Dengan banyaknya pilihan tersebut, kebanyakan dari kita tidak mau melewatkan apa pun. Kita khawatir dilabeli kudet. Kita benar-benar takut dengan media sosial yang menganggur selama beberapa menit.
Dan di sinilah kita mendapatkan masalah.
Masalah dari FOMO adalah hal tersebut mencegah kita untuk benar-benar mengalami apa yang terjadi. Itu mungkin terdengar gila, karena FOMO sering kali mendorong seseorang untuk mencoba mengumpulkan pengalaman sebanyak mungkin.
Tetapi secara bersamaan, hal tersebut juga merampas pengalaman yang memiliki makna lebih dalam.
Dan FOMO pun menyebabkan seseorang membuat keputusan bukan berdasarkan realitas pengalaman, melainkan berdasarkan pengalaman yang dibayangkan.
FOMO terhadap media sosial bisa jadi lebih buruk, karena kita menggantungkan keputusan kita berdasarkan apa yang kita lihat di layar beranda.
Bagaimana mengatasi FOMO terhadap media sosial?
Tahun-tahun yang suram telah berlalu. Saya mengalami kebahagiaan yang lebih nyata ketimbang kebahagiaan karena mendapatkan notifikasi dari doi (karena saya memang tidak punya doi).
Ketika berkumpul bersama teman, saya menjadi satu-satunya orang yang mirip seperti Pithecanthropus. Dan saya cukup bangga atas hal itu. Saya merasa menjadi pemenang.
Masing-masing dari mereka sibuk menatap layar ponsel, dan saya hanya memerhatikan apa yang ada di sekitar, menikmati setiap peristiwa kecil yang tampak. Oh, indahnya kehidupan.
Tapi, saya berbagi tulisan ini bukan atas kebanggaan saya atas hal tersebut. Justru, ini adalah bentuk kemirisan saya terhadap apa yang terjadi kepada pemuda kita. Jadi, biarkan siapa pun membaca ini.
Tanpa urutan yang pasti, inilah cara saya dalam mengatasi FOMO terhadap media sosial.