Lima tahun telah berlalu dan selama itu pula kita berpisah. Dapat kusampaikan di sini bahwa dalam masa yang panjang itu, aku tak dapat melupakanmu dengan segala kenangan yang terukir. Terkadang, kenangan itu cukup menyakitkan untuk diungkit kembali.
Surat darimu telah kuterima dari seorang tukang pos yang menyunggingkan senyum aneh. Dia datang mengusik ketenangan senjaku di tengah gerimis hujan yang dingin.
Amplop yang dibawanya sedikit basah, tidak peduli seberapa kerasnya dia berusaha menutupi amplop itu dengan plastik.
Dia mengenakan jas hujan berwarna hijau-abu. Katanya alamat rumahku sulit dicari karena tidak tercantum nomor rumah. Dan dia benar, aku sengaja melepasnya dari depan pintu. Ternyata menjadi orang asing itu menyenangkan, Kawan.
Beberapa kalimat tidak bisa kubaca dengan jelas karena luntur bersama tetesan hujan. Aku harap tidak ada salah paham dalam penafsiranku, sebab suratmu itu mengandung kabar "kemenanganmu" atas dunia. Dan itu mengejutkanku.
Engkau katakan padaku, "Aku telah menaklukkan dunia dengan lari darinya. Aku hidup!"
Aku tak bisa percaya bahwa dunia punya papan khusus untuk mencantumkan nama pemenang. Ada banyak hal yang membuatnya demikian. Dan aku lebih senang mengatakan itu sebagai kewajaran, dan tidak sepatutnya dunia ini memiliki seorang pemenang atau penakluk.
Sekarang, jika kurenungkan kembali kata-kata itu, dadaku terasa sesak. Padahal aku tengah duduk di teras rumah bermandikan sinar mentari yang hangat. Gumpalan awan putih di atasku itu demikian megah hingga aku sendiri ingin melayang di dalamnya.
Secangkir cappucino-ku hampir dingin tertiup angin yang lembut. Akan tetapi, udara di sekitar hidungku terasa kasar dan tajam. Aneh rasanya. Dan menyakitkan. Setiap kali seruanmu terngiang dalam pikiranku, seluruh darah-darahku terasa mendidih.
Aku pikir tidak bisa begitu, Kawan. Engkau tidak bisa mengalahkan dunia hanya dengan lari darinya! Sebab tidak peduli engkau berada di sudut mana pun yang paling gelap, dunia selalu ada dalam dirimu! Di sanalah engkau mencari kehangatan!
Kita turun ke muka bumi di tengah-tengah peradaban yang kacau. Tidak seorang pun yang dapat mengerti bagaimana roda nasib bekerja. Mungkin lari menjauh darinya terdengar logis dan sederhana. Tapi, tidakkah para pengecut juga melakukan itu?
Aku mengerti, engkau tertimpa oleh kemiskinan tanpa diberi pilihan. Memangnya siapa di dunia ini yang punya kuasa untuk memilih rahim yang akan melahirkannya? Tentu kondisi itu bukan salahmu, dan juga bukan salah siapa-siapa.
Hanya saja, sulit bagi akalku untuk menerima alasanmu yang terlalu sempit. Manusia terlahir dengan misi yang sama, bukan? Sebelum kita berpisah  di batas ladang anggur Paman Baron, engkau berteriak, "Hidup kita mesti dikendalikan oleh tujuan penciptaan!"
Tetapi apa tujuan itu? Sartre bilang, manusia dikutuk untuk bebas. Dia yakin bahwa manusia diciptakan tanpa membawa misi apa pun, dan karenanya kita punya kebebasan untuk menentukan hakikat kita sendiri.
Aku tidak menganggukkan kepalaku atas itu. Aku sangat yakin bahwa kehidupan ini punya makna universal yang mesti dicapai setiap orang. Jelas aku bukan seorang fatalis, tetapi makna kehidupan ini haruslah ada agar penciptaan manusia bisa diterima secara rasional.
Apa makna yang satu itu? Entah. Mengapa kita harus berpusing-pusing dengannya? Menurutku, pendapat Sartre memantik kobaran api yang membakar semangat orang-orang supaya membentuk dirinya sendiri dan tidak menyerah pada takdir.
Dia sendiri menganggap kebebasan sebagai beban, sebab kebebasan mengimplikasikan tanggung jawab. Akan tetapi, apa jadinya manusia tanpa kebebasan? Aku tidak bisa menerima perumpamaan para fatalis bahwa manusia sama seperti wayang yang dikendalikan seorang dalang.
Aku setuju denganmu, Kawan: hidup kita mesti dikendalikan oleh tujuan penciptaan. Di samping ketidaktahuan kita soal tujuan itu, mengapa kita tidak hidupi saja dunia ini dengan kreasi kita sendiri, sebab kebebasan yang tertimpa pada kita tidak sepatutnya disia-siakan.
Pendapat Sartre mengandung setitik kebaikan. Agar bisa eksis di tengah kegaduhan manusia, engkau mesti berbuat sesuatu yang mengguncangkan peradabanmu.Â
Jika tujuan yang satu itu terlalu abu-abu, kita mesti menciptakannya sendiri sebelum raga tercerabut dari waktu.
Aku benci orang-orang yang menyerah pada takdir! Aku cinta mereka yang memberontak hingga batas mereka. Lewat ketegarannya menerima nestapa, mereka menciptakan medan juangnya sendiri dengan keringat dingin yang menyelimuti pelipisnya.
Apa yang kau tunggu, Kawanku? Kejarlah apa yang kau inginkan di dunia ini! Engkau mengerti aturannya bukan? "Gapailah apa pun yang dapat membahagiakanmu, dengan syarat, engkau tidak boleh ketergantungan terhadapnya."
Dalam kucuran keringat hangatmu itu, misi kemanusiaan mesti senantiasa dibawa dalam kantong sakumu. Aku tidak tahu lagi apa yang lebih pantas dari itu. Belakangan ini, manusia lebih suka menguap omong kosong daripada perbincangan kemanusiaan.
Tentu engkau harus menjauh dari tragedi itu! Aku ingin kau berada di pihakku sekarang!
Engkau juga berkata padaku, "Hidupku teramat sederhana. Karenanya aku tidak memiliki apa pun. Aku hanya hidup; hanya hidup."
Kembali kurenungkan kalimatmu yang demikian singkat itu. Setelah lama aku berpikir, keyakinanku berucap bahwa kemenangan yang kau klaim secara mutlak itu hanyalah bagian dari kesembronoanmu dalam mengambil kesimpulan.
Hidup saja tidaklah cukup; begitulah yakinku.
Sesuatu yang hidup dicirikan dengan bernapas, bergerak, tumbuh, berkembang biak, peka terhadap rangsangan, beradaptasi, makan, dan mengeluarkan zat sisa. Tapi tumbuhan dan hewan juga melakukan itu semua, bukan?
Aku tidak suka seorang kawanku menyandingkan dirinya sejajar dengan kerbau atau burung beo!
Sekadar hidup saja di dunia yang murung ini sama seperti menyembunyikan kartu AS di balik mantel hangatmu! Engkau tidak bisa menyangkal potensimu sendiri sebagai manusia yang pada hakikatnya melebihi daya nabati ataupun hewani.
Katanya, manusia adalah hewan berpikir. Tapi lebih dari itu, aku juga yakin bahwa manusia diberi hak istimewa untuk menyadari kehidupannya sendiri melampaui kemampuan bernalar.Â
Kita bisa mempertanyakan eksistensi kita sendiri, Kawan! Bayangkan betapa hebatnya itu!
Maka sekadar hidup saja tidaklah cukup untuk bisa menaklukkan dunia seperti yang kau inginkan. Meskipun aku sendiri ragu bagaimana cara menaklukkan dunia, tapi sekurang-kurangnya jangan menjadi beban dari dunia yang pada dirinya sendiri sudah melekat banyak beban.
Aku pikir sudah saatnya engkau menciptakan dirimu sendiri yang khas, sebab setiap orang yang terjatuh ke dunia dianugerahi keunikannya tersendiri. Hanya dengan menjadi uniklah, manusia telah berusaha untuk menjadi apa adanya.
Terkadang kau harus mengabaikan orang lain untuk membentuk dirimu sendiri yang apa adanya. Jadi tidak apa-apa untuk sejenak mengacuhkan sekitar.Â
Meskipun tidak ada jaminan mereka akan mengerti, tetapi ada kepastian dari hasil yang tengah menanti pemberontakanmu.
Setiap hari adalah kertas kosong yang mesti diisi oleh sebuah pena. Dan satu-satunya pena yang kau miliki adalah dirimu sendiri, Kawanku! Hidupmu akan begitu matang dengan mendayagunakan potensi dan kemungkinan yang tak terbatas.
Hanya dengan kreasilah hidupmu dipenuhi hujan geranium.
Sama sekali tidak ada gunanya untuk menyesalkan masa lalu atau menyalahkan genetika yang menimpamu dengan bengis. Satu-satunya yang mesti kau tahu adalah, tidak ada sesuatu pun yang dapat mendefinisikan dirimu selain dirimu sendiri.
Jangan menilai dirimu berdasarkan kekuasaan, jabatan, kehormatan, atau kekayaan yang kau raih, tetapi nilailah dirimu sendiri berdasarkan hal-hal yang kau ciptakan sendiri. Begitulah aturannya!
Hidupmu tidak bergantung pada siapa pun, kecuali yang satu. Jadi berhentilah mencari dirimu dan mulailah ciptakan dirimu sendiri. Aku patut mengulanginya sekali lagi padamu, bahwa sekadar hidup saja tidaklah cukup!
Demi siapa engkau membentuk dirimu sendiri? Demi kebahagiaanmu, Kawan! Segala sesuatu yang ada di dunia ini punya potensi tersendiri untuk membuatmu bahagia. Hanya dengan menghargainyalah, engkau mendapatkan kebahagiaanmu sepanjang waktu.
Pembicaraanku di sini bukan untuk menghakimi pendapatmu tentang penaklukan dunia yang kau klaim. Aku mencintai penilaianmu yang jauh lebih berharga daripada huru-hara kerumunan manusia.
Sergahanku ini tidak lebih dari pengayaan opinimu sendiri di surat yang kau tuliskan untukku setelah lima tahun berlalu. Aku merasa yakin bahwa kehangatan itu tidak akan hilang hingga bintang Antares (yang kini sedang sekarat) meledak dalam supernova.
Tapi, tidak ada jaminan. Kau tahu itu.
Jika keadaan memungkinkan, kita akan segera bertemu lagi. Mungkin di waktu itu, di antara kita berdua tidak akan ada lagi persahabatan.
Engkau telah melupakanku atas pelarianmu dari dunia, dan aku tengah sempoyongan bersama kebahagiaan yang memabukkan di dalam batu yang melayang ini. Besok segalanya akan berlalu.
Yang belum terjangkau oleh penaklukanmu adalah, keyakinanku sendiri atas keberadaan tujuan penciptaan. Aku tidak akan menyerah untuk itu. Bahkan ketika kemenanganmu amat menggoda, aku tidak akan melepaskan roda kemudiku demi alasan apa pun.
Kini aku lebih dekat denganmu di samping keterpisahan jarak. Tetapi dalam kesempitan ruang yang kita bagi bersama nanti, mungkin kabut-kabut permusuhan akan menyesakkan kerongkongan kita masing-masing.
Aku akan menunjukkan padamu tentang kebesaran pemberontakanku untuk melucuti pelarianmu. Keberanian macam apa yang kau kagumi hingga demikian yakinnya akan keputusanmu itu? Sebaliknya, aku mengagumi keberanian seorang pemberontak!
Sekadar hidup saja tidaklah cukup; pengulangan untuk ketiga kalinya selalu bagus untuk menutup sebuah surat.
Jadi, angkat topi Anda, Tuan-tuan! Seorang penakluk dunia telah menyerukan kemenangannya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H