Karena identitas dan nilai diri mereka terbungkus oleh kebutaan harta, maka mereka tidak benar-benar mengerti tentang sesuatu yang bisa membuatnya bahagia.
Mereka hanya membeli dan membeli lebih banyak lagi, berusaha mencari sesuatu yang membuatnya bahagia. Namun, seperti yang dikatakan seorang pemikir, "Ia tidak ada di sana."
Kehampaan menjadi jawaban. Harta yang bergelimang tidak membantu. Bingung, rasa-rasanya kebahagiaan harus berpihak pada mereka, namun senyuman seorang pemulung malah membuktikan bahwa mereka telah kalah.
Saya punya cerita sedih atau barangkali menggelikan.
David Edwards memenangkan 27 juta dollar Amerika dari sebuah jackpot lotre. Dia menghabiskan sebagian besar uang itu untuk obat-obatan, rumah megah, mobil mewah, makanan berkelas bintang lima setiap hari.
Tidak selang lama, Edwards kembali miskin. Dia berakhir menjadi seorang gelandangan, kehilangan semua uangnya, hartanya, termasuk istrinya. Dia meninggal dalam perawatan di rumah sakit.
Sebagai perbandingan, Anda dapat hidup dengan nyaman selama sisa hidup Anda tanpa harus bekerja dengan uang 27 juta dollar Amerika.Â
Namun, Edwards telah membuktikan kepada kita bahwa menjadi orang kaya itu juga harus punya kesiapan dan pengetahuan yang cukup.
Menjadi orang kaya tidak sesederhana mendapatkannya dan kemudian hanya menghabiskannya. Kemampuan mengelola keuangan bukan hanya diperlukan oleh mereka yang punya uang terbatas, tapi orang kaya justru lebih membutuhkannya.
2. Menjadi lebih cemas dan lebih manja
Saya menyebutnya Paradoks Kecemasan. Aturannya, "Semakin banyak Anda menggenggam, semakin besar kemungkinan untuk cemas."
Masyarakat kita mengira bahwa hubungan antara kuantitas kepemilikan dengan kebahagiaan itu berbanding lurus. Semakin banyak kita memiliki, semakin mudah kita menjadi bahagia.