Sebelumnya, sarana penyampaian kebijaksanaan para filsuf hanya terbatas pada buku. Kini dengan media sosial, mereka punya sarana yang lebih mudah dan meluas. Mereka bisa menjangkau lebih banyak orang untuk menyampaikan gagasannya.
Dan lebih enaknya lagi, gagasan "gila" para filsuf tidak akan dihujat secara langsung yang sering kali melibatkan fisik. Contoh nyatanya adalah yang terjadi kepada Socrates. Tapi dengan media sosial, sedikitnya mereka hanya dicaci lewat kolom komentar.
Ya ... palingan juga dipenuhi kicauan netizen Indonesia. Aw!
5. Berkicau pada tempatnya
Seorang filsuf akan menjauhkan diri dari perdebatan-perdebatan sepele. Contohnya perdebatan apakah si L laki-laki atau perempuan, apakah selebriti itu selingkuh dari pasangannya, apakah artis itu hamil di luar nikah, dan semacamnya.
Bukan berarti dia diam sepenuhnya. Tentu seorang filsuf akan berkoar pada waktu dan tempat yang tepat. Mereka sadar betul akan haknya. Mereka paham betul dengan cara kerja demokrasi. Mereka tahu betul akan kebebasannya dalam berpendapat.
Misalnya jika terdapat masalah kebijakan publik yang diangkat di media sosial, besar kemungkinan seorang filsuf akan ikut menyuarakan pendapatnya, sebab itulah yang menjadikannya eksis di tengah masyarakat serta berpengaruh terhadap orang banyak.
Tentu perkara ini mesti kembali ke poin satu, bahwa seorang filsuf punya keingintahuan yang tinggi. Mereka tidak terburu-buru menyuarakan aspirasi. Mereka akan memahami terlebih dahulu masalah yang tengah dibahas.
Setelah benar-benar mantap akan keyakinan dan pendapatnya, dia mulai mengaum seperti singa yang berusaha mempertahankan wilayah kekuasaannya. Memang terdapat beberapa filsuf yang suka bersikap sarkas, tapi dalam hal ini, bukan filsuf semacam itu yang saya maksud.
Seorang filsuf sejati telah memahami dengan baik moralitas antar manusia. Dia menjaga etikanya, dan berhati-hati atas setiap baris kata yang diketiknya di unggahan media sosial. Meskipun sulit menjadi sesempurna itu, setidaknya tekad semacam itu sudah sangat cukup sebagai modal.
6. Menertawakan mereka yang pamer
Ada cacat di alam duniawi. Segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi. Semuanya amatlah rapuh dan singkat. Bahkan gunung-gunung pun perlahan mulai tercerabut dari akarnya, kemudian terbang bersama-sama dan berbenturan hingga meledak.
Menuntut satu hal yang abadi di dunia ini mirip seperti mencari sebatang jarum di tumpukan jerami.