Seorang anak berusia tiga tahun memang perlu pengertian yang lebih mendalam agar dia bisa merasa nyaman dengan dunia yang bising ini.Â
Akan tetapi, kadang-kadang otak mungilnya itu perlu disentil oleh fakta-fakta muram tentang kehidupan. Jika tidak, dia tidak akan pernah menjadi dewasa.
Dan itulah yang kulakukan.Â
Dalam senja yang damai ini, kutunjukkan padanya dengan tegas akan keberadaan awan-awan biru yang memudar ditelan angin petang.Â
Di sana juga terdapat kehidupan yang teramat kompleks, sehingga siapa pun yang mengabaikan itu tidak akan pernah mengerti bahwa manusia bukanlah satu spesies yang istimewa di halaman mungil alam raya ini.Â
Acapkali, orang-orang demikianlah yang kemudian gemar menunjukkan keangkuhannya. Tetapi di mata para penakluk dunia, mereka tidak lebih dari kepulan asap keserakahan yang patut dikasihani lewat kekosongan kata-kata.
Si Kecil duduk di pangkuanku dan jari telunjuknya menunjuk pada sebuah pohon birch yang tinggi. Dia bilang, "Apa nama burung itu?"
Sejenak aku memburamkan pandanganku ke atas ranting itu, tetapi dalam pengamatanku, tidak ada seekor burung pun yang bertengger di sana. Entah burung itu sudah terbang, atau memang Si Kecil bisa melihat sesuatu yang tidak bisa kulihat.
Jadi kukatakan saja, "Cobalah kau beri nama burung itu, maka dia akan menjadi milikmu selamanya, tidak peduli seberapa jauh dia terbang menghindarimu."
Dia berpikir sejenak, lalu berseru, "Nayra!"
Sontak aku terperanjat dari dudukku dan menatap mata mungilnya lama sekali. Aku tidak menyangka sedikit pun bahwa dia akan mengutip penggalan namanya sendiri untuk menamai burung asing itu. Memangnya peduli apa burung nakal itu terhadap Si Kecil?