Ketika pencerahan itu menyengat otak, saya mulai berpikir bahwa saya mesti menerapkan karakter dari para filsuf dalam bermedia sosial.
Filsuf sering dipahami sebagai orang yang ahli filsafat. Meskipun tidak keliru, hakikat dari kata "filsuf" adalah orang yang mencintai kebijaksanaan. Maka bermedia sosial ala filsuf berarti bermedia sosial dengan tetap mencintai kebijaksanaan.
Ketimbang basa-basi saya lebih ngawur, inilah yang (kira-kira) akan terjadi jika seorang filsuf bermain media sosial.
1. Tidak mudah terjebak berita hoaks
Salah satu modal penting untuk menjadi seorang filsuf yang baik adalah memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Namun sekadar ingin tahu saja tidaklah cukup. Keingintahuan yang menggebu itu ditindaklanjuti lewat pencarian hingga sampai ke akar masalah.
Ketika seorang filsuf menemukan sebuah berita di beranda, dia tidak akan langsung menelannya seperti yang dilakukan banyak orang. Dia akan menggali berita itu hingga ke akar. Tidak hanya mencari sumber yang terpercaya, tapi dia juga akan menganalisis berita itu secara rasional.
Jika terdapat kejanggalan, meskipun berita itu diwartakan sumber terpercaya, dia akan tetap menunda kesimpulan. Salah satu kemampuan luar biasa para filsuf adalah kemampuan mereka dalam meragukan sesuatu.
Mereka sangat hati-hati dalam memahami sesuatu, sebab analisis yang keliru akan menghasilkan kesimpulan yang kacau. Dan kesimpulan yang kacau berdampak pada keruwetan dunia nyata, terutama jika kesimpulan itu berkaitan dengan masalah banyak orang.
Inilah keterampilan yang semestinya dimiliki setiap orang. Di media sosial, menemukan berita hoaks itu seperti menemukan hamparan pasir di pantai. Begitu banyaknya, dari mulai klaim penemuan obat virus hingga ke seorang pemuka agama yang dituduh menggelapkan uang sumbangan untuk Palestina.
Anda bisa menemukan berita apa pun di media sosial, nyaris mengungguli portal-portal berita online. Tetapi lebih bahayanya, berita di media sosial juga diwarnai berbagai opini dari para pengguna media sosial. Ini membuat kita mesti lebih berhati-hati agar tidak mudah diadu domba.
Meskipun kita disajikan lebih banyak informasi ketimbang masa-masa sebelumnya, adalah sangat mungkin untuk terjebak dalam disinformasi.
Seorang filsuf akan sadar betul tentang risiko itu sehingga dia lebih teliti dalam menelan informasi. Dia akan mengunyah informasi itu hingga lembut, memastikan bahwa sesuatu yang dia telan tidak akan membahayakan dirinya dan orang lain.