Maka, cinta memang bukan tentang "jatuh cinta", melainkan berdiri dalam cinta, berdiri menerima cinta. Manusia tidak menerima cinta dalam keadaan jatuh, melainkan berdiri menyambutnya, menikmati setiap sisi dan sentuhannya.
Banyak orang melihat masalah cinta sebagai masalah obyek, bukan masalah bakat/perilaku. Orang berpikir bahwa mencintai itu sederhana, yang sulit ialah mencari obyek yang tepat untuk dicintai.
Pada akhirnya, paradigma semacam itu membuat kita lebih pilih-pilih. Bukannya itu keliru, tapi cinta itu universal. Kita tidak bisa mencintai seseorang dan kemudian tidak peduli dengan orang lain. Jika demikian, itu adalah keegoisan yang melampaui.
Bukan berarti juga Anda bebas berselingkuh tanpa batas. Tidakkah Anda mengerti?
Maka, cinta sebenarnya tidak bergantung pada obyeknya. Ini bukan tentang "siapa yang akan kita cintai", tapi tentang "bagaimana cara mencintai". Itu adalah modal utamanya.
Orang yang mencintai hanya dengan menunggu menemukan "obyek" yang tepat ibarat orang yang mau menulis, namun ia tidak mau mempelajari seni menulis, hanya menunggu menemukan ide yang menarik untuk ditulis.
Kenyataannya, ide semenarik apa pun yang didapatkan, kalau ia tidak tahu bagaimana cara menulis itu sendiri, tulisannya tetap saja akan membosankan. Padahal jika ia memang sudah ahli dalam menulis, ide sepele pun akan menjadi indah dan bermakna.
Dan kita lihat apa yang terjadi! Anda menyatakan rasa cinta Anda kepada seseorang, dan dia yang disayang menolak Anda secara halus dengan mengatakan, "Maaf, aku tidak sedang tertarik untuk berpacaran."
Ironis, lima menit kemudian, dia mengunggah foto selfie di WhatsApp dengan caption, "Lagi jomlo nih." Duh, manusia!
Ditambah lagi, banyak orang melihat masalah cinta sebagai masalah dicintai dan bukannya mencintai. Kita lebih terobsesi untuk dicintai ketimbang mencintai. Katanya, mencintai itu sering menyakitkan, terkadang bisa membunuh jika orang yang dimaksud tidak balik mencintai.
Masalahnya, apakah kita sudah layak dicintai?Â