunia dipenuhi oleh orang-orang yang terlalu banyak berbicara tanpa benar-benar mengatakan apa-apa. Berpikirlah apa pun yang Anda inginkan, tetapi tidak dengan ucapan dan tulisan. Anda mesti bisa mengendalikannya.
Jika tidak, Anda seperti sedang menancapkan pisau pada jantung Anda sendiri.
Dalam banyak hal, lebih baik untuk tidak mengatakan apa-apa sama sekali. Hanya dalam keadaan khusus, ucapan kita benar-benar mengandung makna dan tidak sekadar membisingkan dunia.
Seperti kata Benjamin Franklin, "Ingat, kesulitan tidak hanya berlaku saat kita harus mengatakan hal yang benar di tempat yang tepat, tapi jauh lebih sulit lagi untuk mengatakan hal yang salah pada momen yang menggoda."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H