Dan dalam paparannya, KPAI mengungkapkan setidaknya ada 5 penyebab tingginya anak putus sekolah di masa pandemi: menikah, bekerja, menunggak iuran SPP, kecanduan game online, dan meninggal dunia.
Kita abaikan penyebab terakhir, karena siapa yang bisa menghendaki takdir?
Tapi, ada yang lebih mengiris hati. Generasi muda kita banyak mengalami Gaming Disorder, bahkan diduga paling tinggi di Asia. Saya tahu ini sekadar spekulasi, tapi lihatlah di sekeliling Anda. Perhatikan unggahan para anak remaja kita di media sosial sekarang ini!
Lihatlah perilaku remaja kita di tempat umum. Perhatikanlah bagaimana mereka berpenampilan! Hitunglah rata-rata durasi para remaja di sekitar Anda dalam bermain ponsel. Dan tanyakanlah bagaimana kabar kegiatan pembelajarannya di sekolah. Jika jawabannya hanya seputar sibuk mengerjakan tugas, bukankah ini sebuah ironi?
Di mana peranan sekolah sekarang ini? Bagaimana dengan alokasi dana 20 persen itu? Mengapa statistik mengagumkan dari pendidikan nasional juga beriringan dengan kemerosotan moral remaja kita? Apa yang sebenarnya terjadi?
Bukankah gedung-gedung sekolah semakin megah? Bukankah jumlah bantuan dana pendidikan semakin tinggi? Bukankah akses untuk masuk sekolah semakin terbuka? Bukankah seminar di sana-sini semakin merajalela guna meningkatkan kualitas tenaga pengajar?
Begitulah kita yang lebih suka mengutak-atik angka-angka statistik agregatif, lalu mulai asyik dengan perkara mutu hasil pendidikan, kesesuaian kurikulum sekolah dengan kebutuhan masyarakat, efektivitas metodologi pengajaran, peningkatan kemampuan guru-guru, pengembangan sarana dan prasarana belajar, serta berbagai percobaan lainnya yang katanya demi perubahan kualitatif.
Perubahan kualitatif? Belum tentu!
Memang betul, angka-angka murid tinggal kelas berhasil ditekan dan kian mengecil. Tapi, bukankah itu memang wajar karena tolok ukur evaluasi hasil belajar dibuat melar-mulur dan dikatrol sedemikian rupa demi pencapaian angka target lulusan (termasuk demi nama baik dan gengsi sekolah yang bersangkutan)? Lantas bagaimana soal mutu para lulusan?
Memang betul, kurikulum sekolah telah dibuat lebih ramping. Tapi, bukankah hal itu lebih karena semua mata pelajaran diringkas-ringkas dan dipadat-padatkan? Dan berapa persen di antaranya yang benar-benar dapat dipahami oleh para pelajar? Berapa persen yang benar-benar berguna dalam kehidupan? Apakah kurikulum itu sudah memenuhi kebutuhan nyata dari pada murid itu sendiri?
Dan ini yang paling ironi. Mengapa untuk ikut ujian saringan masuk universitas saja, mayoritas siswa lulusan SMA masih merasa perlu mengikuti kursus-kursus bimbingan belajar di luar sekolah yang semakin menjamur dan semakin mahal pula?