Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Email untuk Aileen: Siklus Abadi Kehidupan

8 Juli 2021   17:19 Diperbarui: 8 Juli 2021   17:24 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dalam masa yang pelik ini, aku belajar tentang siklus abadi kehidupan | Ilustrasi oleh Pitsch via Pixabay

Email Pertama

Aileen, kau meminta pendapatku tentang pandemi yang belum juga berkesudahan ini. Sesungguhnya, tidak pernah terbetik ide untuk memaparkan pendapatku secara eksplisit tentang tragedi ini, tetapi karena engkau meminta (yang bahkan tidak kuketahui apa alasannya), aku bersedia.

Sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehku bahwa orang-orang yang amat kucintai akan pergi hanya karena kejahatan makhluk mikroskopis. Maksudku, siapa yang menduga kalau dunia modern ini akan dibuat kocar-kacir oleh sebuah makhluk yang amat-sangat kerdil?

Aku mengerti; umat manusia telah beberapa kali mengalami peperangan dengan makhluk mikroskopis. Akan tetapi, kita berada di peradaban modern, Aileen! Kita punya peralatan medis yang jauh lebih canggih ketimbang sebelumnya!

Kendati demikian, alam punya caranya sendiri untuk (sedikit) mengosongkan ruangnya.

Kita seperti berperang dengan pasukan angin. Musuh kita tidak terlihat! Satu kelalaian terjadi, kesempatan hidup terancam bahaya. Dan mereka ... mereka yang sekarang terpejam di bawah tanah, Aileen, telah membuktikan kecemasan itu pada dunia.

Andai mereka tahu bahwa peringatannya diabaikan semua orang, pasti mereka akan bersedih. Mudah untuk dipahami. Dan seperti yang engkau tahu, manusia tidak suka diganggu oleh warta kematian hingga keresahan itu terjadi pada orang-orang terdekatnya.

Kita tidak bisa berbicara tentang satu pihak. Ini beban kita bersama; itulah satu-satunya hal ihwal yang mesti kita sadari bersama. Dan akan kukatakan pada burung finch yang meliuk-liuk di atasku bahwa pada momen inilah, kita tidak akan bisa menemukan satu pahlawan.

Masing-masing orang mesti menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri. Itulah yakinku.

Kita seperti satu bulatan planet yang tersekat oleh ruang hampa, dan kita tidak tahu apa yang salah dengan ruang hampa. Di sana seperti tidak ada apa pun, malah terkesan mengasyikkan sebagai tempat untuk menari-nari dengan leluasa seolah-olah tidak seorang pun yang melihat.

Tetapi, warta kematian terdengar setiap hari. Entah belasan, puluhan, atau ratusan, sebagian dari mereka masih tidak tahu apa makna semua statistik itu selain penjelasan sederhana yang menyakitkan tentang makna melambaikan tangan untuk selama-lamanya.

Lambat laun, para pejuang gugur, yang diperjuangkan turut tersungkur. Jeritan melengking yang acapkali tidak terdengar itu mulai memengapkan ruangan-ruangan berdinding putih, meresahkan siapa pun yang kebetulan berada di sana, dan menggilas harapan-harapan yang membara di setiap jiwa.

Sampai sejauh ini, apa yang telah kita pelajari?

Kini hampir semua orang menanggung kerinduan yang menyesakkan atas peperangan tak karuan ini. Aku memerhatikan tangisan mereka yang teramat sendu hingga beberapa kali membuatku gemetar khawatir. Bukan kematian itu yang membuatku takut, tapi pada perpisahan itulah aku gemetar.

Bagi mereka yang ditinggal mati, kerinduan sudah jelas tidak terobati. Tetapi bagi mereka yang terpisah jarak, kerinduan masih punya peluang besar untuk kandas oleh pertemuan. Hanya saja, pertemuan secara langsung tidak memungkinkan. Dan kita tahu itu.

Barangkali satu-satunya hal yang sekarang menjadi rahasia umum adalah, kita semua merindu.

Merindu pada ombak laut yang hangat dan menenangkan, pada taman bunga beraneka warna yang diselimuti tawa riang anak-anak, pada kesejukan angin pegunungan di kala senja berakhir, pada senyum dia yang dicinta, pada bising perkotaan di hari kerja ...

