"Kau tak mau duduk bersamaku? Pasti sangat pegal kalau terus berdiri!"
"Sudah kubilang, aku berbeda dengan manusia."
Dhira mendekap mulutnya dengan tangan. "Aku belum terbiasa. Semua terasa sangat aneh. Seperti dunia mimpi!"
Malaikat Arsa diam tak menanggapi. Keheningan mencekam di antara mereka dengan pandangan yang sama-sama menuju langit malam. Malaikat Arsa duduk dan masih memantapkan pandangannya ke langit.
"Bintang-bintang itu tampak pucat sekarang ini. Kira-kira, berapa, ya, jumlah mereka?" tanya Dhira yang sekaligus memecah keheningan.
Malaikat Arsa hanya mengangkat bahunya. "Terkadang, kau hanya harus menikmatinya tanpa memahaminya."
"Ah, syahdu betul kalimat itu. Dan bagaimana dengan rembulan? Sama indahnya, 'kan?"
"Ia hanyalah cermin yang meminjam cahaya matahari."
Dhira mengangguk dengan serius.
Malaikat Arsa melanjutkan, "Matahari juga tak menghasilkan sendiri cahayanya."
Spontan Dhira memandang sinis Malaikat Arsa. Selama ia belajar di sekolah, buku-buku sains selalu mengatakan bahwa matahari menghasilkan sendiri cahayanya. Jangan-jangan sains keliru? Atau Malaikat Arsa yang ngaco? Bukankah malaikat tak pernah berbohong?