Lantas kedua mata cokelatnya berputar meliuk-liuk mengikuti ke mana terbangnya burung itu. Hewan bertulang belakang dan bersayap itu seperti sedang mempermainkan Si Kecil dengan bulu-bulunya yang lembut dan kemampuannya untuk menggeliang di langit yang tanpa batas.
Sekali lagi aku bertanya pada Si Kecil, "Apa yang kau ketahui tentang burung?"
Dia berbicara dengan bahasa yang aneh; perkataan yang tidak bisa kumengerti sedikit pun. Nada bicaranya seperti sedang bertanya, dan sekarang aku sangat kebingungan karena tidak tahu harus menjawab apa padanya.Â
Dia terus bertanya, dan semakin lama semakin ruwet. Di samping ketidakjelasannya dalam berbicara, aku dapat merasakan kepolosannya dan kebersihannya dalam memandang alam semesta.
Aku pikir, tidak ada bahasa terindah di dunia ini selain bahasa bayi. Mereka punya perkataan yang jujur tentang perasaannya; sesuatu yang dunia butuhkan di tengah kearoganan manusia.Â
Bahasa mereka menggambarkan perasaan yang sangat murni melebihi tangisan mereka sendiri ketika terlahir.
Ya, bahasa bayi itu indah! Justru karena aku tidak mengerti, mungkin mereka mengatakan sesuatu yang sangat penting dengan penyampaian yang puitis.Â
Bagaimana kalau mereka tahu seluk-beluk rahasia alam semesta dan berusaha membocorkannya dalam bahasa yang tidak dimengerti orang dewasa sepertiku? Bagaimana kalau demikian adanya?
Kemudian bahasa mereka beralih pada bahasa orang tuanya yang membuat semua ingatan mahal itu terasingkan dalam kenangan masa kecil yang tidak bisa diungkit kembali. Ya, bagaimana jika begitu?
Dalam kebisingan deru-deru penduduk sekitar, pikiranku membicarakan sesuatu yang lain. "Si Kecil merelakan penggalan nama indahnya untuk dicuri seekor burung yang licik.Â
Itu berarti, burung itu memiliki separuh jiwa dari Si Kecil, sehingga yang kulihat sedang melayang tanpa beban itu adalah juga Si Kecil dalam wujud lain."