Kepekatan malam mulai menggeser langit jingga yang sedari tadi menghibur kami. Si Kecil telah kusuruh untuk masuk ke dalam, karena angin malam sudah menyengat kulit mereka yang punya kebesaran jiwa dalam menghadapi prahara kehidupan.Â
Pohon-pohon yang tidak semua kuketahui apa jenisnya itu telah lama berhenti bergoyang seakan berani melawan siulan angin yang sewajarnya menggerakkan mereka.
Jangan kau kira sehelai daun yang gugur itu tidak punya perasaan. Aku khawatir mereka punya mata super-mungil yang berkaca-kaca ketika engkau menginjaknya dengan sengaja.Â
Tidakkah kau mengerti bahwa alam ini juga bernyawa dan bukan sekadar mesin otomat?
Di tengah kemelut sekitar yang mulai padam, seekor elang raksasa tiba-tiba melintas di atasku seperti sedang membelah langit senja yang hendak tenggelam.Â
Teringat dengan Si Kecil, aku turut bergegas untuk memberi nama elang itu dengan sepenggal namaku agar aku bisa merasuki separuh jiwanya dan merasakan terbang yang lama, menatap hamparan daratan dari batas angkasa yang tawar.
Ternyata dunia ini begitu indah, Galaksi Mungilku. Siapa pun yang menganggap semua ini sebagai bencana, mereka adalah orang-orang yang kejernihan matanya telah binasa.Â
Sesekali mereka perlu menutupkan matanya, dan membiasakan diri untuk melihat dengan mata hati; meresapi keagungan alam semesta yang tak terperi keanggunannya, serta menyelami kesyahduan hidup yang tidak mampu tersingkap oleh mata biasa.
Tetapi jika mata hatinya juga telah buta, aku sedikit cemas untuk mengajarkan mereka melihat dengan kedua telinganya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI