Sebuah laboratorium di China tengah menggarap proyek pembekuan tubuh manusia yang nantinya akan digunakan untuk membangkitkan kembali orang yang telah meninggal dunia.
Cara tersebut disebut dengan Metode Krionika.
Krionika sendiri merupakan teknologi teranyar dalam dunia sains kedokteran yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dengan cara mendinginkan tubuh orang yang "mati" menggunakan nitrogen cair.
Hal tersebut akan membuat pembusukan fisik berhenti, dengan harapan bahwa prosedur ilmiah di masa depan dapat menghidupkan kembali orang-orang bersangkutan. Atau secara gamblangnya, menjanjikan "kehidupan kedua".
Kondisi preservasi krionika kadang digambarkan sebagai penangguhan waktu kematian, atau "menunda kematian", karena status kondisi pasien krionika tidak mengalami perubahan sama sekali sampai tiba waktu penghidupan kembali (seperti mesin waktu).
Ada alasan yang mendasar mengapa hal semacam ini diupayakan. Sebab kebanyakan dari kita membayangkan kematian sebagai sesuatu yang gelap, suram, dan hitam. Karenanya banyak orang merasa takut, bahkan ingin menghindarinya.
Padahal yang terjadi adalah, kita keliru dalam menginterpretasikannya. Rasa takut itu muncul dari value judgment kita sendiri, dan tidak lekat pada kematian itu sendiri.
Kita takut karena menganggap kematian sama dengan siksa neraka. Kita takut karena harta materi yang dimiliki masih belum memuaskan. Kita takut karena tak mau kehilangan orang-orang tersayang. Kita takut karena...
Semua itu menciptakan interpretasi yang menyeramkan pada pikiran kita terhadap kematian.
Dan sayangnya, orang-orang tidak membicarakan hal terpentingnya.
Kita begitu terobsesi dengan umur panjang. Saat ada seseorang yang berulang tahun, kita bernyanyi dengan riang, "Panjang umurnya...panjang umurnya..."
Padahal itu tak berarti apa-apa. Dan saya yakin, mereka yang telah bunuh diri akan menertawakan obsesi semacam itu.
Yang terpenting bukanlah umur yang panjang, tapi seberapa berkualitasnya hidup yang kita miliki.
Hidup ini panjang jika kita tahu bagaimana menjalaninya. Kita tidak diberikan hidup yang pendek, tetapi kitalah yang menjadikannya terasa pendek...dan terbuang untuk hal-hal yang sia-sia.
Mereka yang resah dan khawatir terhadap kematiannya telah menjalani hidup tanpa makna. Dan kekhawatiran itu menjadikan hidup mereka semakin miskin makna. Berapa banyak di antara kita yang memberikan porsi (terlalu) banyak terkait waktu untuk mengejar harta, jabatan, kehormatan; hingga akhirnya takut gagal atau takut kehilangannya.
Mereka mengisi kehidupan dengan rasa cemas, resah, iri, marah, mengejar hal-hal di luar kendalinya, terombang-ambing seperti sekoci di tengah samudera.
Mereka terobsesi dengan harta dan kekayaan, serta ketenaran. Dan lalu merasa dendam penuh amarah saat semua itu direbut (kembali) secara paksa oleh Sang Maha Kuasa. Mereka pikir mereka memilikinya, dan kemudian tersadar semua itu begitu rapuh saat mereka benar-benar kehilangannya.
Dan itu sudah terlambat untuk pulang.
Memangnya mengapa kita ingin terkenal dan dikenang manusia? Toh orang-orang yang mengenang kita juga akan mati. Dan begitu pula dengan orang-orang sesudahnya, sampai kenangan tentang kita diteruskan dari satu orang ke yang lain bagaikan nyala lilin, akhirnya meredup dan padam.
Ini ilusi. Ketenaran sifatnya sangat sementara, sebab kita semua akan dilupakan (pada akhirnya). Jadi, kita patut mempertanyakan pada mereka, "Apakah hal semacam itu layak dikejar mati-matian?"
Saya tidak perlu lagi membahas sifat kekayaan materi atau paras fisik.
Karena yang terpenting, kita sedang terlibat dalam sebuah skandal akbar di mana kebanyakan dari kita takut dan bahkan menghindari kematian.
Hidup selama 5 tahun atau 80 tahun, apa bedanya? Toh kita meninggal karena takdir yang juga dulu mengundang kita masuk ke dalam hidup. Termasuk mereka yang meninggal oleh tiran, itu juga termasuk ke dalam takdirnya.
Jadi mengapa kematian begitu buruk?
Bagaikan seorang teknisi teater yang menurunkan tirai dan diprotes sang aktor, "Kenapa? Saya baru saja sampai babak ketiga!"
"Ya, ini akan menjadi drama tiga babak, dan panjangnya drama hidup ini ditetapkan oleh kuasa di balik penciptaanmu, dan yang sekarang sedang mengarahkan kepulanganmu."
Baik kedatangan kita maupun kepulangan kita tidaklah ditetapkan oleh diri kita sendiri; itulah intinya.
Kita bukanlah sesuatu yang tiada, kemudian iseng pada suatu waktu untuk memutuskan hidup di dunia. Dan siapa bilang kematian adalah akhir? Tidak, kematian adalah awal kehidupan (yang sesungguhnya).
Hidup di dunia seperti sedang berkunjung ke toko oleh-oleh. Kita hanya harus mencari sesuatu yang harus dibawa pulang sesuai permintaan sang tuan rumah. Dan kalau tidak, kita bisa dikunci di gudang yang terbakar! (Euh, mungkin itu terlalu lebay, atau mungkin bisa lebih parah).
Sebenarnya dengan pemahaman sedikit ini saja, kita sudah harus bisa berhenti bersusah hati dan stres mengenai kematian, toh kita menjalani hidup dalam naskah skenario Sang Sutradara.
Orang-orang yang menjalani hidup dengan paripurna adalah mereka yang siap mati kapan saja. -- Mark Twain
Kita tidak seperti daun-daun yang berguguran. Daun-daun gugur itu mungkin hinggap di sebuah api unggun, perairan danau, atau jalanan kota.
Sayangnya, daun-daun itu tak punya kehendak ke mana mereka akan menuju. Terkadang, angin-angin yang berkehendak, atau seorang penyapu jalanan, atau kaki seorang anak kecil di taman.
Namun, kita punya pilihan terkait ke mana kita akan menuju. Kalau api unggun itu sebuah neraka, kita bisa menghindarinya! Kalau perairan danau itu sebuah surga, kita bisa memperjuangkannya!
Tergantung dari sejauh mana kita mampu memenuhi syarat menuju Taman Firdaus. Sekarang kita harus jauh lebih peka untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
Sedikit banyak, kita seperti gelembung sabun. Seorang anak dapat meniup gelembung sabun dengan beragam bentuk dan ukuran. Dan lalu, gelembung-gelembung itu pecah, entah dengan sendirinya atau tertusuk sebuah duri dari bunga mawar.
Kita bisa pergi dengan anggun. Dan mereka yang pergi dengan anggun hanyalah mereka yang memahami betul bocoran naskah skenario (kitab suci) dari Sang Sutradara, dan lalu mengamalkannya.
Pada akhirnya, pembaca, saya mempertanyakan tujuan praktik krionika. Umur yang panjang tak begitu berarti, karena yang pokok adalah kualitas dari kehidupan itu sendiri. Dan siapa yang tahu bahwa kehidupan yang lebih lama sama dengan menderita lebih lama (?)
Saya tahu, praktik ini ditujukan pada mereka yang ingin saja, tidak memaksa kepada setiap orang. Tapi, ini adalah sebuah skandal dengan headline, "Suatu makhluk dari butiran debu kosmos berusaha menyangkal siklus abadi!"
Amor fati, amor fati, manusia!
Saya harus mati. Dan jika sekarang adalah saatnya, biarlah saya mati sekarang. Jika masih nanti, biarlah saya sarapan roti panggang dulu sekarang, karena waktu sarapan telah tiba. Perkara mati, nantilah saya pikirkan lagi. Sebab saya sudah siap untuk pulang kapan saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H