Sejak 1970-an, dunia menyaksikan lahirnya beragam kelompok teroris. Mereka memiliki beragam tujuan, baik itu tujuan politis, maupun tujuan religius.
Semuanya memiliki pola yang sama, yakni tafsir semena-mena atas sebuah paham yang bersifat tertutup, sempit, dan menindas perbedaan.
Maka bisa dikatakan bahwa terorisme berpijak pada suatu pemahaman tertentu yang mengklaim kebenarannya sebagai kebenaran mutlak.
Para teroris yakin secara dogmatis, bahwa mereka telah sampai pada kebenaran mutlak dan memutuskan untuk memusnahkan segala pandangan yang bertentangan dengannya.
Kesesatan berpikir ini telah memberikan mimpi penuh kebohongan pada mereka yang anti berpikir kritis.
Mari kita telusuri lebih dalam.
Banyak dari para teroris yang tobat berdalih bahwa dulunya mereka punya dendam, merasa terasingkan, atau merasa dicabut haknya.
Secara tersirat, asumsi itu datang dari kesesatan mereka dalam berpikir. Mereka menganggap bahwa hidup harus mengabulkan semua keinginannya. Kemudian gigi diganti gigi, tangan diganti tangan, kaki diganti kaki.
Justru saya bertanya-tanya, apa hakikat kebahagiaan jika semua keinginan harus terpenuhi? Bukankah kita merasa bahagia karena kita tahu betapa menyakitkannya sebuah penderitaan?
Atau jikalau demikianlah yang seharusnya terjadi, untuk apa Tuhan menciptakan surga dan neraka? Mungkin saya berpikir terlalu mengarah kepada agama, tapi inilah poin saya selanjutnya.
Mengapa seseorang yang taat beragama sekalipun ada yang berani melakukan aksi bom bunuh diri? Inilah yang sempat atau bahkan masih menyita perhatian dunia: jika agama cinta perdamaian, mengapa penganutnya ada yang menjadi teroris?