Aku bukanlah orang istimewa yang hidup di tengah-tengah badai nestapa. Aku juga bagian dari badai itu, yang berarti aku juga turut merasakan kerinduan yang mendalam. Hatiku hanya punya satu gumpalan rasa dan satu tumpuk keinginan. Satu kebutuhan.

Terlepas dari itu semua, pikiranku hanya mampu mengucap satu nama; nama dari seseorang yang tersisa di hidupku. Dan itu berarti, aku memikirkanmu, Aileen. Jika dunia punya satu harta karun yang khusus dipersembahkan untukku, maka yang dimaksudkan dunia adalah engkau, Pria Bajaku!

Bagaimana kalau engkau selesaikan tanggung jawabmu di rumah sakit, dan selepas kemalangan ini berakhir, kita bertemu di taman mungil yang biasa kita kunjungi sewaktu kecil. Jujur, aku tidak bisa bersabar untuk itu. Jika kau punya waktu sejenak, aku ingin engkau memikirkanku juga, Aileen.

Kau tahu, aku menemukan banyak resep baru untuk masakan-masakanku. Saat nanti kita bertemu, aku berjanji akan membawa makanan favoritmu ditambah sebuah hidangan kejutan. 

Bila matahari sedang cerah-cerahnya, aku juga akan membuatkanmu cappucino dingin yang biasa kita nikmati di bawah langit biru jernih.

Harap hati-hati, Aileen! Virus itu tidak pandai memilih korban. Bahkan kalau engkau menyandang gelar pahlawan di negeri ini, engkau tidak punya cukup kekebalan untuk melawannya. Sebuah tragedi selalu mengejutkanmu!

N.B. seekor burung gagak terus menatapku dalam-dalam sejak 30 menit yang lalu.

Email Kedua

Nah, Aileen, kini aku dapat merasakan kehadiranmu di sekitarku tanpa khawatir ini hari apa dan jam berapa. Kutemukan tanda-tandamu dalam setiap hal kecil yang bagi kebanyakan orang terkesan sepele, seperti gemerisik pohon tabebuya atau gugurnya daun-daun birch yang tidak didahului tiupan angin.

Sekarang tidak akan ada lagi jadwal pertemuan yang mesti disetujui; kita senantiasa bertemu setiap saat. Atau dalam arti yang menyedihkan, engkau berada di sekitarku dan luput dari penglihatanku.

Sebenarnya dunia kita sudah berbeda, Aileen. Tetapi sekelumit jiwaku tengah bersemayam dalam kehangatan jiwamu ketika pada hari itu engkau mengucapkan selamat tinggal untuk selama-lamanya.

Dan aku tidak menuntut separuh jiwa mungilku dikembalikan. Biarlah dia ikut bersamamu, berpetualang di dunia yang tidak kukenali sehingga dalam ragaku yang masih hidup ini tertinggal sebuih kelembutanmu sebagai teman setia dalam kedinginan.

Hasilnya, aku mengerti tentang tanda-tanda, Aileen!

Dalam sebongkah bintang Sirius yang gemerlap di kepekatan malam, dalam kepulan awan Strato Cumulus di gemilangnya siang, dalam kicauan seekor burung Finch di ranting pohon ketapang, dalam kepakan sayap kupu-kupu Morpho di akhir senja, bahkan dalam rayuan angin malam di musim gugur ... kutemukan tanda-tandamu.

Sering kali aku harus membaca semua pertanda itu tanpa bersuara agar makna yang engkau sampaikan padaku dapat dipahami. Baru kumengerti tentang keberadaan sebuah bahasa universal yang tidak terpahami oleh kata-kata. Aku menyebutnya Bahasa Jiwa.

Dan jika pikiranku sudah hinggap di tepi batas pengertian, maka kerinduan ini akan mengungkapkan semua intinya.

Kabar gembira, Aileen! Engkau tidak akan pernah lagi mendengar desingan sirene-sirene ambulans yang selama ini menakutkanmu. Tetapi pada hari itu cukup mengejutkan: engkaulah yang mengirim sinyal sirene itu kepada seluruh dunia.

Tidakkah aneh bagaimana kehidupan membalikkan realitas? Sebetulnya tidak. Jika engkau benar-benar mengerti tentang hukum dunia, maka semua yang terjadi di dalam titik biru pucat alam raya ini terkesan normal.

Bahkan pikirku, kehidupan ini punya paradoks yang lucu! Jika hidup suka memberimu kejutan, apa yang bisa dilakukannya saat kita menaruh semua tebakan terbaik kita pada apa yang mungkin akan terjadi?

Dan bagaimana kalau pada detik ini juga kuputuskan bahwa tidak ada sesuatu pun yang akan mengejutkanku, karena semua kemungkinan yang akan terjadi telah kuanggap wajar sebagai bagian dari skenario kehidupan? Akankah kehidupan memberiku kejutan lagi?

Cukup pedih mengingat rencana pertemuan kita di taman mungil itu tidak akan pernah terwujud. Tetapi jika kita cukup beruntung, kita akan bertemu nanti di Taman Firdaus, iya, kan, Aileen? Jangan katakan tidak! Kuharap engkau dapat mengerti tentang perihnya air mataku.

Deru kerinduan yang tiada henti berdenyut adalah salah satu sihir untuk membuat orang paling waras menjadi gila. Dalam keadaan seperti itu, bintang-bintang yang memancarkan sinar gemilang di kepekatan malam pun akan kehilangan nilai keindahannya.

Gelap menjadi sesuatu yang amat ditakutkan saat engkau merindu. Dalam bayanganmu, ketiadaan cahaya itu menandakan kesunyian dan kesendirian yang mencekik kerongkongan; tempat di mana seluruh napasmu mengalir menghidupkan jasad.

Aku masih belum tahu bagaimana caranya merindu dengan benar. Dan yang sesungguhnya terjadi, aku tidak peduli terhadapnya. Aku bisa sengaja merindu hanya supaya bisa menikmati kerinduanku.

Meskipun mengesankan guratan luka, tetapi apa yang disebut rindu juga sama dengan apa yang kusebut cinta, Aileen.

Aneh rasanya saat engkau merindukan seseorang yang bahkan engkau sendiri tidak yakin engkau kenal. Walaupun kita sudah menghabiskan waktu bersama sedari kecil, engkau tetaplah satu keping misteri alam raya yang mesti kupecahkan.

Dan kesempatanku habis! Kini engkau tiada; aku kehilangan satu keping puzzle alam raya, menyusul hilangnya orang-orang terdekatku yang sama-sama dibunuh oleh makhluk mikroskopis.

Dalam banyak momen, kita merindukan tempat-tempat yang belum pernah kita kenal. Bahkan saat ini, aku merindukan perasaan yang begitu asing bagiku.

Bagi kebanyakan orang, rindu adalah perasaan yang paling menyiksa dan emosi yang paling menyengat. Tapi bagiku, rindu adalah kondisi yang tidak masuk akal. Hanya dengan rindu, sesendok gula yang digemari koloni semut terasa pahit.

Semua setengah nada kesadaran jiwa ini menciptakan lanskap yang menyakitkan di dalam diri kita, menengok matahari terbenam  yang abadi dari diri kita yang apa adanya. 

Terkadang dunia tampak begitu kejam pada kita, Aileen! Tetapi seperti yang pernah engkau katakan, "Bumi terasing, dan dia ingin diperhatikan!"

Apa yang mengisi kekosongan di antara detik-detik itu hingga kita merasa cukup kesakitan olehnya? Jika jawabannya adalah jarum-jarum bedah, sepatutnya kita tidak menjahit kebahagiaan kita pada kulit mereka agar keterpisahan ini tidak meninggalkan luka yang mengiris.

Dan andai kata perempuan sebatang kara sepertiku tidak punya lagi seorang teman untuk tertawa bersama, akankah mereka yang telah pergi sudi untuk kembali hanya agar aku bisa tertawa? Mungkin saja mereka sudah terlanjur nyaman dengan dunia baru mereka.

Akan tetapi, kiranya aku tidak memerlukan itu. Dalam email-ku sebelumnya, aku bertanya padamu: apa yang telah kita pelajari sejauh ini? Sekarang aku harus menjawabnya sendiri demi kepuasanmu dan kebahagiaanku.

Biar kujelaskan dengan sederhana atas segala kerendahan hati dan rasa hormatku terhadapmu bahwa dari tragedi yang pelik ini, aku belajar tentang siklus abadi kehidupan.

Kita pernah membicarakan ini, bukan? Dan baru kusadari sekarang, semua perkataanmu mengandung kebenaran.

Manusia terjatuh ke dalam siklus abadi kehidupan yang tidak bisa ditentang oleh raja mana pun. Setiap orang akan terlahir ke dalam sebuah dongeng akbar yang pada mulanya masih asing, hingga seiring waktu, kita terbiasa.

Tetapi terbiasanya kita dengan kehidupan tetap saja tidak mampu membangun cukup kekuatan untuk sepenuhnya memahami dunia. Atau kemungkinan besarnya, kekuatan itu memang tidak ada.

Ini mengingatkanku pada permainan labirin: saat kita sepenuhnya yakin dalam memilih arah, labirin selalu punya jalan buntu untuk menggoyahkan gairah kita.

Jika kita tidak memahami aturan semacam itu, kita akan selamanya terperosok ke dalam samudra air mata dari kenestapaan. 

Berharap bahwa dunia akan menjadi tempat yang sempurna untuk manusia amatlah naif; justru semua kemalangan inilah yang menyempurnakan dunia!

Kita bertemu (hanya) untuk merasakan betapa pedihnya kisah perpisahan. Kita terlahir (hanya) untuk merasakan betapa sedihnya mengalami kematian. Kita sempat dekat (hanya) untuk merasakan betapa pilunya perasaan rindu.

Kita mengalami banyak kehadiran (hanya) untuk merasakan betapa dukanya rasa kehilangan. Kita dititipkan kesehatan (hanya) untuk mengerti betapa repotnya jatuh sakit. Kita dianugerahi tawa (hanya) untuk mempelajari betapa gundahnya bersedih hati.

Pada suatu waktu, kita mencintai, dan di waktu kemudian, kita membenci. Pada suatu ketika, kita merasa aman, dan di waktu kemudian, kita merasa terancam. Pada suatu masa, kita sempat mengenal, dan di waktu kemudian, kita merasa asing.

Kita masuk ke dalam dimensi ruang dan waktu hingga pada akhirnya, kita akan tercerabut dari keduanya.

"Semua itu adalah siklus abadi kehidupan," katamu dengan sedikit terisak pada malam pertengahan Juni. Aku tahu sejak awal bahwa kau benar, Aileen, tetapi baru sekarang aku berani mengungkapkannya. Saat itu aku terlalu takut; amat takut!

Ketika hampir semua siklus itu sudah kualami satu per satu, aku tidak akan pernah ragu lagi untuk menganggukkan kepala padamu, Aileen. Hanya saja, aku terlambat.

Orang-orang mesti tahu siklus yang kau bicarakan agar mereka turut mengerti sepertiku bahwa planet ini bukan sekadar batu biru raksasa yang melayang-layang kesepian di ruang hampa. Batu ini hidup! Nyawa dunialah yang membuat siklus abadi itu ada.

Andaikan umat manusia mengerti, aku yakin mereka akan tersenyum pada bintang-bintang di setiap malam sebagaimana aku (sudah) melakukannya. Tuhan telah berbaik hati memberiku pembelajaran semelimpah ini, hingga aku sendiri tidak tahu caranya berterima kasih lewat kata-kata.

Sekali lagi, kau benar, Aileen: hidup ini indah ketika berjalan sebagaimana mestinya. Segala macam ramalan manusia membuat hidup kehilangan daya tariknya. Aku lebih senang Tuhan yang mengatur segalanya sehingga aku sendiri bisa menemukan kehadiran-Nya dalam setiap detik yang kuhabiskan.

Jangan katakan bahwa alam ini bukan sebuah mukjizat! Jangan katakan bahwa dunia ini bukan sebuah dongeng! Siapa pun yang tidak menyadari itu, mungkin tak pernah benar-benar mengerti hingga dongeng itu hampir selesai.

Diamlah! Diam! Lihat aku! Hidup ini tidak mudah, hidup ini tidak sulit. Ia mengasyikkan dan indah!

Malam ini aku mencintaimu dengan cara yang belum engkau ketahui, Aileen. Aku tidak perlu letih menempuh jarak atau tenggelam dalam sepongah harapan akan kehadiranmu. 

Aku telah menundukkan cintaku padamu dan mengubah cintaku padamu sebagai unsur pembentuk diriku. Kumohon pahamilah aku.

Dalam setiap gerakan alam semesta, kutemukan tanda-tandamu, Aileen. Kematian itu tidak ada! Yang ada hanyalah bentuk kesadaran baru yang masih asing bagiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun