Mereka punya pemikiran bahwa hidup ini, tak lain dan tak bukan, adalah sesuatu yang selalu ambyar; membuat mereka was-was tak jelas, hingga melancarkan serangan pada sesuatu yang tidak mengancamnya.
Dalam hubungan-hubungan yang kita jalin dengan orang lain, sikap "mencari-cari pipa yang bocor" punya ciri khas dalam memainkan perannya. Pertama-tama Anda bertemu dengan seseorang yang baru (misalnya), kemudian Anda merasa nyaman dengannya.
Penampilannya, kepribadiannya, selera humornya, kecerdasannya benar-benar membuat Anda nyaman terhadapnya. Jika Anda memiliki sikap "mencari-cari pipa yang bocor", Anda akan senantiasa merasa curiga terhadapnya.
Apakah dia yang aku ketahui benar-benar dia? Bagaimana jika dia hanya berpura-pura selama di depanku? Bagaimana jika hatinya itu adalah sarang iblis-iblis mengerikan yang bermukim? Ah, dia pasti punya kelemahan yang tidak bisa aku terima!
Sikap semacam itu, pada akhirnya, tidak membuktikan apa-apa selain ketakutan Anda sendiri yang perlahan membakar seluruh jiwa Anda.
Tapi ada yang lebih menarik.
Jika memang kecurigaan Anda itu benar, artinya hubungan Anda dengannya akan hancur. Dan itu sama saja dengan membuat diri Anda sendiri kesepian. Atau jika kecurigaan Anda itu tidak terbukti, Anda tetap akan tidak nyaman terhadapnya dan begitu pun dia.
Ujung-ujungnya sama saja bahwa hubungan Anda berdua ... kandas dengan sia-sia.
Anda benar, bersiap siaga menghadapi sesuatu yang tidak diharapkan merupakan bagian dari sikap mulia. Tapi jika air di rumah Anda mengalir dengan lancar, untuk apa Anda mencari-cari pipa yang bocor? Nah, itu.
Mengapa kita suka mencari-cari kesalahan orang lain?
Agar dapat menghindari jurang pencarian kesalahan, kita mesti tahu faktor apa saja yang membuat kita begitu menyukainya (tanpa disadari). Sekurang-kurangnya, saya menemukan 5 alasan.
Ingin dianggap kritis
Mencari-cari kelemahan orang lain tak ada gunanya selain hanya akan benar-benar mendefinisikan kita sebagai seseorang yang butuh dianggap kritis (seperti yang teman saya lakukan).