Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Artikel Utama

Selamat Tinggal, Sekolah!

10 Maret 2021   06:30 Diperbarui: 11 Maret 2021   10:10 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa teman saya tak berniat ikut ujian saringan masuk universitas karena merasa tak mampu untuk mengikuti bimbel. Apakah kalian bercanda? Lantas apa yang kita lakukan selama 12 tahun jika pada akhirnya harus berujung demikian?

Memang betul, kemampuan guru-guru semakin meningkat berkat seribu satu seminar dan dukungan perangkat keras maupun perangkat lunak yang juga semakin lengkap. Tapi, bukankah semua itu memang hal yang wajar-wajar saja dan mutlak bagi sistem persekolahan masa kini jika ingin dianggap baik?

Artinya, yang terjadi sesungguhnya bukanlah suatu perubahan kualitatif, tapi lebih merupakan suatu penambahan kualitatif saja(?)

Juga, memang betul, sarana dan prasarana pembelajaran semakin beragam sekarang ini. Tapi, bukankah “tempat pelariannya” pun semakin beragam? Cek saja data statistik tingkat pengguna media sosial di kalangan remaja Indonesia!

Jadi, apa yang sesungguhnya terjadi dalam upaya peningkatan mutu pendidikan nasional belakangan ini adalah tak lebih (baik) daripada sebuah usaha tambal-sulam yang melelahkan. Kita seperti sedang melakukan barter; sebuah barter akbar!

Mari simak sebuah kisah dari seseorang yang (cukup) malang.

Dia suka menulis sesuatu yang abstrak. Dan pernah suatu ketika, seorang guru menugaskan muridnya untuk menulis sebuah esai tentang cara belajar yang efektif. Sebagai murid yang patuh, dia mengerjakan tugas itu dengan hati riang. Maka tibalah waktu presentasi.

Malang, dia malah kena semprot gurunya itu hanya karena argumen dari esainya dianggap menyesatkan! Salah satu argumennya berseru, “Jadilah pribadi yang bebas! Jangan ketergantungan dengan sekolah, sebab semesta adalah ruang belajar.

Bagaimanapun juga jangan menjadi candu dengan sekolah. Sama seperti candu merokok, kita tak akan tahu betapa nikmatnya sebatang cokelat karena selalu mengidamkan sebatang rokok. Jika kita kecanduan sekolah, kita akan buta dengan keindahan dunia luar!”

Argumen itu menyesatkan, katanya! Semacam provokasi agar teman-temannya tidak fokus dengan sekolah. Semacam persuasi untuk meninggalkan tugas-tugas sekolah! Sial, anak itu menempati peringkat pertama dari SD hingga kelulusannya!

Dan ya, anak itu memang sering ditertawakan karena pemikirannya yang sering berbeda. Bahkan, beberapa orang menganggapnya ateis karena kegemarannya belajar filsafat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun