Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Surat Terakhir

17 Maret 2021   14:44 Diperbarui: 17 Maret 2021   14:53 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apa itu waktu? | Ilustrasi oleh Antonios Ntoumas via Pixabay

Apakah kamu sedang duduk dengan nyaman, Antreas? Setidaknya kamu mesti duduk dengan punggung yang tegak karena kamu sedang membaca surat terakhirku yang menyedihkan. Mungkin kamu sedang berselonjor santai di ranjangmu yang empuk itu. Meskipun saat kau baca surat ini, aku tidak tahu apa-apa lagi.

Mungkin saja kamu dan Ibu sudah pindah dari rumah lama kita. Aku tidak tahu apa-apa. Siapa yang sekarang menjadi presiden? Siapa menteri pendidikan sekarang? Dan ngomong-ngomong, bagaimana kabar terbaru dari bumi? Apakah para manusia telah menemukan cara baru untuk menghentikan pemanasan global?

Apa yang aku ketahui?

Beberapa kali kucoba memikirkan tentang masa depan, tapi aku tak pernah bisa memperoleh gambaran yang tepat tentangmu seperti adanya sekarang. Yang kuketahui hanyalah dirimu yang dulu saat aku menulis surat ini.

Aku bahkan tidak tahu berapa umurmu ketika kamu membaca ini. Barangkali kamu dua belas atau lima belas tahun, dan aku, ayahmu, telah lama undur diri dari perjalanan waktu.

Sebenarnya aku sudah merasa seperti hantu, dan napasku tertahan setiap kali memikirkan tentang itu. Jiwaku rasanya sedang berusaha untuk keluar lewat ubun-ubun, namun ragaku berupaya menahannya sebentar sampai surat ini selesai ditulis.

Kita juga punya rentang waktu yang sudah ditetapkan. Begitulah keadaannya, dan yang bisa kulakukan hanyalah menulis dari apa yang ada di sekitarku sekarang. Aku menulis ini pada Maret 2021.

Dan sekarang (maksudku ketika kamu membaca ini), tentu kamu sudah lupa apa yang sering kita lakukan bersama sepanjang hari ketika kamu berusia 4 tahun. Tapi, hari-hari masih milik kita, dan kita masih punya banyak momen indah di depan kita.

Aku akan menyingkat saja. Aku mesti melakukannya karena waktu mulai habis. Sesosok malaikat sedang memerhatikanku sekarang. Mungkin dia berkenan membiarkanku sebentar sampai pria berkepala tiga ini menyelesaikan surat untuk anak laki-lakinya di masa depan.

Hari ini, ketika aku menulis, aku merasa pilu. Bagiku, dunia ini selalu penuh keajaiban. Aku selalu berpikir begitu semenjak aku masih cukup muda, dan jauh sebelum aku jatuh cinta pada Ibu. Aku masih punya perasaan bahwa aku telah melihat sesuatu yang belum pernah dilihat orang lain.

Sulit untuk menggambarkan sensasi ini dalam kata-kata sederhana, tapi bayangkan dunia sebelum segala macam penemuan modern tentang hukum alam, teori evolusi, atom-atom, molekul DNA, biokimia, sel saraf; sebelum bumi ini direduksi menjadi sebuah "planet" di ruang angkasa, dan sebelum tubuh manusia yang membanggakan ini diberi nama pada setiap organnya.

Aku berbicara tentang masa ketika manusia hanyalah manusia, sesosok manusia yang utuh dan bangga, tidak lebih tidak kurang. Pada saat itu dunia hanyalah sebuah dongeng yang berkilau.

Seekor domba tiba-tiba muncul dari semak-semak, menatapmu tajam selama dua detik, kemudian hilang. Jiwa apa yang memberi gerak pada hewan itu? Kekuatan tak terjelaskan apa yang mendekorasi bumi dengan bunga-bunga dalam setiap warna pelangi dan menghiasi langit malam dengan renda-renda kerlip bintang yang cemerlang?

Lihatlah dunia ini, Antreas! Lihat dunia ini ketika engkau belum menjejali dirimu dengan terlalu banyak fisika dan kimia.

Pada saat ini, sekawanan harimau sedang menerobos sapuan angin dataran hutan Kalimantan. Gerombolan kelinci yang sedang merumput melompat anggun di atas padang savana. Ribuan penguin sedang berceloteh satu sama lain di atas es pantai Antartika. Seekor burung cenderawasih yang kesepian menengadahkan kepalanya di atas sebuah ranting pohon. Seekor lumba-lumba yang gempal melompat dengan riang di hamparan samudera.

Jangan katakan bahwa alam ini bukan sebuah mukjizat. Jangan katakan bahwa dunia ini bukan sebuah dongeng. Siapa pun yang tidak menyadari itu, mungkin tak pernah benar-benar mengerti hingga dongeng itu hampir selesai.

Kemudian, akan tiba satu kesempatan terakhir untuk melepas penutup mata, kesempatan terakhir untuk menggosok matamu sambil terkaget-kaget, kesempatan terakhir untuk menyerahkan diri pada ketakjuban yang kau beri ucapan selamat jalan dan pergi meninggalkanmu.

Aku ingin tahu apakah kamu mengerti apa yang coba kusampaikan, Antreas. Engkau akan berpisah dengan dunia ini, dengan hidup, dongeng itu. Kemudian, ada sekelompok kecil orang yang benar-benar engkau sayangi, engkau mengucapkan selamat tinggal kepada mereka juga.

Kadang-kadang, aku berharap hidup saat sebelum penemuan tabel perkalian, dan tentu saja sebelum fisika dan kimia modern, sebelum kita pikir kita tahu segala sesuatu. Maksudnya hidup dalam dunia yang benar-benar ajaib! Tapi, persis demikianlah dunia ini mengejutkanku sekarang, ketika aku duduk di depan laptop menuliskan baris-baris ini untukmu.

Aku akan bocorkan sebuah rahasia untukmu: memang sejak awal aku ingin menjadi seorang penulis, seseorang yang merayakan dunia tempat kita hidup ini dengan kata-kata. Tapi, aku tidak pernah berhasil menjadi penulis. Akan tetapi, setidaknya aku sudah menuliskan surat ini untukmu.

Aku masih sangat ingat suara lembut dari tangisanmu ketika lahir. Waktu berjalan begitu indah. Saat aku menulis ini, kamu berusia 4 tahun, Antreas. 

Dan sebulan yang lalu, aku membaca adanya tanda-tanda yang ganjil dalam diriku. Aku pintar membuat diagnosis. Ibumu mengantarkanku ke rumah sakit, dan, ya, dokter sepenuhnya setuju denganku. Kami punya pendapat profesional yang sama.

Sekarang, hidup berubah sama sekali. Itu merupakan bencana bagiku, sebab aku akan meninggalkan seorang putra yang belum menjadi dewasa. Peraturan baru dari dongeng ini buru-buru diberlakukan. Kata-kata seperti rindu, sabar, dan kehilangan kini mengandung makna yang baru.

Aku tahu apa yang kira-kira akan terjadi, dan perlahan-lahan harus membiasakan diri dengan pemikiran bahwa aku akan meninggalkanmu dan ibumu.

Kadang-kadang, aku juga harus tidur sedikit pada malam hari. Bukan karena aku merasa sakit, melainkan karena berbagai macam pemikiran mengusik kepalaku. Persis ketika aku mulai jatuh tertidur, aku mendapatkan selintas pemahaman yang mendalam tentang segala misteri yang tidak menyenangkan, tentang dongeng besar dan mengerikan yang di dalamnya tak ada peri yang baik hati, tapi hanya ruh-ruh hitam dan jahat.

Ketika aku sedang menulis surat ini di ruang kerja, kamu masuk menghampiriku dengan kaki mungil yang lesu. Dengan nada resah, kamu memberitahuku bahwa kamu sulit untuk terlelap. Kemudian kamu bertanya, "Sedang apa Ayah menatap laptop di tengah malam begini?"

"Menulis surat untuk seorang temanku yang sangat baik," jawabku.

Mungkin kamu pikir aneh bahwa suaraku terdengar begitu sedih ketika mengatakan itu. "Untuk Ibu?" kamu bertanya.

Aku menggelengkan kepala. "Ibu adalah cinta sejati," kataku. "Itu sama sekali berbeda."

"Kalau begitu aku apa?" tanyamu dengan lugu.

Kamu membuatku terperosok ke dalam jebakan. Tapi, aku hanya mengangkatmu ke pangkuanku di depan laptop, memelukmu, dan berkata bahwa kamu adalah temanku yang sangat baik. Untungnya, kamu tidak bertanya apa-apa lagi. Kamu tidak bisa mengerti bahwa surat itu adalah untukmu.

Waktu, Antreas. Apa itu waktu?

Ruang angkasa sudah sangat tua, mungkin lima belas miliar tahun umurnya. Namun, tak seorang pun bisa mengetahui bagaimana semua itu diciptakan. Kita semua tinggal dalam sebuah dongeng akbar yang tak dimengerti oleh siapa pun.

Kita menari, bermain, bercengkerama, dan tertawa di dalam dunia yang asal-usulnya tak bisa kita mengerti. Tarian dan permainan ini adalah musik kehidupan.

Namun, ada sesuatu yang mesti kutanyakan kepadamu, Antreas. Nyaris mustahil bagiku untuk menunggu lebih lama lagi.

Bayangkan kamu berada di awal dongeng akbar ini, suatu waktu miliaran tahun yang lalu ketika segala sesuatu baru diciptakan. Dan kamu boleh memilih apakah kamu ingin dilahirkan untuk hidup di planet ini. Kamu tidak tahu kapan kamu akan dilahirkan, tidak juga berapa lama kamu akan hidup, tapi itu takkan lebih dari beberapa tahun.

Yang kamu ketahui hanyalah bahwa, jika kamu memilih untuk hadir pada tempat tertentu di dunia ini, kamu juga harus meninggalkannya lagi suatu hari dan pergi meninggalkan segalanya.

Ini mungkin akan menimbulkan duka yang dalam pada dirimu karena banyak orang berpikir bahwa kehidupan di dalam dongeng akbar ini begitu indah sehingga sekadar memikirkan bahwa ini akan berakhir begitu saja pun bisa membuat mereka mengucurkan air mata.

Segalanya begitu menyenangkan di sini sehingga sangat pedih untuk membayangkan bahwa pada suatu ketika, hari-hari tidak akan ada lagi.

Apa yang akan kamu pilih, Antreas, jika ada sebuah kekuatan yang lebih tinggi memberimu pilihan? Barangkali kita bisa membayangkan semacam peri kosmik dalam dongeng akbar yang aneh ini.

Akankah kamu memilih untuk tinggal di bumi, entah untuk waktu yang singkat atau panjang, dalam seratus ribu atau seratus juta tahun? Atau akankah kamu menolak untuk ikut dalam permainan ini karena kamu tak menyukai peraturannya?

Kiranya aku membuatmu kecewa, Antreas, karena sekarang aku mulai menangis. Aku tidak sengaja, dan aku segera mencoba untuk menahan diri. Tapi aku terisak.

Sekali lagi, malaikat mungilku, akankah kau memilih untuk hidup di bumi setelah mengetahui dengan pasti bahwa kau akan tiba-tiba dicabut dari sana, dan barangkali di tengah-tengah kebahagiaan yang memabukkan?

Atau, akankah kau, bahkan pada tahap yang paling awal, dengan hormat menolak untuk ikut dalam permainan ini? Kita datang ke dunia hanya sekali. Kita masuk ke dalam dongeng akbar ini hanya untuk melihat ceritanya berakhir!

Aku sendiri tidak yakin dengan apa yang akan kupilih. Aku pikir, aku akan menolak persyaratannya. Jika ini hanya sebuah kunjungan singkat, barangkali aku akan dengan sopan menolak tawaran untuk mengunjungi dongeng akbar ini. Aku cukup yakin bahwa aku akan menolak semuanya.

Jika aku telah memilih untuk tidak pernah menapakkan kaki di dalam dongeng akbar ini, aku tidak akan kehilangan apa pun, kiranya. Sesuatu yang tiada tidak akan kehilangan apa pun! Dia tidak berhak menuntut apa pun! Kamu mengerti apa yang kumaksud?

Meskipun terkadang, lebih terasa menyakitkan bagi manusia untuk kehilangan sesuatu yang disayanginya daripada tak pernah memilikinya sama sekali. Akan tetapi, kini giliranmu untuk menjawab, Antreas; tongkat kuserahkan padamu.

Ketika kamu duduk di pangkuanku yang sedang menulis surat ini, kamu hanya memerhatikan dengan hening karena kamu sendiri masih belum bisa membaca. Duh, malaikat mungilku, surat ini akan kamu baca pada suatu hari nanti!

Itulah yang membuatku menitikkan air mata. Alasanku menangis bukan hanya karena aku tahu bahwa mungkin aku akan segera meninggalkanmu dan ibumu. Aku menangis karena kamu begitu muda dan manis. Aku menangis karena kita berdua tidak bisa bercengkerama dengan selayaknya.

Aku bertanya lagi: apa yang akan kamu pilih seandainya kamu punya kesempatan untuk memilih? Akankah kamu memilih hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi dari semua itu, tak pernah kembali lagi? Atau, apakah kamu akan berkata tidak, terima kasih?

Kamu hanya punya dua pilihan ini. Itulah aturannya. Dengan memilih hidup, kamu juga memilih mati.

Sekarang, surat ini sudah selesai, Antreas. Jari-jemariku tak lagi kuasa bergerak bebas. Aku sedang di ujung waktu. Tangan siapakah yang akan aku genggam di seberang sana, Antreas? Aku akan sangat kedinginan atau sangat kepanasan di sana. Aku akan butuh tangan-tangan lembut seperti tanganmu dan tangan ibumu untuk digenggam.

Waktu, Antreas. Apa itu waktu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun