Seorang teman dekat berhasil dipanggil klub tersohor di salah kota untuk bermain dalam kelompok usia di bawah 15 tahun. Semenjak itu, berbagai bisikan bernada membandingkan menyelinap kejam menuju sanubari.
Mereka melontarkannya dengan tawa, tapi saya tahu itu bukan lelucon. Saya benar-benar tertekan dan mulai menghentikan aktivitas sepak bola.
Setelah menghadapi proses yang panjang, saya sampai pada sebuah kesadaran bahwa hidup adalah kelimpahan. Ada banyak di luar sana untuk semua orang.
Alih-alih melanjutkan perjuangan di dunia sepak bola, saya berpindah haluan menuju dunia sastra. Memang tampak tidak masuk akal, tapi di sinilah saya sekarang.
Saya menyelami pemikiran orang lain, dan kemudian mulai bermain-main dengan pikiran sendiri. Saya tertawa, resah, bahagia, sedih; semua itu berawal dari pemikiran. Dan sastra adalah taman bermain bagi pikiran.
Barangkali Anda bertanya kepada saya, "Bagaimana cara Anda menukik curam dari dunia sepak bola menuju dunia sastra?"
Menggali ke dalam diri sendiri
Dalam sebuah kesadaran yang rumit, saya percaya bahwa untuk menemukan apa yang kita cintai, kita harus mencarinya di antara hal-hal yang kita benci.
Dan sejak kecil hingga awal masa SMA, saya benci dengan aktivitas membaca buku, apalagi kegiatan menulis. Tapi, saya mulai skeptis. Mengapa saya membencinya? Apa yang membuatnya begitu mengerikan? Apakah hanya karena saya merasa tidak punya potensi di sana?
Masa bodoh, saya pergi untuk mencobanya. Saya membeli buku pertama saya dan mulai merasakan dampak luar biasa dari keajaiban sastra. Setelah membaca beberapa buku, saya mulai tergoda untuk menulis.
Saya tidak bisa berhenti tertawa ketika saya membaca tulisan pertama saya. Gaya bahasa yang kaku, tanda baca acak-acakan, opini yang menggelikan, bahkan lebih mirip seperti makalah.
Mungkin saya masih melakukannya hingga saat ini di samping perasaan bahwa saya telah berkembang. Tapi percayalah, mata Anda akan terbakar saat membaca tulisan pertama saya.