Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jadilah Orang Awam yang Baik!

14 Juni 2021   14:37 Diperbarui: 14 Juni 2021   14:47 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjadi orang awam itu tidak bisa sembarangan | Ilustrasi oleh Sabrina Eickhoff via Pixabay

Dalam banyak hal, kita tidak tahu apa-apa. Tidak peduli secerdas apa pun seseorang, dalam hal tertentu, dia tetap orang awam. Kita tidak tahu sebanyak yang kita pikirkan. Ketika diuji, kebanyakan dari kita tidak bisa menjelaskan cara kerja hal-hal yang kita pikir kita pahami.

Coba temukan benda-benda di sekitar Anda dan jelaskanlah bagaimana benda tersebut bekerja. Besar kemungkinan, Anda akan menemukan kesenjangan yang tidak terduga dalam pengetahuan Anda.

Hal terpentingnya adalah, mengetahui "produk" bukan berarti memahami "produk". Kita tahu bagaimana rupa samudra jika dilihat dari permukaan, tetapi kita tidak begitu tahu apa yang ada di dalamnya.

Inilah yang kemudian banyak dilakukan orang-orang. Mereka sekadar tahu permukaannya, tetapi mereka berkomentar tentang kedalamannya. Mereka hanya tahu rupa dan kegunaan kulkas, tetapi mereka malah mengomentari cara kerja dari mesin kulkas. Iya?

Belakangan ini, media sosial telah membantu demokrasi dalam mewadahi kebebasan berpendapat. Tentu ini bagus, sekaligus mengerikan. Kita melihat hampir semua orang menyuarakan pendapatnya di kolom komentar terkait hal apa pun.

Akan tetapi, apakah mereka semua benar-benar mengerti tentang sesuatu yang mereka suarakan? Mirisnya, tidak. Maksud saya belum tentu, karena jika kita cermati, kebanyakan dari pendapat mereka tidak relevan. Atau teman saya yang sarkas akan bilang, "Omong kosong!"

Pada akhirnya, kondisi demikian menyebabkan kerancuan dan perselisihan yang tidak berujung. Bukannya memulihkan konflik, pendapat yang mengawang-ngawang malah bisa menyebabkan chaos yang berkepanjangan.

Ini menjadi sebuah arus yang mematikan: orang awam mengomentari sesuatu yang tidak dipahaminya, kemudian dibaca oleh orang awam lainnya dan pendapat itu dipercaya sebagai kebenaran, lalu orang awam itu turut membagikan keabu-abuan itu, dan dipercaya lagi oleh orang awam lainnya.

Siklus itu akan mulai membentuk jembatan yang panjang dan rapuh, sehingga siapa pun yang masuk ke dalamnya akan terjatuh ke jurang kesesatan.

Pada titik ini, kita mesti sadar bahwa dalam banyak hal, kita adalah orang awam.

Sederhananya, orang awam adalah orang biasa yang bukan ahli dalam suatu hal. Di sini kita mesti membuang asumsi bahwa orang awam adalah orang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Pada hakikatnya, setiap orang selalu bodoh di permulaan.

Orang awam dan kebebasan berpendapat

Saya tahu, ketika saya mengatakan "jangan mengomentari sesuatu yang tidak Anda kuasai", pasti ada pihak yang membalas, "Ah, kita semua punya kebebasan untuk berpendapat." Betul sekali, Tuan/Nyonya.

Mungkin Anda akan menunjukkan pasal 28 UUD 1945 kepada saya, dan saya pun akan dengan senang hati menganggukkan kepala. Tapi, Anda terlalu cepat menyimpulkan.

Jika Anda mengambil hak Anda untuk bebas berpendapat, maka Anda pun harus menyadari bahwa di balik pengambilan hak itu juga ada kewajiban yang mesti Anda emban. Adalah kewajiban Anda untuk menyampaikan kebenaran.

Ketika Anda mengomentari sesuatu yang tidak Anda pahami dan tidak terjamin kebenarannya, Anda telah melanggar hak orang lain untuk memperoleh kebenaran. Dengan kata lain, Anda telah mengabaikan kewajiban Anda sendiri dalam menyampaikan kebenaran.

Seperti dalam pasal 28J (1) UUD 1945, "Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara."

Dalam ayat berikutnya dijelaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan, kita wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang untuk menghormati dan menjamin hak dan kebebasan orang lain.

Jadi kalau Anda tetap bersikukuh ingin mengomentari sesuatu dengan mengawang-ngawang, sebenarnya Anda tidak berhak untuk itu. Dengan alasan yang berdasar, Anda telah mengabaikan hak orang lain dan kewajiban Anda sendiri.

Aturannya jelas: jika Anda mengabaikan kewajiban Anda sendiri, maka Anda pun tidak mendapatkan hak Anda. Ini seperti ketika Anda meminta fasilitas publik yang layak kepada pemerintah, padahal Anda sendiri tidak pernah membayar pajak.

Anda tidak berhak meminta kembalian kalau Anda belum membayar apa pun atas itu.

Apakah ini berarti orang-orang awam mesti diam sepenuhnya? Tidak juga. Pada kasus tertentu, orang awam dianjurkan untuk berkomentar dan bersuara, seperti dalam pemilu atau pilkada. Dan tidak dilarang juga untuk berpendapat terhadap sesuatu.

Akan tetapi, ada moralitas yang wajib dipatuhi; ada etika dalam pelaksanaannya. Contoh, akhir-akhir ini sedang ramai penetapan pajak pada sembako. Jika memang kebijakan tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan Anda, silakan bersuara dengan cara yang baik.

Anda bisa mengawali pendapat Anda dengan disclaimer semacam "ini menurut pendapat saya dan bisa menjadi pertimbangan", atau "dalam sudut pandang saya sebagai masyarakat kelas bawah, kebijakan ini ...", atau "sepanjang yang saya tahu" dan sebagainya.

Dengan begitu, orang-orang yang membaca atau mendengar pendapat Anda bisa tahu lebih awal bahwa itu adalah sebuah pendapat dan perlu dipertimbangkan kembali kebenarannya.

Dan itu bagus, maksud saya dalam hal kebijakan publik, berpendapat itu bagus karena kebijakan itulah yang kemudian akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup kita. Sekurang-kurangnya, pendapat kita dapat menjadi masukan pada mereka.

Tapi menjadi buruk jika pendapat kita disampaikan secara kasar dan mencaci, seolah-olah apa yang kita katakan adalah kebenaran mutlak. Sebab jika demikian, kita telah menghancurkan keindahan demokrasi yang selama ini kita impi-impikan.

Seni menjadi orang awam

Menjadi orang awam itu tidak bisa sembarangan. Mengingat lebih banyak jumlah orang awam ketimbang orang yang ahli, kita mesti tahu bagaimana cara menjadi orang awam yang baik. Seperti kata pepatah, "Kalau tidak bisa berbuat baik, setidaknya jangan berbuat buruk."

Mengapa ini penting?

Kebanyakan dari sering sok tahu terhadap sesuatu. Kebiasaan ini menjadi buruk karena bisa menimbulkan kesalahpahaman yang meluas. Beberapa dari kita juga begitu mudah tergoda untuk ikut menanggapi segala perkara.

Alasannya ingin dianggap sebagai orang kritis, padahal aslinya amatlah krisis. Kita punya naluri untuk meningkatkan citra diri sehingga menanggapi berbagai persoalan menjadi topeng dalam panjat sosial.

Kita juga cenderung terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan. Ketika suatu persoalan begitu hangat, kebanyakan dari kita segera menyimpulkan bahwa si A salah dan si B benar. Nyatanya, mereka tidak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi.

Pada akhirnya, sarana berpendapat seperti media sosial malah menjadi ajang penghakiman dan cacian.

Perlu kemampuan tertentu untuk menjadi orang awam yang baik. Jadi, inilah seni menjadi orang awam (versi saya).

Akui ketidaktahuan

Pijakan pertama untuk menjadi orang awam yang baik adalah menyadari batasan pengetahuan kita. Kesadaran ini datang sebagai wujud kerendahan hati dalam mengakui batasan kita sebagai manusia.

Dalam kata-kata Socrates, "Orang yang paling bijaksana adalah orang yang mengetahui bahwa dia tidak tahu."

Kemampuan inilah yang pada akhirnya mencegah kita untuk menjadi sok tahu. Mereka yang mengakui ketidaktahuannya cenderung diam ketika berhadapan dengan sesuatu yang tidak dipahaminya.

Orang-orang semacam ini akan berkata dengan secukup-cukupnya, sebab mereka sendiri sadar betul di mana letak batasannya. Mereka tidak melampaui batas, mereka hanya memaksimalkan apa yang belum terbatas.

Pengakuan akan ketidaktahuan juga berarti bersikap terbuka pada segala pengetahuan. Ketika saya tidak tahu apa-apa soal permesinan, tentu saya mesti terbuka dengan apa yang dikatakan seorang teknisi mesin.

Keterbukaan inilah yang kemudian membedakan antara orang tidak tahu dengan orang bodoh.

Tidak tahu itu bukan bodoh, tapi belum tahu. Tapi dapat disebut bodoh jika dia tidak tahu dan tidak ingin tahu.

Percaya pada ahli dan percaya sementara pada sesama awam

Katakanlah Anda sedang sakit dan pergi ke dokter. Kemudian Anda diberi resep obat, tetapi Anda bukan seorang ahli di ilmu kedokteran. Apakah Anda harus percaya dengan resep obat itu? Tentu, sebab dokter itu memang ahli di bidangnya.

Dalam kasus ini terlihat jelas bahwa sebagai orang awam, kita bisa mendapatkan petunjuk dari mereka yang memang ahlinya. Tetapi lain persoalan kalau yang berpendapat juga sesama orang awam seperti kita. Apa yang sebaiknya dilakukan?

Saran saya, anggukkan saja kepala Anda dan tahan untuk membantah. Meskipun Anda sangat meragukan pendapatnya, mungkin dia juga benar pada satu titik.

Jadi daripada menimbulkan konflik dan perdebatan yang memanas, tunda kesimpulan dan Anda dapat merenungkannya di lain waktu.

Masalah terbesarnya adalah, perdebatan antara sesama orang awam tidak akan menghasilkan kesimpulan yang valid. Tidak ada yang salah dengan bertukar pendapat, tapi jadi keliru ketika hasil akhirnya malah pertikaian.

Tidak apa-apa untuk membiarkan pihak lain menjadi benar. Jika mereka pada dasarnya keliru, waktu akan menunjukkan kebenaran sejati pada mereka. Tentu dengan usaha kita juga untuk mencari kebenaran itu. Jika bukan kita, siapa yang akan menyadarkan mereka?

Tidak cerewet dan cukup bertanya sampai batasnya

Ah, kita mudah menemukannya di kolom-kolom komentar media sosial. Biasanya hal sesepele apa pun akan banyak ditanggapi sebagai wujud untuk eksis di tengah kegaduhan. Kenyataannya, banyak di antara mereka yang hanya cerewet dengan omong kosong.

Kesalahan terbesar orang awam adalah ketika mereka cerewet terhadap persoalan yang sebenarnya tidak dipahaminya sama sekali. Dan kemuliaan orang awam adalah ketika mereka tersenyum dan diam menyimak persoalan yang tidak dipahaminya.

Misalnya dalam kasus berobat ke dokter seperti tadi. Karena saya tidak tahu apa-apa soal ilmu kedokteran, maka saya tunduk pada apa yang diperintahkan dokter. Akan lebih baik juga jika saya tidak banyak bertanya.

Bukannya bertanya itu bagus supaya kita bisa tahu?

Ya, tapi bertanyalah sampai batasnya. Katakanlah saya sakit flu. Jika saya bertanya pada dokter tentang hal-hal apa saja yang bisa menyebabkan flu, itu wajar dan boleh, malah bagus.

Tapi jadi berlebihan dan cerewet jika saya bertanya, "Dokter, virus apa yang menyebabkan flu? Zat macam apa yang bisa mengobatinya? Bagaimana cara kerja obat ini untuk melawan virus?"

Nah, percuma juga dijelaskan oleh dokternya, karena saya tetap tidak akan mengerti. Untuk bisa sampai ke pengetahuan itu, alangkah baiknya saya mengambil kuliah kedokteran. Dan itu pun tidak mudah.

Manifestasi yang sama juga berlaku di media sosial. Ketika suatu perbincangan sedang hangat-hangatnya, kalau Anda tidak tahu apa-apa soal itu, lebih baik diam saja. Tidak ada yang melarang Anda untuk menyimak, tapi tahan komentar Anda sebab itu bisa berbahaya.

Berkoar pada waktu dan tempat yang tepat

Satu dari banyak penyebab hancurnya dunia ini adalah orang-orang cerdas tidak mau bersuara dan orang-orang bodoh begitu cerewet. Pada akhirnya, pendapat dari orang bodohlah yang berlaku dan dipercaya oleh umum.

Ada saatnya Anda mesti angkat suara. Jika Anda seorang politisi, jangan biarkan orang-orang awam membawa kegelapan. Anda mesti menjadi penyulut cahaya dari kegelapan itu. Seandainya Anda hanya diam saja, pengetahuan Anda tidak berguna sama sekali.

Bukan hanya soal waktu yang tepat, tapi perkara tempat juga harus dipertimbangkan. Jika Anda seorang ahli dan hanya mengoceh di kolom komentar yang penuh "sampah", mutiara yang Anda sebarkan akan tertutupi oleh "sampah-sampah" itu.

Di sini Anda mesti tahu tempat strategis agar kebenaran yang Anda miliki bisa diketahui banyak orang dan mematahkan pendapat-pendapat yang keliru. Nah, pikirkan tentang itu.

Membersihkan puing-puing sebelum berkomentar

Sekarang sedang hangat isu pajak terhadap sembako dan sekolah. Misalnya Anda belum tahu apa-apa soal kebijakan itu, tapi Anda ingin menyuarakan pendapat Anda terhadapnya. Boleh-boleh saja, asal Anda telah membersihkan pikiran Anda dari pendapat-pendapat orang lain yang juga awam.

Dengan kata lain, jangan sampai pendapat Anda itu hanya karena dipanas-panasi oleh orang lain yang berkicau keras. Biasanya kasus semacam ini banyak terjadi saat demo.

Kalau Anda sedang punya waktu senggang dan merasa bosan, coba tanyakan kepada setiap orang yang berdemo. Apakah mereka paham sepenuhnya terhadap apa yang mereka serukan? Kemungkinan besar, tidak; kebanyakan dari mereka hanya ikut-ikutan suara mayoritas.

Untuk menjadi orang awam yang baik, kita sebaiknya membersihkan diri kita dari "puing-puing" itu sebelum berkomentar. Tidaklah baik kalau kita hanya sekadar ikut meramaikan suasana, yang pada akhirnya melahirkan konflik yang lebih serius.

Jaga jarak dengan sesuatu yang pribadi

Ini murni pandangan saya, bahwa belakangan ini, banyak tersebar berita-berita yang tidak berfaedah untuk masyarakat. Contohnya pemberitaan aib selebriti, atau seorang anak artis yang terjatuh dari sepedanya, atau spekulasi jenis kelamin dari publik figur.

Terhadap masalah yang bersifat publik saja, kita mesti berhati-hati untuk berkomentar, apalagi perkara masalah pribadi.

Saya ambil sampel agar jelas. Sekarang sedang ramai pertikaian antara dua orang artis perempuan, dari mulai saling sindir hingga menyusul ke rumah pribadinya. Tapi jenakanya, banyak orang yang meributkan persoalan ini.

Orang-orang sampai gaduh hanya untuk menentukan siapa di antara mereka yang paling benar. Masalahnya bukan siapa yang benar atau siapa yang salah. Konflik semacam itu memang pada dasarnya sudah buruk.

Namun hal terpentingnya adalah, mengapa konflik semacam itu bisa terjadi. Jadi lebih baiknya, jangan ramaikan perkembangan kasus mereka, tapi ramaikanlah solusi yang bisa memecahkan persoalan semacam itu.

Dengan demikian, kita telah menawarkan solusi pada mereka, dan mereka punya jalan keluar dari pertikaiannya. Kalau kita terus meramaikan kasus mereka, yang ada kasus semacam itu akan terus terulang. Mengapa?

Karena ternyata di negara ini, bertikai dengan orang lain itu mendatangkan ketenaran dan kekayaan!

Saya mengerti bahwa setiap orang punya rasa kepo yang tinggi, tapi alangkah baiknya rasa kepo itu diarahkan pada pengetahuan yang baik. Begitulah perbedaan antara orang awam dan orang ... itu.

Duh, saya menulis terlalu banyak. Pada akhirnya, menjadi orang awam yang baik itu seperti bermain alat musik. Kalau kita bisa memainkannya, silakan mainkan. Maka musik yang dihasilkan pun akan enak untuk didengar dan dinikmati banyak orang.

Tapi jika kita tidak punya kemampuan untuk itu, jangan memaksakan. Karena yang terjadi hanyalah menambah kebisingan dan tidak indah untuk didengar. Tidakkah dunia ini sudah cukup bising bagi kita?

Nah, tidak akan ada kata-kata lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun