Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Pelajaran Berharga yang Saya Petik Selama Aktif Menulis

28 Mei 2021   06:19 Diperbarui: 29 Mei 2021   13:53 1239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengolah rasa hanyalah satu dari banyak fondasi ketika menulis | Ilustrasi oleh Startup Stock Photos via Pixabay

Menulis adalah perpaduan aneh antara akal dan rasa yang merajut jalinan kata dan kekuatan magis tak terdefinisikan. Sejak pertama kali saya menulis secara utuh, keajaiban itu datang bagaikan butiran mutiara yang terlepas dari untaian tali.

Mereka menerpa bergiliran seiring keindahan yang misterius. Maka tidakkah anomali bahwa aktivitas menulis juga menyembunyikan kekuatan sihir yang tersemat?

Telah sekian abad manusia mengekspresikan dirinya lewat tulisan. Berawal dari lukisan-lukisan sederhana di dinding gua, goresan tinta di daun lontar, coretan pena di kertas putih, hingga catatan tangan di layar digital.

Tapi menulis lebih dari sekadar ekspresi diri. Dalam perspektif khusus, menulis juga menjadi cara bagi beberapa orang untuk menunjukkan eksistensinya, termasuk bagi diri saya sendiri.

Hampir 2 tahun berlalu sejak pertama saya menulis di bangku kelas 11 SMA. Saat itu saya menulis esai pertama saya dalam lingkup pendidikan. Saya masih menyimpan tulisan itu, dan hal yang sama senantiasa terulang: saya selalu tertawa jika kembali membacanya.

Tulisan itu sering mengingatkan saya pada buku-buku referensi pelajaran yang saya baca di sekolah: sangat kaku! Tapi tulisan itu juga yang menjadi fondasi dari rangkaian kisah saya, setidak-tidaknya untuk sejauh ini.

Waktu dua tahun bukanlah waktu yang mengesankan untuk seorang penulis. Karenanya saya  tidak suka mengakui diri sebagai seorang penulis atau seniman. Saya lebih senang memegang identitas sebagai pelajar, bahkan ketika saya berusia 50 tahun nanti.

Meskipun terhitung singkat, saya jauh lebih banyak tercerahkan oleh kegiatan menulis ketimbang belajar di kelas selama 12 tahun. Ini bukan konotasi negatif, tapi nyaris bisa diartikan secara harfiah.

Kegiatan menulis membebaskan saya dari sistem apa pun; saya memegang kendali atas diri saya sendiri. Namun dalam banyak momen ketika di kelas, saya terkekang oleh sistem dan aturan yang tidak bisa saya langkahi. Itu cukup mengenaskan, tapi semuanya saling terkait bagaimanapun juga.

Nah, dalam prosesnya menuju kebiasaan, suka-duka menulis cukup untuk memberi petunjuk pada apa yang selama ini tersirat. Ya ... setidaknya untuk saat ini, saya berhasil mengungkapkan kesan-kesan itu dalam rajutan kata di samping sulitnya menyingkap keajaiban.

Anda tahu, jika Anda merupakan bagian dari keajaiban itu, tidaklah mudah untuk menjabarkan apa yang sebenarnya terjadi.

Tapi, saya melakukannya. Ketika kata-kata itu tak terjangkau, saya bisa sengaja merasa rindu supaya bisa menikmati kerinduan itu. Apa pun yang saya tantang, justru ia semakin dekat pada alam bawah sadar saya.

Jadi, tanpa urutan tertentu, inilah beberapa pelajaran berharga yang saya petik selama aktif menulis.

Keingintahuan adalah modal

Dulu saya kira seorang penulis selalu merupakan ahli dalam apa yang ditulisnya. Ternyata tidak, mayoritas penulis juga sering diawali dari ketidaktahuan untuk kemudian berlanjut pada pencarian.

Pada awal pengalaman menulis, saya hampir tidak punya ide apa pun untuk ditulis karena pada dasarnya saya tidak tahu apa-apa. Tapi kemudian muncullah ide untuk banyak membaca sehingga inspirasi itu bisa dikejar. Dan hasilnya tidak begitu bagus.

Saya menjadi tukang plagiasi. Saya memaksakan kehendak untuk menulis dan jalan pintasnya adalah banyak mengutip. Suatu tekanan mendorong saya berbuat demikian, dan yang paling jelas adalah ego yang kelaparan. Saya haus akan pujian.

Selama proses pembelajaran yang panjang, saya pun bisa menyalakan api pencerahan setelah beberapa waktu tersesat dalam kegelapan. Ternyata modal awalnya amat sederhana: keingintahuan.

Dengan keingintahuan yang tinggi, segala sesuatu, seremeh apa pun, dapat menjadi inspirasi untuk ditulis. Setiap pengalaman kecil yang saya lewati dapat dipertanyakan untuk kemudian ditindaklanjuti dalam perenungan dan melahirkan tulisan yang segar.

Tentu kegiatan membaca tetap berlangsung, bahkan lebih insentif. Namun ada perbedaan mendasar antara membaca untuk menulis dan membaca untuk tahu.

Ketika saya membaca suatu artikel atau buku dengan tujuan untuk menulis, saya banyak mengutip dan melahirkan plagiasi. Saya menjadi orang lain dan tidak khas. Tidak peduli seberapa cerdiknya saya memainkan kata-kata agar tampak orisinal, tetap saja itu bukan saya.

Siapa orang yang bisa membohongi dirinya sendiri?

Tapi berbeda cerita jika saya membaca atas dasar keingintahuan. Itu adalah jembatan manis menuju pencerahan yang abstrak. 

Mengapa saya menyebutnya abstrak? Karena inspirasi yang lahir biasanya tidak lengkap dan hanya berupa kalimat sederhana yang harus dikembangkan lewat perenungan.

Setidaknya bagi saya, ini berlaku dalam tulisan apa pun, fiksi maupun non-fiksi. Meskipun terlihat lebih melelahkan dan tidak instan, tapi itulah keindahannya. Berpikir adalah pelangi yang terlanjur banyak dibenci.

Keingintahuan bukan hanya memicu ide, tapi juga memperkaya ide. Lewat aktivitas berpikir secara cermat, ide sesederhana apa pun dapat berkembang menjadi tulisan filosofis yang mengesankan jika dibarengi keingintahuan.

Ini seperti ketika Anda menggali harta karun. Anda memerlukan alat berupa sekop untuk efektivitas pencarian. 

Dalam menulis karya, keingintahuan adalah sekop yang Anda butuhkan. Keingintahuan menggali kreativitas secara "liar", bahkan sering kali mengejutkan Anda sendiri.

Kebebasan adalah kunci

Beberapa waktu lalu, kakak perempuan saya datang dan menyarankan agar saya menjadi seorang penulis lepas. Saat itu juga saya menolak dan hanya tersenyum mendengar omelan-omelannya yang khas seorang perempuan.

Sejak mencoba kegiatan menulis, saya tidak pernah memikirkan kegiatan ini sebagai penghasil uang. Fakta bahwa saya tetaplah membutuhkan uang bukan berarti saya tidak punya cara lain untuk itu. Menulis adalah murni wujud eksistensi.

Anda bisa meludah ke wajah saya atas ungkapan itu. Namun, bukannya tanpa alasan, saya (hampir) tidak bisa menulis ketika dituntut oleh waktu atau topik tertentu. Saya menjadi tidak "liar", dan saya benci itu.

Aktivitas menulis itu seperti bermain-main, dan manusia hanya bisa bebas saat dia bermain, sebab saat itulah dia menciptakan aturan-aturannya sendiri.

Inilah mengapa kebebasan menjadi faktor kunci dalam mengembangkan kreativitas. Seekor burung rajawali yang terkurung dalam sangkar tidak bisa menjelajah apa yang indah di atas langit. Satu-satunya cara untuk melihat pesona rajawali adalah dengan membiarkannya terbang bebas.

Pada masa awal-awal menulis, saya selalu takut telah melanggar aturan. Maksud saya, sepanjang proses menulis, saya selalu memikirkan aturan-aturan yang mungkin tidak saya ketahui dan telah saya tabrak.

Contohnya dalam hal penulisan huruf kapital dan tanda baca, atau jenis tulisan yang saya tulis: apakah termasuk artikel, esai, puisi, atau pidato.

Saya selalu memikirkannya dan khawatir bahwa seseorang akan mengkritik saya atas kebodohan sastra. Atau ketika saya melucuti paradigma umum masyarakat, saya resah atas hasilnya.

Setelah proses pematangan yang rumit, saya pun bisa membebaskan diri dari aturan-aturan itu. Kenyataannya, karya sastra modern memang tidak suka dengan aturan. Para seniman kontemporer menjunjung tinggi kebebasan daripada kepatuhan.

Bagi saya, ini merupakan putaran balik pemikiran yang dramatis. Dengan kebebasan yang saya genggam, saya mengoleksi banyak topeng untuk mengekspresikan diri dalam tulisan-tulisan saya.

Dalam beberapa tulisan, saya bisa bersikap sarkas. Dalam kesempatan lain, saya bisa menjadi lemah-lembut dan amat-sopan. Di beberapa karya mutakhir, saya memadukan semua karakter dan membangun keunikan yang langka.

Maksud saya, prinsip kebebasan benar-benar memicu kreativitas yang liar. Karenanya di sana tidak ada aturan. Satu-satunya aturan adalah tidak boleh ada aturan.

Tentu ketika saya menulis di Kompasiana, ada aturan-aturan yang harus ditaati demi kebaikan bersama. Tapi harus digarisbawahi bahwa bukan aturan-aturan semacam itu yang saya maksudkan. Ini merujuk pada aturan-aturan yang membatasi kreativitas penulis dalam mengembangkan idenya.

Ya ... karena itu juga saya tidak begitu fokus pada satu bidang. Saya bisa menuliskan apa pun yang saya mau di waktu tertentu. Dalam artian harfiah, saya hanya akan menulis apa yang terjangkau oleh saya tanpa harus memaksakan kehendak.

Saya tidak ingin menjadi sok tahu dalam keadaan pikiran kosong.

Imajinasi menciptakan "Taman Firdaus" versi sendiri

Dalam konteks tulisan fiksi, imajinasi adalah faktor yang tak bisa digugat kepentingannya. Meskipun dalam tulisan non-fiksi pun juga terkadang dibutuhkan, tapi ranah asali imajinasi adalah tulisan fiksi.

Daya tarik imajinasi adalah membalikkan realitas yang mustahil dilakukan secara nyata. Dunia menjadi impian, dan impian menjadi kenyataan. Apa pun yang mustahil dalam kenyataan, adalah sangat sepele di dalam imajinasi.

Inilah mengapa para penulis fiksi menciptakan realitasnya sendiri sebagaimana Tuhan menciptakan dunia. Mereka mempunyai suatu imajinasi untuk menciptakan alam raya versinya sendiri.

Dalam pengembaraannya di tengah pesona sastra, mereka dapat merasakan hilangnya batas antara impian dan kenyataan. Ya ... tidaklah heran mengapa kebanyakan penulis fiksi mudah tenggelam dalam khayalan seiring jari tangan mengetik dan pikiran mengembara.

Selama penulisan novel pertama saya, juga beberapa cerpen, imajinasi adalah medium untuk memutarbalikkan realitas. Karenanya untuk benar-benar peduli terhadap imajinasi, diperlukan kemampuan berempati yang cermat.

Berempati di sini maksudnya adalah menempatkan diri secara utuh ke dalam dunia pikiran. Suatu karangan fiksi tidak bisa "hidup" tanpa sikap empati terhadap imajinasi.

Ketika imajinasi itu terpisah dari diri kita, maka kita hanya akan mengatakan apa yang terlintas dan bukannya menggambarkan apa yang terpikirkan. 

Kisah yang ditulis pun tidak bernyawa, dan otomatis para penikmat lebih suka menonton film daripada membaca karangan kita. Atau maksudnya "saya", bukan "kita".

Mengasah lebih lama sebelum menebang jauh lebih efektif

Jika Anda berbincang dengan saya, Anda akan mendapati saya banyak menganggukkan kepala. Bukan berarti saya menyetujui semua perkataan Anda, tapi saya terbiasa untuk mendengar lebih lama sebelum mulai berbicara.

Saya lebih senang mendiagnosis terlebih dahulu sebelum memberikan resep.

Prinsip yang sama saya bawa dalam kegiatan menulis. Ketimbang menghabiskan waktu sepanjang hari untuk menulis, saya lebih suka menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca. Ini berarti terdapat kerenggangan dalam aktivitas menulis.

Paradigma yang selama ini berkembang menyerukan kita untuk menulis setiap waktu agar terasah keterampilannya. Dan tidak ada yang salah dengan itu, tapi perlu digarisbawahi bahwa menulis juga membutuhkan amunisi.

Jika menulis diibaratkan menebang pohon, maka membaca atau berpikir adalah cara kita mengasah gergaji kita. Daripada menghabiskan waktu belasan jam untuk menebang, lebih baik mengasah gergaji dulu selama berjam-jam agar proses penebangan lebih efektif.

Inilah mengapa saya kurang suka dengan tenggat waktu ketika menulis; kreativitas tidak bisa dipaksakan muncul setiap saat. Dalam momen yang tepat, inspirasi-inspirasi itu harus segera dicatat untuk mengikatnya agar tidak lepas kembali.

Perasaan membumbui tulisan

Ada alasan kuat mengapa saya tidak mau memaksakan kehendak untuk menulis tulisan sebanyak mungkin: perlu mengolah rasa untuk mendalami pemikiran.

Layaknya khalayak umum, saya juga terkadang terjebak dengan mood. Dan ketika mood itu buruk, saya tidak memaksakan diri untuk menulis. Saya hanya akan pergi bersenang-senang untuk membangkitkan mood itu, yang pada akhirnya juga melahirkan gairah yang tidak biasa.

Saya tidak mau menulis tanpa perasaan yang mendukung, karena hasilnya selalu sama: hambar. Jika diibaratkan sayur sop, imajinasi adalah beragam sayuran yang saya butuhkan, dan perasaan adalah garam yang membumbuinya.

Jelas bahwa tanpa imajinasi, tidak akan ada makan siang, dan tanpa perasaan, tidak akan ada kenikmatan makan siang.  Tanpa imajinasi, tidak akan ada tulisan, dan tanpa perasaan, tidak akan ada kehidupan dalam tulisan.

Begitulah pentingnya sikap bersantai dan menikmati kegiatan menulis.

Menunda publikasi dapat memperkaya gagasan

Ah, ketika saya selesai menulis, saya tidak langsung mempublikasikannya. Saya menunda tulisan itu selama beberapa saat, kadang hingga berhari-hari. Alasannya sederhana: saya selalu meragukan tulisan saya sendiri.

Saya akan membaca tulisan itu beberapa kali, mencari titik lemah yang mungkin tidak terdeteksi selama menulis. Ketika selesai, saya kembali ragu: apakah saya telah menuliskan semua yang ingin saya tulis?

Karena itulah saya menunda publikasi dan membiarkannya selama beberapa waktu. Ada kecenderungan otomatis dalam penafsiran kita terhadap sesuatu.

Jadi ketika saya membaca kembali tulisan saya, mungkin ada beberapa ide yang saya lewatkan karena terjebak oleh penafsiran pada apa yang tertulis. Sedangkan yang tersembunyi sulit terungkap sehingga melepaskan diri sejenak dari tulisan bisa membantu.

Dan gagasan itu seperti ikan di kolam. Selama kolam itu masih terjangkau oleh kita, ikan-ikan yang terlepas dari kait pancing tidak perlu diresahkan. Mereka hanya menyelam dalam-dalam dan akan kembali ke permukaan dengan lebih gemuk lagi.

Ketika gagasan itu muncul, saya akan langsung mencatatnya. Kemudian membiarkan gagasan itu terlepas, dan ketika kembali, saya memperkaya gagasan tersebut ketimbang pada awal kelahirannya.

Pengalaman itu seperti cermin

Ketika sebuah bola tiba-tiba muncul secara misterius, apa yang akan Anda lakukan? Biar saya tebak: Anda akan melihat ke setiap arah untuk mengetahui siapa yang melemparkan bola tersebut.

Itu merupakan tindakan yang wajar karena pikiran kita memang cenderung bekerja secara kausalitas. Kita mengaitkan antara yang satu dengan yang lain untuk mendapatkan pengetahuan konkret.

Inilah mengapa begitu penting untuk mengenang setiap pengalaman, sekecil apa pun itu, karena biasanya kita tidak langsung menemukan maknanya, melainkan di waktu nanti ketika kenangan itu muncul kembali.

Dalam kegiatan menulis, merenungkan pengalaman membantu saya dalam mengukur kebenaran gagasan saya. Jika gagasan itu pernah saya alami secara nyata, maka saya semakin yakin untuk menuliskan gagasan tersebut.

Menulis mendekatkan pada "yang tak terungkapkan"

Dalam proses menulis, selama pikiran juga ikut bekerja, selalu saja ada gagasan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Dan ini ajaib. Saya nyaris tidak mengerti apa yang terjadi.

Kesenyapan tidaklah menakutkan

Banyak orang yang tidak bisa berdiam diri tanpa melakukan apa-apa walaupun sejenak. Mereka dibunuh rasa kebosanan, dan keheningan yang mutlak menghancurkan telinga mereka.

Saya pun demikian pada awalnya. Tapi setelah asyik menulis, saya turut mencintai kesenyapan; momen ketika saya hanya berbicara dengan diri saya sendiri, entah bersama pikiran atau hati nurani.

Kesenyapan adalah musik terindah untuk menari bersama pikiran.

Keunikan berharga mahal

Secara sekilas, mengutip dan mengolah kata-kata itu tampak lebih enak dan mudah. Tapi dalam jangka panjang, itu tidak bermakna apa-apa. Dan sebaliknya, meskipun membutuhkan waktu lebih lama, membangun tulisan yang khas versi kita sendiri jauh lebih eksotis.

Hasilnya pun jauh lebih memuaskan secara batiniah. Dengan menampilkan gaya tulisan kita sendiri, para pembaca akan segera mengenali identitas kita. Dan ya ... menjadi apa adanya itu sungguh nikmat.

Nah, petualangan saya selama dua tahun dalam kegiatan menulis hanyalah pengalaman dangkal yang dilebih-lebihkan. Tapi percayalah, keajaiban itu jauh lebih banyak ketimbang jajaran mantan Anda di bangku sekolah.

Saya bahkan belum menuliskan semuanya, tapi cukuplah untuk sekarang. Karena jika saya terlanjur bingung, saya harus bagaimana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun