Senin senja, 28 Juni 2021
Seekor kupu-kupu kuning terbang di atas rerumputan tua yang basah, menyungkup pandanganku dari langit biru merona yang tampak asing.Â
Menurut ramalan, hujan tidak akan mengguyur daratanku. Tetapi, apa yang bisa kita percaya dari sebuah ramalan selain hiburan kata-kata manis yang memuaskan kerakusan ego manusia?
Nun jauh di sana, kawanan burung hitam juga sedang memainkan atraksi sirkusnya, terbang melingkar-lingkar seperti mencari sesuatu yang penting, menghibur mereka yang tidak peduli dengan kepongahan perjamuan si tikus penguasa gubuk.Â
Mereka tampak sedang membicarakan sesuatu yang menyenangkan.Â
Tiba-tiba terbetik ide bahwa aku ingin menjadi salah satu dari mereka hanya untuk sekedar tahu bagaimana rasanya membicarakan kejanggalan teater alam raya dalam keadaan melayang di tengah-tengahnya. Pasti meriangkan hati!
Si Kecil datang mengusik ketenangan getirku. Katanya beberapa jam yang lalu, dia jatuh tersungkur ke hamparan aspal yang panas hingga telapak tangannya luka berdarah.Â
Aku yakin dia tidak mengerti, tapi luka yang ditunjukkannya padaku benar-benar luka sobek yang pelik sampai rasa kepedihan itu mampu mendidihkan aliran darah tanganku yang kaku. Lantas aku bertanya, "Apakah saat itu kau menangis?"
Dia mengangguk mantap dengan tatapan lembut yang meminta rasa iba pada siapa pun yang melihatnya.Â
Tentu aku turut bersimpati, malahan aku melanjutkan, "Menangislah lagi! Satu tangisan sering tidak bermakna apa pun, kecuali citra kecengengan yang teramat malang. Tangisan yang kedua selalu punya makna yang lebih dalam, aku berjanji."
Si Kecil hanya terdiam dengan kepala yang tegak lurus seperti hendak memaki. Aku tertawa pelan sembari mengusap rambutnya yang baru tumbuh sedikit.Â